<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Wednesday, September 29, 2004

Potluck

Budaya potluck ternyata tidak banyak dikenal di Eropa dan NZ. Invitation to dinner hampir selalu berarti tuan rumah yang memasak. Kalaupun para tamu berniat membawa makanan, selalu harus konfirmasi terlebih dahulu supaya makanan yang dibawa cocok dengan tema dinner. Resmi? Hampir selalu kecuali bila si tuan rumah menyebutkan casual dinner.

Di negara-negara yang berpenduduk lebih beragam seperti Amerika, potluck sangat populer. Mungkin disebut potluck karena orang-orang dari berbagai latar belakang datang berkumpul bersama, berbagi makanan, dan bersosialisasi. Tidak ada arrangement "siapa memasak apa". Unsur surprise dan apresiasi selalu ada, dan itu yang menjadi inti dari potluck. Datang, berkontribusi, menghargai dan sekaligus berinteraksi dengan hal-hal baru. Arti kontribusi dan apresiasi sebenarnya tidak juga terlalu penting, karena pembauran yang lebih penting. Mungkin lebih banyak orang datang membawa lauk dibandingkan nasi dan sayur...atau hampir semuanya membawa makanan dengan rasa serupa. Ada yang bawa sedikit, ada yang bawa banyak. Ada juga yang mengernyitkan dahi setelah mencoba satu makanan, ada juga yang terus berkeliling, mencoba berbagai makanan dan berkomunikasi. Tidak menjadi masalah...Tidak pernah ada yang kecewa. Satu nilai tambahan yaitu banyak orang baru datang dan berbaur...persahabatan pun bertambah luas.

Saya termasuk orang baru yang berbaur. Mengikuti saran Wisa dan Rio, saya coba memanfaatkan acara ulang tahun teman sejawat akhir minggu lalu dengan mengusulkan perubahan acara makan malam biasa menjadi "potluck dinner". Teman yang berulang tahun berasal dari Jerman, dan tidak terbiasa dengan potluck. Tapi dia setuju saja karena berarti dia tidak harus menyiapkan makanan untuk semua orang.

Yang hadir ada 12 orang dari berbagai negara: tiga Jerman, satu Indonesia, empat Amerika (satu blasteran Italy-Jepang), satu Taiwan (beribu Indonesia), satu China, dan dua Swedia. Sebenarnya ada 4 orang lagi yang diundang, dari Brazil, Malaysia dan NZ, tapi berhalangan datang. Saya cuma kenal dengan tuan rumah dan satu pasangan dari Amerika. Tuan rumah cuma kenal saya, satu pasangan Amerika yang saya tidak kenal dan teman-temannya dari Jerman. Satu orang China merupakan teman dari pasangan Amerika. Dua dari Swedia merupakan teman dari satu orang Jerman. Satu orang dari Taiwan merupakan teman dari orang Jerman lainnya. Bingung? Saya juga, tapi tetap bersemangat.

Yang terbiasa dengan potluck cuma saya dan teman dari Amerika. Sebernarnya agak surprise juga karena beberapa makanan seperti tidak cocok. Saya bawa bihun goreng seafood. Tiga dari Jerman memasak ayam panggang madu (mereka sebut Thai chicken), cheese cake dan raspberry sauce untuk eskrim. Dua pasangan dari Amerika masing-masing membawa quesadillas (Mexican dips dengan isi black-bean, daun ketumbar, ketumbar bubuk, garam, gula, chili powder, dan mayonnaise; saya tahu karena tanya lengkap bumbunya...), dan Morrocan fish yang saya lupa bumbunya apa, cuma ingat olive oil, garam dan basil leaves. Yang dari swedia bawa 'sesuatu' yang diberi cheese, saya lupa nama 'sesuatu' itu...bentuknya sebesar kelingking berwarna coklat muda dan terbuat dari gandum. Seperti kerupuk murahan kecil-kecil yang dijual di warung-warung (dulu saya sering beli Rp. 5 segenggam dari penjual kerupuk yang mangkal di seberang pagar SD) tapi berasa roti....Mereka juga membawa kue yang juga memakai bahan keju. Dari Taiwan membawa bacem telur atau semacam pindang telur ya...seperti yang biasa di dapat dalam berkat/antaran di Indo. Yang dari Cina hanya membawa diri dan jus kiwi...tidak apa-apa karena ternyata dia paling banyak menyumbang cerita...

Semua orang bersemangat. Meja makan tidak cukup menampung semua makanan. Putaran pertama semua dibagi rata. Telur, bihun, ayam dan quesadillas jumlahnya cukup, sedang ikannya terpaksa dibagi kecil-kecil. Putaran kedua, semua orang berimprovisasi sendiri tergantung selera dan kapasitas perut...Teman dari Taiwan dan China tidak heran merasakan bihun buatan saya. Teman dari Jerman sudah bisa menebak bahwa bihun itu sejenis 'mie goreng', yang juga banyak dijual di kota-kota besar di Jerman. Mereka bahkan minta lain kali dibuatkan nasi goreng. Ok!

Makan malam pun tetap asyik karena acara menjadi tidak hanya sekedar merayakan ulang tahun. Makanan yang beragam menjadi entry-point pembicaraan terutama antar orang-orang baru. Dari topik makanan, pembicaraan terus berkembang ke budaya, keluarga, acara TV, film, musik, olah raga, selain tentunya "apa saja yang dikerjakan di NZ". Makanan membuat yang datang tidak malu untuk bertanya. Suasana juga lebih hidup dan santai dibandingkan bila makan di restoran atau cafe. Malam diakhiri dengan menghabiskan eskrim dan main kartu sambil mendengarkan musik.

Potluck is another melting pot, asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga, kali ini benar-benar karena makanan, yang menjadi penjalin persahabatan.

posted by Leo at 04:13

Saturday, September 25, 2004

Weekly Wrap-up (18/09/04 - 25/09/04)

Tidak terasa sudah di penghujung bulan September. Tidak banyak yang saya lakukan, masih berkutat dengan buku dan beberapa artikel. Karena siang hari dipaksa untuk tetap tekun dan serius, malam hari lebih banyak dihabiskan nonton tv. Awal minggu memang cukup berat, tapi untung ada silly movie seperti "the Hot Chick". Silly karena (1) adegan di film itu dibuat-buat dan (2) saya tetap tonton meski sudah tahu film itu dapat review buruk. Tapi saya memang sedang mencari yang silly-silly untuk mencari bahan tertawaan murah. Maklum, siang harinya habis dapat kata-kata yang cukup pedas (di hati).

Film lain yang saya tonton yaitu Shallow Hall dan Love's Brother. Shallow Hall cukup menghibur. Pesannya bagus, orang sebaiknya melihat lebih pada pribadi dibandingkan penampilan. Ada 'tapi'-nya...manusia itu tetap manusia...punya nafsu, ada judgment, berlainan tafsir. Apa jadinya kalau semua manusia menilai manusia lain sepenuhnya berdasarkan kepribadian...bosen ih bosen....

Love's Brother saya tonton setengah mengantuk. Kira-kira sinopsisnya seperti ini: Setelah agak putus asa mencari cinta, Angelo ingin menarik hati Rosetta, seorang gadis cantik di seberang lautan, dengan foto kakaknya (Gino) yang tampan. Gino tidak keberatan, tapi apa dikata, pertemuan pertama Gino dan Rosetta justru menumbuhkan cinta pada pandangan pertama. Film dengan akting yang memukau, tapi membuat sedih, gelo (bahasa Jawa lho, kalau bahasa Sunda 'gelo' artinya gila....tanya saja Harry Roesli yang suka pakai istilah ini di rubrik 'Asal Usul' KOMPAS).

Serial TV yang sedang jadi favorit saya minggu ini: Without A Trace. Agak lain dibandingkan serial-serial drama tv lainnya yang sedang trend menampilkan mayat, potongan tubuh dikorek-korek, darah, test DNA rambut, dan sejenisnya. Significant Others juga memberi hiburan 'tertawa puas sambil mikir' di Kamis malam, terutama dengan pola cerita seperti 'Seinfeld': egocentric, sirik dan ironic.

Music, It's the 60s, it's Australian Idol. Saya juga tidak ketinggalan mengagumi penampilan bintang-bintang Australian Idol. Suara mereka bagus-bagus. Minggu ini, Chanel menyanyikan 'Walk on by' dengan stylish "...Foolish pride is all that I have left so let me hide the tears and the sadness you gave me when you said goodbye...walk on by". Lalu Hayley yang tanpa tenaga menyanyikan lagu trademark Lulu: "...If you wanted the sky I would write across the sky in letters that would show a thousand feet high...To Sir with love". Meski penilaiannya so-so, dua lagu itu terus membawa saya bersenandung selama beberapa hari. Minggu ini saya juga baru memasang MP3 di komputer. Saya tentu saja tidak lupa dengan dua lagu favorit saya: "Makin Aku Cinta" dari Mbak KD dan Mas Anang, dan "Say You Love Me" dari Simply Red.

Permainan kartu Bohnanza diperkenalkan teman dari Jerman saat potluck tadi malam. Bermain kartu yang diibaratkan dengan investasi menanam kacang. Di awal permainan agak sulit dan saya dapat posisi paling akhir. Pada permainan kedua saya dapat urutan ketiga dari ber-enam, lumayan. Sambil bermain kartu, lagu-lagu campuran diputar, salah satu yang nyantel di telinga: "I try" dari Macy Gray dan "Papa was a Rolling Stone" dari the Temptations.

Untuk potluck sebenarnya saya hanya menyiapkan masakan gampang, survival food...Bihun Goreng. Dengan berbekal bakso udang, saos tiram dan minyak wijen, saya hanya butuh 15 menit untuk menyiapkannya. Hasilnya tidak mengecewakan, semua suka. Di potluck saya juga untuk pertama kali merasakan vanilla ice cream with hot raspberry sauce. Sauce-nya dibuat sendiri, enak sekali. Eskrim dingin dicampur saus panas...

Melihat Paralympic 2004 di tv juga mengingatkan saya untuk tetap hati-hati dengan lutut kiri yang mulai bergemeletuk. Perlu 4 minggu untuk menunggu hasil verdict dari ACC. Overall weekly verdict? Meski saya menemukan hal-hal yang baru...teman blog baru dan makanan baru...verdict saya untuk minggu ini tetap soul searching, down with love. Minggu depan? Let’s see........

posted by Leo at 10:44

Sunday, September 19, 2004

...Trilogy "Me"...

Me, Robot

Jam biologis selalu bekerja dengan tepat setiap hari. Pukul 5 pagi bangun tidur, 8 pagi sudah mulai bekerja. Tiga kali seminggu, antara pukul 6.30-7.30 working out di gym. Makan selalu tepat waktu, pagi antara pukul 5.30-6.00, siang antara pukul 12.00-12.30, malam antara 6.00-6.30. Malam hari, mata seperti sudah diatur untuk terpejam mulai pukul 10.00. Setiap hari ...

"I am wondering it may be good to live like a robot. Always on time, no mater what." Itu komentar ibu kost kalau melihat saya bagun pagi-pagi. Saya cuma tersenyum.

"Where have you been? I haven't seen you around." Komentar dari teman yang pernah ambil kelas sama-sama. "Kept within my womb," jawab saya bercanda.

Teman itu pula yang kemudian mengetuk pintu ruangan saya suatu hari. Kami mengobrol biasa, berkeluh kesah tentang tugas-tugas, bertukar cerita tentang weekend dan kabar teman/keluarga, dan bergosip tentang dosen-dosen dan kebiasaan mereka. Tiba-tiba dia bertanya "Do you enjoy being here? How is your social life?" Saya terdiam sejenak. "What social life?" Saya jawab sambil bercanda...Kami pun tertawa.

"You know, sometimes I just want to live like you. Carry on life without hesitation, without feelings...right on time, just go for anything you have, no moody days, no hectic business." Kembali ibu kost berkomentar saat dia berkeluh kesah dengan masalahnya. "Hey, I'm not like that..." Saya membalas tapi dengan ragu-ragu...tidak juga dengan maksud canda. "...Am I?" Hati saya gundah.

Orang mungkin berpikir bahwa saya suka rutinitas, bergerak seperti robot, mengerjakan hal yang sama dengan tekun dan presisi. Tidakkah mereka tahu bahwa rutinitas terkadang 'menyenangkan' karena di dalamnya saya bisa bergerak dinamis, mencurahkan niat dan bakat, bersembunyi dari kesedihan dan berteriak "shut-up" pada sekeliling, selain memang saya telah terbiasa tumbuh sedemikian. Tentu saja saya 100 persen tahu bahwa mungkin cara ini tidak membawa bahagia...tapi saya bisa kembali bertanya "What kind of happiness?"

***

"Friends" in Me

Sitcom tersukses, begitulah pendapat pengamat pertelevisian di Amerika. Setelah usai diproduksi, tv kembali memutar ulang "Friends" dan ratingnya masih termasuk tinggi, bahkan dibandingkan sitcom baru. Kuncinya adalah karakter tokoh-tokoh dalam "Friends" seperti cermin karakter penonton, yang membuat penonton tetap dekat dan tumbuh bersama "Friends" selama 10 tahun terakhir.

Saya pun demikian. Setiap melihat Ross yang geeky and shy; Monica yang clean freak and home-self-centered; Rachel yang a bit snobbish but self-conscious; Joey yang a slob, but kindhearted; Chandler yang ironic and dreary; dan Phoebe, who is a witty survivor; saya selalu merasa saya pernah 'bersifat' seperti mereka. Saya hanya merasa bahwa saya masih jarang seperti Phoebe yang memiliki keberanian untuk bercanda dalam hidup yang mungkin tidak begitu menyenangkan dan bersikap apa adanya. Juga masih jarang untuk sekali-kali bersikap santai seperti Joey, just spoil yourself and forget the rest. Saya tahu bahwa saya tidak bisa menjadi segalanya. Character recipe setiap orang berbeda. Tapi saya ingin sesaat untuk merasa bersifat 'lain'. Breaking the calmness (untuk tidak menyebut kebosanan), meskipun saya juga tidak ingin radikal.

Mungkin saya perlu teman karena begitulah intisari "Friends". Teman membuat karakter yang 'hilang' dalam diri seseorang bisa terlengkapi. Banyak teman saya, tapi mereka jauh. Untuk membuat satu lingkaran baru, saya membutuhkan tidak hanya kumpul, makan dan ngobrol, tapi juga pola dan irama berteman yang sama. Beruntung sekali para extroverters karena mereka mudah membaur. Dan saya hanya bisa merugi karena teman-teman yang jauh sekarang seolah lebih jauh dari jangkauan. Friends in me, but not around me.

***

Tickle Me

Untuk membunuh kebosanan, saya sering iseng ikut fun tests (just drop by at "Emode"). Test kepribadian, test cinta, test pertemanan, test masa depan, test mirip karakter celebrity, dll. Saya bisa lebih jujur dengan diri sendiri saat menjawab soal-soal dalam fun tests. Hasilnya juga sering membuat lega dan membawa nasehat untuk diri sendiri. Tapi dari semua fun tests yang saya coba, belum ada yang menawarkan unconsciousness test.

Mimpi. Test mimpi, itu maksud saya. Seberapa jauh kita bisa mengingat mimpi, seberapa dekat kita dengan mimpi, seberapa percaya kita dengan mimpi. Tapi mungkin tidak akan pernah ada test semacam itu karena mimpi terkadang tidak fun, lagipula bila bicara mimpi terkesan dekat dengan tahayul dan mistik.

Tapi bukankah kita lebih jujur bila dalam keadaan tidak sadar? Menurut saya, kesadaran selain memberi kesempatan kita untuk berkomunikasi dan berkarya, juga memberi kesempatan untuk berakting, berpura-pura, menyiasati yang tidak kita maui. Tapi tidak sadar sama dengan tidak ingat. Jadi bila ada test mimpi, mungkin sebagian besar jawaban adalah 'lupa'...termasuk lupa untuk jujur pada diri sendiri yang sebenarnya 'sadar' dalam tidur.

Mimpi seperti memberi saya 'dimensi' lain yang sering saya lupa untuk melakukannya kala sadar. Bagi saya, tidur dan mimpi adalah satu paket. Adanya pertanda dalam mimpi atau tidak, saya tidak perduli, yang penting mimpi. Saya selalu kembali membuka ingatan akan mimpi jika dalam keterbangunan saya, banyak hal yang membuat saya senang dan sedih tapi saya tidak bisa mencari asal muasalnya.

Skeptis, itu kesan dari orang lain bila saya bicara mimpi. Tapi mereka tidak tahu, bahwa di mimpi saya bisa berharap lebih. Berharap bahwa ada jawaban dari semua pertanyaan dan kegundahan saya selama bangun. Berharap bisa bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang yang saya cintai, tapi tidak mungkin selama sadar. Berharap bahwa saya bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dan tidak mungkin saya lakukan kala sadar. Berharap hidup yang lain dari yang saya jalani. Tentu saja, bila saya mencari dalam mimpi, tidak semuanya indah. Kadang saya harus terbata-bata menyebutkan ayat-ayat suci dalam mimpi untuk mengusir bayangan hitam dan nafas berat yang sering menghampiri saya dalam tidur, atau terjun ke dalam jurang dalam tanpa alas, atau menangis sedih dalam pertengkaran hebat yang saya tidak mengerti alasannya; takut, cemas dan kesal.

It tickles me, both in good and bad ways. It irritates and amuses me at the same time. Itu adalah gambaran yang tepat bila saya tidur dan bermimpi. Mungkin tidak perlu a special test. My dreams have tickled my inner conscious, my conscious existence, all the knobs to operate the robot in me, and all flavors of friends in me. Mimpi akan selalu ada dan menemani. It's my unconscious friend; the only one left for me.

posted by Leo at 06:20

Sunday, September 12, 2004

West Coast Trip

Dua bulan setengah saya habiskan sebagian besar hanya untuk membaca dan menulis. Otak saya serasa hampir pecah dan mata saya seakan membatu kalau saja teman tidak memaksa saya untuk ikut pergi berwisata selama tiga hari dua malam. West Coast NZ adalah tujuannya. Kami pergi berempat, saya dan satu keluarga dengan satu anak berumur 2 tahun. Teman saya dan keluarganya akan kembali ke Indonesia tanggal 14 September, sesuatu yang membuat saya sering merenung sepanjang jalan...

Berangkat hari Sabtu tanggal 4 September, pukul 9 pagi. Teman menyarankan membawa selimut dengan asumsi bahwa penginapan tidak menyediakan bedding tambahan. Saya membawa satu ransel, satu tas plastik berisi bolu kurma dan pisang, snack dan buah, dan satu kantong berisi selimut dan seprai. Perjalanan membelah South Island cukup menyenangkan. Tidak terlalu banyak kendaraaan lalu lalang, yang ada turis-turis seperti kami yang beberapa kali berhenti untuk berfoto. NZ memang surga bagi para pelancong. Tidak ada macet dan turis bisa bepergian dengan leluasa dengan secarik peta (semua jenis peta cukup akurat, tidak peduli peta murah atau mahal) dan petunjuk jalan yang tourist-friendly terutama dengan petunjuk spot foto, penginapan, restoran, camping ground, tourist attraction, atau sekedar tempat piknik untuk berhenti makan dan istirahat. Tidak heran bila tourism adalah sumber penghidupan kedua terpenting di sini. Mobil melaju ke arah perbukitan dengan pucuk-pucuk bersalju .

Kami makan siang di piknik area di depan Arthur Pass National Park Tourist Information Center. Satu yang menarik adalah kehadiran Kea, the bird of paradox. Dijuluki demikian karena, Kea (Nestor notabilis) memiliki perilaku aneh, terutama dengan rasa keingintahuan yang luar biasa, ramah tapi jahil. Menurut banyak ahli perilaku Kea terus 'berkembang' sesuai dengan frekuensi kontak dengan manusia. Kea tergolong burung cerdas, tapi terkesan tidak bisa diam dan destructive, termasuk sering mencungkili bangku kayu, menggerogoti antenna tv, bermain-main dengan bungkus plastik atau karton susu, menguliti dan memakan karet lapisan pintu mobil dan wiper, dll. Bahkan beberapa orang melaporkan pernah diserang Kea karena ketertarikan Kea pada topi atau hiasan di rambut. Perjalanan dilanjutkan dan kami mengejar waktu untuk sampai ke penginapan. Sayang, beberapa foto di Arthur Pass sempat terhapus saat kami meng-edit foto-foto.

Pukul satu siang lebih kami tiba di Hokitika Holiday Park, tempat menginap. Kami pesan cabin dengan tiga tempat tidur dan satu dapur, sedangkan kamar mandi harus memakai central facilities. Cukup bersih, satu kamar dengan satu double bed, dua bunk bed dan satu tambahan tempat tidur untuk sofa. Satu kulkas kecil pun tersedia. Kamar tidak bersekat tapi tidak menjadi masalah. Bedding facilities juga lengkap, jadi tidak perlu selimut tambahan. Setelah menyimpan barang-barang dan makan siang (lagi!), kami pergi ke Shantytown, replika areal penambangan emas saat terjadi gold rush di NZ tahun 1860s. Sempat naik kereta api dan berfoto. Saat melihat-lihat souvenir, ternyata sang penjaga toko pernah berkunjung ke Sumatra dan Jawa. Pembicaraan jadi menarik...dan kami pun banyak membeli postcards.

Sepulang dari Shantytown, kami sempat mampir di "dairy" (semacan Seven Eleven atau K-mart) untuk membeli chicken nugget karena persediaan bekal rendang dan telur balado sudah menipis. Kali ini saya yang memasak, termasuk oseng-oseng wortel dan caisim dengan bumbu saus tiram. Makan malam-pun jadi nikmat. Malam hari hanya diisi dengan mengobrol dan meng-edit foto. Jam sembilan kami sudah terlelap karena berharap besok bisa bangun pagi jam 5 untuk mengejar walking tour yang sudah kami pesan di Franz Joseph Glacier. Saya sempat beberapa kali terbangun karena ternyata di luar hujan sangat deras dan berangin, dan si kecil sering "ngelindur" setengah menangis...kasihan...mungkin kecapekan karena siang harinya beberapa jam duduk terus di car seat.

Alarm hp berbunyi tepat jam 5 pagi. Kami pun menghangatkan makanan untuk sarapan. Berangkat jam 6.40, dan perjalanan menuju Franz Joseph Glacier ditempuh selama dua jam. Suasana masih hujan, tapi sesampainya di tujuan, matahari sudah mulai bersinar cerah. Sayang sekali, karena semalam hujan, kami terpaksa harus membatalkan walking tour yang sudah dipesan. Hujan semalam sampai pagi membuat salju mengeras dan sangat licin, tidak aman untuk anak-anak meski si anak digendong sepanjang jalan. Kami mencari perusahaan lain, tapi jawabannya sama. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan sendiri, mengikuti petunjuk dari Visitor Information Center. Perjalanan melewati hutan dengan jalan yang sudah diaspal dan diberi pengaman, kemudian menyusuri sungai dan lembah dengan air terjun dan liku-liku belahan gunung, dan sampai di terminal pengunjung, di kaki FJ Glacier. Kami tidak bisa melanjutkan perjalanan dan mendaki Glacier seperti pengunjung yang lain karena tidak ada guide yang menemani. Tapi kami cukup puas dan satu jam setengah kami habiskan waktu di FJ Glacier, menikmati pemandangan Glacier yang menakjubkan.

Seusai makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Fox Glacier , satu jam perjalanan ke selatan. Setelah sampai, kami berjalan kaki menuju glacier, dan kali ini perjalanan lebih singat dan kami bisa lebih dekat dengan lelehan glacier. Kami juga merasa Fox Glacier lebih indah dibandingkan FJ Glacier. Cuaca selalu berpihak karena saat berfoto matahari begitu cerah dan sesuai berfoto awan-awan mulai bergerak menutupi glacier. Sepulang dari Fox Glacier, kami menyempatkan melihat Lake Kaniere dan Dorothy falls di sekitar Hokitika. Sayang, matahari sudah hampir terbenam dan kami pun tidak bisa melanjutkan perjalanan membelah hutan menuju Hokitika Gorge karena jalannya cukup sempit, di tengah hutan dan bersisian dengan jurang. Satu hal lain yang membuat kami nyaman dalam perjalanan...di semua tempat dan kota yang kami lalui, toilet selalu tersedia dengan lengkap, bahkan di tempat seperti Lake Kaniere yang jarang dikunjungi, fasilitas toilet-nya lengkap dan terawat.

Sesampainya di Hokitika, kami sempat putar-putar kota dan melihat sunset di pantai. Untuk makan malam, kami membeli makanan siap santap. Hokitika kota kecil, hanya punya satu restoran China dan satu India, dan beberapa restoran lokal. Satu tip yang kami ingat kalau jalan-jalan di NZ adalah sempatkan makan di Fish and Chips, fast food (sebagian besar dioperasikan oleh keturunan China, atau negara lain) yang menyediakan fish cake, nugget, fries, telor ceplok, omelette, sosis goreng atau bahkan pizza. Harganya lebih murah. Tapi kami mencari nasi... Restoran China sudah tutup, dan kami pun memesan makanan di restoran India, take out. Harga masakan India relatif mahal, tapi kami malas untuk masak sendiri malam itu. Menu yang dipesan Lamb Madras, Tandoori Chicken, Basmati Rice dan Green Salads.

Hari ketiga, kami berangkat lebih siang. Kali ini perjalanan dilanjutkan ke Greymouth, lalu menyusuri pantai West Coast yang indah. Sempat mampir di Punakaiki melihat Pancake Rock (foto menyusul). Perjalanan dilanjutkan ke Westport, tapi kami sempat belok untuk melihat Seal Colony, 8 km sebelum West Port (foto menyusul). Selain seal, kami juga menemukan Weka, burung yang digambarkan sebagai a bird with a complex personality, burung yang memiliki kepribadian "slonong boy" , "clingus", pembasmi hama dan energetic. Selama kami makan siang, Weka muncul hilir mudik untuk bersembunyi dari satu semak ke semak yang lain, tapi kami bisa melihat kalau dia mengamati sisa-sisa makanan.

Dari Westport, kami menyusuri hutan pinus, jajaran gunung-gunung bersalju dan tepian sungai ke arah timur, kembali ke Christchurch. Sempat melewati Lewis Pass. Si kecil sudah lama terlelap dan kami pun merasa cukup lelah. Sempat mampir di Hamner Springs untuk makan malam, menunya Souvlaki (the hamburger of Greece). Untuk mandi-mandi di air hangat sudah terlalu malam dan perjalanan masih membutuhkan satu setengah jam. Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja karena sudah terlalu lelah. Sampai di Christchurch pukul 8.30 malam. Masih ada cukup waktu untuk mencuci pakaian sebelum berangkat tidur. Perjalanan ke West Coast yang menyenangkan. Selasa...kembali membaca dan menulis.

For more great photos, you can visit the links: Stunning New Zealand and NZ Wilderness. Enjoy!

posted by Leo at 08:33

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004