<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, November 28, 2004

Keliling Dunia

Cita-cita sejak kecil ingin berkeliling dunia. Sampai sekarang baru terwujud ke beberapa negara: USA, Japan, Thailand, the Netherland, France, dan tentu saja NZ. Yang juga sempat mampir: Germany, Belgium, Singapore dan Canada.

Setiap berkunjung, saya dapat kesan yang berbeda. Mulai dari "don't ask, don't tell" ala Amrik yang artinya bisa saya selewengkan sebagai kehidupan yang begitu private, none of my business and none of yours; sampai kehidupan socially-responsible, penuh tatakrama dan penghargaan (termasuk harga barang dan jasa yang mahal luar biasa) seperti di Jepang. Dari keromantisan suasana jalan-jalan di kota Paris yang sebenarnya bisa menyesatkan, sampai pameran kesesatan di antara keramahan pusat kota Bangkok. Dari kebebasan dan informalitas hidup di Rotterdam, sampai all-you-can-think-is-"fine" ala Singapore. Dan dari suasana hectic dan penuh diskusi (yang berlarut-larut) di Frankfurt, sampai lingkungan yang bersih dan beraturan seperti di Canada dan NZ. Kesan untuk Belgium agak membingungkan karena negara itu seperti terkotak-kotak antara penduduk berbahasa Perancis dan Belanda.

Semuanya membuat saya semakin tertarik untuk menelurusi banyak sudut di muka bumi ini. Dalam catatan saya, ada beberapa negara yang menjadi cita-cita saya berikutnya: China, Russia, Turkey, Italy, Spain, Egypt, Nepal dan Brazil. Kalau Saudi, tinggal restu yang di atas saja kapan saya bisa secara mental siap. Rasanya akan cukup lengkap, meski beberapa teman juga cerita betapa indahnya Budapest, Prague, Lisbon, Kopenhagen dan taman nasional di South Africa. Maklum, yang bilang adalah teman yang sudah berkeliling di 90 negara.

Jika dipikir ulang, keliling dunia sepertinya tidak selalu berarti untuk mencari kesenangan dan obyek wisata, tapi juga belajar tentang orang lain. Ini berdasarkan pengalaman dan perjalanan virtual saya mengikuti acara Intrepid Journeys setiap Senin malam. Di acara itu, saya bisa melihat orang-orang Palestina yang mengungsi di Suriah dan orang-orang Badui di Jordan begitu ramah menerima tamu asing dari NZ. Sang tamu diundang berkunjung ke rumah, disuguhi teh dan diperkenalkan ke seluruh keluarga tanpa canggung. Sebaliknya, seorang walikota asal NZ mendaki Gunung Kinabalu dan menemukan banyak pelajaran baru dari keramahan orang di pasar dan makanan yang diolah ala kampung di "bed and breakfast" rumah panggung di tengah hutan Sabah.

Saya juga terkesan dengan kerendahan hati pembawa acara yang masih muda untuk bergaul dan belajar bahasa lokal di tengah gurun Mongolia; atau empati pembawa acara terhadap kesederhanaan penduduk Myanmar dan ketertinggalan suku Indian di sekitar Manchu Picu-Peru. Tapi tidak semua feature dalam acara itu saya nikmati secara nyaman. Contohnya, saat feature tentang Timor-timur, ada banyak hal yang terlupakan, seperti kain tenun Timor yang indah dan adat istiadatnya; sementara yang ditampilkan lebih banyak luka politis. Di lain pihak, mungkin itulah kenyataannya, kesan yang langsung terasa begitu seorang asing berkunjung ke tempat baru.

Satu feature terburuk dari acara itu menurut saya adalah feature tentang Nepal dan Tibet karena pembawa acara sepanjang acara mengeluh tentang kotor, kurang fasilitas, terlalu dingin, kurang oksigen, lelah dst, dst. Belum lagi komentar tentang penduduk asli, yang saya rasa terlalu sinis. Yang mengherankan, dia adalah mantan personel acara Foreign Correspondence yang seharusnya punya banyak pengalaman berkunjung ke negara-negara asing. Semangat eksplorasi dan empati-nya kurang.

Berkebalikan dengan Michael Palin dari BBC yang memberi review berimbang dan simpatik saat menelusuri Himalaya dari Nepal sampai Bangladesh. Dari perjalanannya, saya banyak belajar terutama tentang cara berempati dengan orang baru di tempat baru. Seorang tamu haruslah sopan, meskipun berkantong tebal, berpangkat tinggi dan bertujuan wisata. Saya mungkin sudah punya syarat yang pertama dan terakhir. Syarat yang ditengah masih perlu dicari.

Lumayan mengasyikan menonton acara-acara seperti ini. Dan rasanya, saya harus menyimpan dulu cita-cita keliling dunia, karena keliling tanah air saja belum. Selain itu, lebih enak kalau bisa berkeliling dunia atau tanah air bersama teman atau someone special. Moga-moga rejeki berpihak. Amin.

posted by Leo at 10:53

Wednesday, November 24, 2004

Lebaran

Minggu, 14 November 2004

Tidak ada perbedaan dari hari-hari biasanya. Bangun jam 5 pagi. Jam 9 sudah berada di office, membaca berita online, membalas email dan kirim-kirim salam lebaran. Jam 12 diundang ketupatan sekaligus lunch di rumah teman. Dalam perjalanan, saya sempat mampir ke Fresh Market, rencana membeli kiwi juice, tapi tidak dapat. Akhirnya beli anggur untuk buah tangan. Jam 12.05 sampai, tamu pertama, langsung salam-salaman. Mata saya langsung tertuju ke hidangan di meja, ngiler lihat ketupat, opor, rendang, sambal goreng ati, lodeh buncis, kerupuk ikan kakap, sambal dan lalab. Belum lagi di meja dorong sudah siap kaastengels, kue semprit, nastar nanas, kacang mede bumbu pedas dan kripik. Jadi deh lebarannya...

Teman lain datang terlambat. Saya dan tuan rumah makan duluan. Alhamdulillah, kenyang. Teman-teman berdatangan dan suasana pun meriah karena sambil ngobrol, kami menonton siaran langsung sepak bola Arsenal lawan Nottingham. Obrolan mulai dari suasana lebaran di Indo, keluarga, politik (sempat-sempatnya lebaran ngomongin politik NZ), makanan, olah raga, supplemen olah raga dan diet, kuliahan dan kerja, sampai satu orang memulai topik tentang kebiasaan teman yang suka merokok sembunyi-sembunyi. Teman yang "dituduh" berusaha mengelak:
"Kalau sudah punya keburukan di satu sisi, di sisi lain pasti aman. Kalau orang hanya dikenal baiknya saja, pasti dia masih punya rahasia...Leo, apa nih rahasianya?"

Lho, kok jadi saya yang ketiban sampur? Saya kan tidak ikut menuduh...Yang lain pasti punya "pengakuan" yang lebih heboh... Ini sudah mulai merambah masalah senti eh sensitive... sabar-sabar, maaf lahir dan bathin... Saya kan biasa-biasa saja dan memang baik (pengakuan jujur lho, iya, eh, anu, jujur kok). Tanpa menjawab, saya lempar balik topik ke iklan rokok yang memperlihatkan "bubur kotoran" dipencet keluar dari arteri perokok. Berhasil!!! Teman-teman akhirnya bicara tentang iklan. Sebelum merambah lebih jauh, dan karena sudah janjian untuk telepon ke Indoi, saya pamit pulang.

Jam 3 telepon ke Indo, wah keponakan sedang di rumah mertua kakak saya. Hanya kakak sendiri di rumah. Untung tamu-tamu kakak sudah pada pulang jadi bisa ngobrol lama. Lalu terdengar suara kurcaci-kurcaci di seberang telepon. My cute and lovely nices: Icha, Fia, Ifah dan Oi. Icha (6) dan Fia (4) seperti biasa, kalau dibelikan baju harus sama warna dan modelnya; dan mereka berdua merasa kehilangan saya karena lebaran kali ini tidak ada yang sibuk memotret mereka berbaju baru. Ifah (3) yang dakocan (cantik-molek-montok) sekarang jadi tomboy, tidak mau pakai rok dan sedang gemar memanjat. Oi (2) sudah bisa berhitung (1, 2, 3, 5, 4, sebelas) dan ditelepon dia sempat menyanyi lagu satu-satu yang 'tercampur' lagu balonku... "satu dua tiga say... *diam* ...meletus balon hijau, dorrr!"

Rindu sekali dengan mereka, maklum lima keponakan (satu laki dan empat perempuan) semuanya dekat dengan saya. Dua di antaranya punya nama sumbangan dari saya. Dua lainnya punya wajah fotokopi wajah saya. Keempatnya punya suara stereo kalau menangis, sekencang tangisan saya waktu kecil. Keponakan yang laki juga dekat, cuma sekarang dia sudah SMP dan sedang gemar mejeng sama teman-temannya. Sering kalau saya pulkam, yang kecil selalu nggak reckon Ibu-Bapaknya, apa-apa "sama Oom"---mulai dari main, makan, mandi, pakai baju sampai ke WC. Gawatnya, saya sering diminta nyanyi sambil nungguin para kurcaci itu di WC... Lihatlah sebuah titik jauh di tengah laut...Plung! Makin lama makin dekat bentuk rupanya...Plung! Tobaaaaat...

Menurut orang Jawa, tanda anak kecil dekat atau betah dengan kita adalah kalau digendong, pasti dia pipis. Sering saya dapat pengalaman seperti ini. Kalau dititipi anak kecil, pasti dalam beberapa menit kemudian si anak memandang saya dengan wajah polos tak berdosa... weeerrrrr... eh ada yang bocor... Atau kalau lagi asyik-asyik main, tiba-tiba wajah si anak berubah jadi agak kemerahan, seperti menahan sesuatu... Matanya memandang polos, tapi menahan eeeggnygghh, sambil berusaha senyum ke saya. Kalau begini saya tidak bisa menahan ketawa, melihat ekspresi mereka yang lucu sekali, campuran antara ngedend-tidak tahan-pasrah-senyum polos... Untung sudah ada pampers... Alhamdulillah semua sehat wal afiat.

Senin, 15 November 2004

Bangun jam 5 pagi; jam 6.15 sudah di gym. Jam 8 sudah di office menunggu teman yang mau menitip barang selama dia penelitian di Samoa. Jam 8.30 mulai kerja seperti biasa. Jam 16.00 pulang ke flat, membuat bolu bayam untuk acara silaturahmi warga Indo di Christchurch jam 18.30. Pukul 16.30 hujan deras. Baru kali ini hujan sekelas hujan di Bogor: deras, berangin dan berhalilintar. Jam 16.45 bolu sudah jadi, saya ragu-ragu. Jam 17.00 telepon teman, membatalkan pergi karena hujan masih sangat deras.

"Untung ya hujan. Jadi bisa merasakan bolu buatan kamu." Roomate saya senang karena tidak perlu lagi masak makan malam, cukup makan bolu buatan saya. Yah, meski bolunya moist dan enak sekale, bukan rejeki teman-teman Indo untuk merasakannya. Rejekinya roommates. Karena masih banyak, bolu saya potong-potong, bagi-bagi lagi dan sisanya disimpan dalam container di kulkas. Hujan berhenti sebentar, tapi saya sudah tidak mood untuk pergi. Akhirnya saya hanya menonton tv sambil makan bolu, kue semprit sisa bulan puasa, kacang dan kripik untuk menghibur diri. Teman-teman cerita kalau acara silaturahmi-nya ramai, meski tidak semua datang. Aahh, well, tidak apa-apa. Lain waktu masih bisa ketemu. Malam itu saya tidur pulas, mungkin karena kekenyangan makan bolu dan snack, mungkin juga karena capek, baru mulai fitness lagi setelah sebulan istirahat.

Begitulah suasana lebaran di sini.

posted by Leo at 10:56

Thursday, November 18, 2004

Namanya ...Ehmm ... Siapa ya?

Sudah sejak lima tahun lalu, otak rasanya semakin terdegradasi. Tidak bisa mengingat banyak angka dan nama. Saya jadi curiga, jangan-jangan sebabnya karena terpaksa jadi bilingual. Sebagian fungsi memori harus dipakai untuk mengolah kata-kata baru dan mengurangi lokus yang menyimpan angka dan nama.

Jadi teringat teman yang pernah bergurau kalau orang-orang bilingual itu kena brain damage. Mungkin benar juga, karena kalau lihat bayi-bayi Melayu yang lahir di sini hampir semuanya terlambat bicara. Bingung, ibunya ngomong Melayu, Bapaknya ngomong Jawa, orang-orang di jalan ngomong Inggris. Kena brain damage selagi muda mungkin mudah sembuh karena semua sel masih dapat kesempatan tumbuh dan beradaptasi. Kalau seumuran saya yang sudah berhenti tumbuh mungkin perlu penyesuaian bertahun-tahun.

Sebab lain mungkin termasuk kalkulator dan komputer atau segala jenis perangkat yang bisa menyimpan angka dan huruf. Otak jadi malas. Dulu bisa menghitung perkalian di kepala dalam beberapa detik, sekarang terpaksa cari pensil dan kertas dulu baru bisa. Dulu cepat hafal nomor telepon, alamat rumah orang, nama lengkap teman, bahkan kalimat-kalimat utuh dalam buku pelajaran sejarah, sekarang nomor hp sendiri atau nomor kartu kredit saja masih suka lupa. Paling-paling cuma ingat nomor depan dan belakangnya saja. Sampai-sampai saya harus membuat konotasi kata/kalimat/kejadian untuk nomor hp, kartu kredit, dst. Misalnya, 81728 saya ingat angka 8 di awal, lalu 1+7 sama dengan 8, 28 itu angka setingkat lebih tinggi dari 17 (?!?!?!?), malah jadi tambah rumit.

Yang lebih parah kalau mengingat nama. Kalau ingat muka mudah sekali, karena kalau ketemu saya biasanya cepat hafal dengan ciri-ciri wajah, model rambut atau gerak-gerik orang. Tapi kalau nama...Payah! Kadang-kadang malu kalau sudah ngobrol banyak tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hati "siapa sih dia?" Terutama kejadian kalau di pesta atau pas kumpul-kumpul. Payah, payah. Ini kejadian saat mau menyebut nama istrinya teman pas ngobrol tentang rencana dinner ramai-ramai... Ehmm... Is it Valerie? Maria? Grace? Terpaksa saya borong semua nama... Seingat saya, namanya ada bunyi R. Si suami sampai geleng-geleng, It's Carol. Atau pas panggil anaknya teman, saya panggil Calista padahal namanya Allysa. Pantesan saya panggil nggak nengok-nengok. Yang parah, saya pernah panggil "Sue" ke Ibu kost, padahal nama dia Sharon... dan panggil anaknya Ben, padahal aslinya Glenn. Gawat, gawat... Malu! Untungnya mereka maklum karena saya orang Melayu...

Untuk menghibur diri, mungkin degradasi memori saya terjadi karena sudah terlalu banyak informasi yang saya serap. Tidak mungkin mengingat dan menyimpan semua. Pasti harus ada yang dikorbankan. Layaknya memori komputer, sebagian file di otak harus di-zip supaya ngirit memori dan sebagian harus dihapus. Sayangnya, proses delete sering tidak pandang bulu. Pas butuh, informasi penting malah sudah terhapus, atau di-zip pakai password yang saya sendiri lupa (otak tidak pernah punya password) jadi tidak bisa di-retrieve.

Jadi maaf teman kalau saya sering lupa nomor telepon, alamat email, alamat rumah, dll. Saya juga suka lupa mencatatnya meski berkali-kali sudah berniat menulis. Maaf, mumpung masih lebaran...maaf lahir dan batin sekali lagi... Di-maaf-in kan?

posted by Leo at 11:04

Wednesday, November 10, 2004

Ied Fitr 1425 H

Come, come, whoever you are.
Wonderer, worshipper, lover of leaving.
It doesn't matter.
Ours is not a caravan of despair.
Come, even if you have broken your vow a thousand times.
Come, yet again, come, come.


Puisi dari Moulana Jalaluddin Rumi ini seperti menggambarkan hati yang terbuka, yang ikhlas memberi maaf, yang lapang menerima maaf. Menjelang berakhirnya bulan suci Ramadhan, perkenankan saya memohon maaf kepada teman-teman atas salah dan khilaf, dan sekaligus mengucapkan:


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1425 H
Minal Aidin Wal Fa Idzin
Taqobalallahu Minna Wa Minkum


posted by Leo at 03:45

Puasa Sabar

Puasa bukan berarti puasa sabar, justru harus belajar sabar. Begitulah, dalam beberapa hari terakhir ini banyak hal membuat saya terus-terusan mengingatkan diri sendiri untuk sabar. Pertama, sabar untuk terus menulis meskipun pantat sudah pedas, lutut kaku, mata berkunang-kunang, dan bosan. Kedua, sabar bahwa saya tidak bisa pulkam meski ingin sekali, apalagi kalau baca tagboard blog teman-teman yang sudah cerita mudik. Ketiga, sabar bakalan tidak bisa shalat ied karena tidak ada bis pagi-pagi buta ke city. Keempat, sabar bahwa salah satu roommate begitu bebal tidak mau buang sampah dan malah menuh-menuhin tempat sampah di dapur, sampai trash can tidak bisa ditutup.

Yang terakhir sebenarnya sabarnya sudah dari dulu. Sudah tiga kali mengingatkan bahwa kalau sharing flat harus contribute, sadar diri. Kalau tidak bisa, paling tidak jangan membuat roommate lain jadi kesusahan. Tapi yah, mungkin karena anak tunggal, masih 18 tahun, dia bilang lupa. Tapi kok sering ya? Roommate yang lain jarang lupa, dan mereka sudah berusaha. Saya bukan sok bersih, tapi biasa hidup teratur. Tidak betah rasanya melihat orang tidak punya courtesy untuk teman serumah. Mungkin dia berpikir tidak apa-apa sembarangan karena ada cleaning lady yang datang seminggu sekali untuk membersih flat. Tapi hanya sekali seminggu, 6 hari lainnya adalah tanggung jawab bersama.

Kalau ingat kelakuan dia, jadi ingat komentar mantan Ibu kost yang sudah kadung benci sama anak-anak dari RRC, gara-gara mereka semuanya anak tunggal yang cenderung dimanja, hanya bisa masak dan mengurus kamarnya sendiri tapi tidak considerate dengan orang lain. "Brat" begitulah Ibu kost kalau sudah marah-marah dan mengatai mereka.

Kemarin sebenarnya ingin marah dan melabrak dia langsung. Maklum, malam harinya saya baru mimpi sedih, mimpi kehilangan yang membuat bangun tidur terasa sesak. Tapi saya ingat puasa, dan tidak kebiasaan saya untuk marah meledak-ledak. Lagi pula kalau saya membiasakan marah, akibatnya akan buruk. Saya punya "bakat" terpendam untuk berkata-kata sinis yang menyakitkan hati bila marah besar. Belum lagi, saya takut menyumpah karena pernah kejadian menyumpah orang dan jadi kenyataan. Akan lebih baik bersabar dan mengandalkan diskusi. Tapi kemarin saya pun tidak dalam mood untuk berdiskusi, jadi cuma diam dan menyerahkan semuanya sama Yang Di Atas. La haula wala quwwata illa billah. Sudah cukup tiga kali mengingatkan dan dia seharusnya sadar untuk belajar lebih dewasa. Semoga ada hikmahnya untuk dia dan saya.

Ternyata hikmahnya tidak lama untuk datang. Selepas berbuka, salah satu roommate baru datang dari bekerja dan mengeluh tidak punya cukup uang untuk mendaftar summer school. Teman ini sama-sama dari RRC, sama-sama anak tunggal dan muda, seperti teman yang tidak considerate, tapi dia berasal dari keluarga yang kurang. Untuk makan dan flat, teman ini harus bekerja cleaning service di kampus, lima malam dalam seminggu ditambah sabtu dan minggu bekerja di perusahaan lain. Tabungannya tidak cukup membayar kuliah dan ternyata dia sudah gagal di satu mata kuliah yang berarti harus mengulang, dan membayar lagi. Sementara itu, uang kuliah kiriman akan datang terlambat sebulan.

Saya melihat kondisi yang kontras di antara dua roommate saya. Mereka berasal dari satu negara, kamar mereka bersebelahan. Mereka sama-sama punya kesempatan untuk mencapai sukses di masa depan, tapi satu harus berusaha keras baik secara akademik maupun ekonomi, sedang yang lain punya segalanya. Bila ini dikatakan tidak adil, mungkin tidak juga karena yang kesusahan memiliki personality yang lebih positif dan lebih dewasa; sedang yang punya segalanya mungkin belum tentu survive di masa datang atau bila mendapatkan kesusahan. Hanya masalah waktu saja yang menentukan bahwa pengalaman, ketekunan dan kesabaran akan memberikan buah hasil kebahagiaan, tidak penting besar ataupun kecil.

Mendengar keluhan teman ini, saya bersyukur bahwa nasib saya tidak seburuk orang lain. Teringat bahwa dulu saya memang hidup pas-pasan. Tapi kami sekeluarga alhamdulillah dapat perlindungan. Ibu berperan besar dalam menanamkan disiplin, hidup hemat dan sederhana. Jadi kami tidak heran dan asing bila mendapat kesusahan. Mungkin pengalaman sudah membuat saya sabar dan sekarang bisa bersyukur bahwa semua masih baik-baik saja. Masalah sampah mungkin hanya batu kecil ujian kesabaran.

Saya bersyukur atas nikmat sabar.

posted by Leo at 03:39

Sunday, November 07, 2004

Mulai Bermimpi Jadi Bos Resto

Bujangan dan masak sendiri berarti saya harus bisa menyiapkan makanan yang simple dan dalam jumlah yang cukup. Khususnya untuk lauk, saya biasanya masak cukup untuk persediaan 3 hari. Freezer jadi langganan. Meski lumayan mudah memodifikasi resep-resep sehingga "bujangan-di-rantau-friendly", terkadang bosan juga makan lauk yang sama.

Untuk cari pembeda rasa, kecap manis dan sambal (pedas atau sambal ala bangkok) buatan Indo, bawang goreng made in Thailand, dan kerupuk singkong yang dipak oleh Australia menjadi langganan (mungkin singkongnya dari Lampung dan diproduksi di Indo). Jika malas, yah indomie lagi, meski saya sekarang lebih sering beli mie Thailand berbumbu tom yam kung, pedas dan segaaaar.

Tidak terbayang jika harus tinggal di tempat yang sulit mencari bumbu Asia. Apalagi saat bulan puasa karena saya sering rindu suasana buka dan sahur dengan makanan-makanan Indo. Beruntung di sini banyak produk-produk dari Malaysia, Singapore dan Thailand, seperti kerupuk, sambal uleg, sambal rujak, bumbu sate, bumbu oseng-oseng, bumbu mie/nasi goreng. Bumbu Indo yang ada cuma Indofood, Bamboe, ABC dan santan Kara produksi Riau. Atau kalau malas masak ada restoran Malaysia dan Singapore yang menjual "Singaporean and Malay Cuisine" seperti soto bandung, rendang, terung balado, opor ayam, ikan dan telur bumbu bali, sate, nasi goreng terasi, sambal goreng ati, dll. Wah payah...sampai makanan saja di-aku oleh negara lain...

Pernah terpikir untuk membuka usaha resto Indo di sini. Teman sudah ada yang menyambut, tapi memikirkan bumbu dan proses memasaknya saja sudah ribet. Terbayang pengalaman makan di "Dewi Sri" Rotterdam yang harus menunggu hampir satu jam baru makanan yang dipesan datang. Untuk orang bule mungkin tidak masalah karena mereka bisa ngobrol ngalor ngidul sambil ber-sampanye ria. Lha, saya dan teman-teman sudah rindu masakan Indo (terjemahan dari 'kelaparan'), sudah menghabiskan jus yang kedua kalinya dipesan, ngobrol sampai berbusa, tetap harus menunggu. Sudah lama, eeeeee... rasa makanannya hanya sekelas warteg langganan saya di komplek TNI AL Rawamangun... Makanannya: rendang, sate, gulai tahu, gulai kol+kacang panjang, tumis labu siam+tempe, ayam opor, gado-gado dan sambal goreng ati+kentang. Tapi tetap mengucap Alhamdulillah karena sudah ditraktir dan hanya dalam 30 menit semua makanan amblas ...

Kesan ribet, lama dan rasa tidak significant sudah biasa untuk restoran Indo di luar. Ini bukan kesan saya saja. Teman-teman yang pernah jajan makanan Indo di kota sebesar NY saja agak kuciwa. Lebih baik makan di resto Malaysia, itu komentar mereka. Maklum, karena yang makan orang Indo, kalau bule kan jarang yang tahu rasa aslinya bagaimana. Meski ribet, cita-cita buka resto makanan Indo tetap ada. Mungkin yang bisa cepat saji, atau mungkin Indonesian Buffet dengan rasa yang lebih ok. Mungkin untuk bisa siapkan cepat perlu bumbu buatan sendiri yang siap pakai dengan resep yang lebih pas. Mungkin juga bisa meng-adopsi konsep "Eat Asian" buffet di Wellington: simple, hangat dan harga terjangkau (lihat tulisan perjalanan ke Wellington bulan Juni-Juli). Mungkin, mungkin, mungkin... Kapan ya bisa terwujud? Berkhayal dulu ah... Hmmmm...

posted by Leo at 05:04

Friday, November 05, 2004

My Big Fat Obnoxious Fiance

Teringat postingan rio: Perjodohan II - Berkibarlah bendera (putih) -ku, akhirnya teringat acara reality show di tv: My Big Fat Obnoxious Fiance. Tidak ada hubungannya dengan rio, tapi tentang perjodohan dan posisi keluarga.

Alkisah, Randi Coy berasal dari keluarga yang teratur dan berpendidikan. Dia 'dijodohkan' lewat reality show dengan Steven. Dalam tiga minggu, mereka harus menikah. Adalah tugas Randi dan Steve untuk saling belajar memahami dan nantinya bisa meyakinkan kedua orang tua masing-masing bahwa mereka memang berjodoh, serius tunangan dan akhirnya menikah. Jika berhasil, mereka mendapat 1 juta dollar. Weird.

Tapi Randi tidak tahu kalau Steve seorang aktor yang sengaja dibayar untuk melihat sejauh mana usaha Randi untuk belajar memahami calon pasangan dan menyakinkan keluarganya bahwa pilihannya tidak main-main. Randi yang cantik harus bertemu dengan Steve yang overweight, ceroboh, tak tahu tatakrama, gampang mabuk dan jorok. Two Thumbs up untuk Steven yang berperan sebagai Steve, benar-benar bisa membuat Randi hampir senewen dan putus asa. Belum lagi keluarga Steve (yang aktor-aktris juga) datang bertemu Randi yang terbengong-bengong melihat tingkah laku keluarga yang antik-eksentrik.

Teman dekat Randi pun tidak percaya saat Steve diperkenalkan karena pacar-pacar Randi terdahulu biasanya athletis, gagah, berpendidikan, trendy dan sopan. Keluarga Randi lebih-lebih hampir naik pitam setelah diberi tahu mereka bertunangan dan akan menikah. Mereka tidak percaya dengan pilihan Randi, terutama setelah mereka melihat sendiri tingkah laku Steve. Semua adik Randi menolak dan mengancam tidak akan hadir dalam upacara pernikahan. Mereka heran, bahwa kakaknya yang jadi panutan di keluarga karena pintar dan sukses, begitu ceroboh dalam urusan memilih pasangan.

Keluarga Randi berkeberatan dengan proses yang terlalu cepat dan tidak puas dengan jawaban Randi bahwa Steve dia pilih karena cinta, semata-mata hanya cinta. Mereka tidak habis pikir apakah Randi tidak memperhitungkan masa depannya, bila jadi bersanding dengan Steve.

Setelah berulang kali bertanya kepada Randi dan hanya mendapat jawaban 'cinta' dan permintaan dukungan, akhirnya sang Ibu berusaha meyakinkan anak-anaknya untuk mendukung Randi. Kalau satu anggota keluarga berbuat salah, dukungan keluarga sangat dibutuhkan. Dia memang sedih dengan keputusan Randi, tapi dia lebih sedih kalau keluarganya pecah. Sang Ayah juga tidak memaksakan kehendak. Dia hanya berulang kali mengingatkan resiko, tapi tetap menghargai keputusan anaknya, meski dengan cemas dan berat hati.

Puncak acara ditandai saat Steve menolak bilang "I do" di upacara pernikahan. Keluarga Randi langsung tercekam. Malu karena tidak saja pernikahan itu mendadak, disiarkan secara nasional dan disaksikan undangan dari kedua belah pihak; juga karena seolah Steve telah menyia-nyiakan Randi yang cantik dan punya segalanya. Mereka bingung, malu, shocked dan kecewa. Mereka mencoba boikot upacara pernikahan, meski Steve memohon mereka untuk tinggal dan mendengarkan alasannya. Sang Ayah juga mengancam (kira-kira) "You'd better be good or I'm gonna get you." Setelah diyakinkan producer, mereka bersedia bertahan dan mencoba sabar untuk mendengarkan alasan Steve.

Randi mengaku bahwa dia baru mengenal Steve dan dia ikut reality show ini karena ingin membantu biaya pendidikan tiga adik-adiknya. Tanggapan orang tuanya cukup dramatis, terutama ayahnya yang berkata dengan datar "It is not all about money". Randy langsung terdiam. Malu terhadap keluarganya, dan kecewa terhadap keputusannya sendiri.

"It's a fake." Kata-kata Steve membuat Randi terkejut, apalagi setelah tahu kalau Steve adalah seorang aktor. Steve akhirnya menjelaskan bahwa tujuan acara ini memang bukan semata-mata uang, tapi untuk menguji kesetiaan dan kelapangan keluarga untuk tetap menerima anggota keluarganya sekalipun salah satu dari mereka melakukan kesalahan, sekonyol apapun. Reality show ini juga menggambarkan bahwa usaha untuk saling mengenal, saling mendukung, serta mencoba belajar dan mau memahami merupakan nilai terpenting dari hubungan keluarga. Jika salah seorang anggota keluarga membutuhkan kita, sebesar apapun kesalahan dia, kita berusaha belajar memaafkan, dan tetap menjaga silaturahmi.

Menurut saya, acara ini benar-benar klimaks. Semula saya pikir cuma acara main-main seperti the Bachelor. Tapi maknanya lumayan dalam untuk memberi penonton pemahaman tentang nilai kekeluargaan.

posted by Leo at 02:42

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004