<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, October 30, 2005

Smile

Akhirnya saya bisa menyelesaikan alih rekaman dalam bentuk tulisan. Pekerjaan yang tidak ringan karena saya harus melalui periode penuh kepenatan, kebosanan dan banyak gangguan-gangguan yang tampak kecil tapi memerlukan pikiran ekstra untuk menyelesaikannya. Terkadang saya berpikir, mungkin semua ini adalah cobaan selama bulan puasa. Alhamdulillah, satu per satu bisa diselesaikan. Saya bisa bernafas sedikit lega.

Terkadang saya ingin sekali bisa rileks bila menghadapi suatu masalah. Saya juga begitu iri melihat dan mendengar acara infomercial; suatu kebiasaan baru saat menikmati hidangan sahur. Format acara itu, termasuk editing gambar, pengakuan, dan susunan kata-katanya seperti mengatakan "coba dulu dan kamu akan baik-baik saja". Jika rambut rontok, ada obat penyuburnya. Jika kulit keriput, ada cream penghilang garis-garis umur. Kalau gendut, ada alat dan cara mudah untuk merampingkannya. Semua ada obatnya dan terkesan gamblang. Andai setiap usaha saya bisa seperti itu, betapa menyenangkan sekali hidup ini. Satu yang sering terlewat dari acara infomercial adalah deretan kata-kata ukuran mini yang menyatakan bahwa hasilnya berbeda-beda untuk setiap orang. Jadi, sesempurna dan sekeras apapun usaha saya, hasilnya masih ditentukan oleh nasib. Waktu yang berbeda, akan memberi hasil yang berbeda. Manusia hanya bisa berusaha.

Kalau demikian, saya baru merasa betapa nikmatnya hidup ini jika saya bisa tetap tenang dan tersenyum saat ada masalah muncul. Tapi senyum sering kali menjadi mahal jika saya sedang kesusahan. Tidak pernah rasanya saya tersenyum, setipis apapun itu, bila tiba-tiba ditubruk masalah. Yang ada hanyalah salah satu atau kombinasi dari ini: cemberut, mengerutkan dahi, jantung berdebar, berkeringat, mata terbelalak, melongo, hati ciut, lemas, lunglai, lesu, pucat, ditambah ucapan-ucapan terkejut, menyesal dan sedih. Tapi ini lumrah dan manusiawi juga karena masalah sering kali muncul tiba-tiba untuk baru disadari.

Yang diperlukan sebenarnya ketenangan untuk tidak terbawa arus suasana panik. Senyum sedikit, meski tidak sepenuh arti senyum Monalisa atau tidak sesumringah senyum Aming, mungkin sudah bisa menenangkan detak jantung, memperlancar pasokan oksigen dan mencegah tambahan kerutan-kerutan di wajah. Juga siapa tahu, senyum bisa mengurangi potensi bisul, baik yang timbul di wajah maupun di tempat-tempat tersembunyi akibat memendam emosi. Dibandingkan menangis dan marah yang juga bisa melepaskan emosi terpendam dan membuat lega, senyum lebih sedikit resikonya, tentu saja asalkan tidak terlalu overdosis.

Lantas, apa dengan berpuasa saya bisa lebih banyak tersenyum? Rasanya betul. Saat ada masalah di bulan puasa, saya cuma bisa menghela nafas, berpikir sebentar dan tersenyum, minimal dalam hati. Kalau ada yang berbuat dan berbicara kurang enak, saya pasrah saja. Mungkin karena lapar saya pasrah, tapi hal ini paling tidak sudah memberi sedikit jeda untuk tersenyum. Justru dengan cara seperti ini saya banyak mendapat senyuman dari orang. Kesabaran dibalas kesabaran. Saya jadi tersemangati untuk tersenyum. Toh ajakan tersenyum tidak membatalkan puasa; malah mungkin bisa menjadi amal dan dapat imbalan, seperti mendapat kenalan baru ;).

Jika sudah bisa saling senyum, berarti sudah saatnya untuk saling memaafkan, apalagi jika sudah melibatkan kekhilafan. Jangan dipendam lagi hal-hal yang dulu menjadi masalah dan pertentangan. Meski tidak akan jadi bisul, tapi uneg-uneg atau dendam hanya bisa menambah beban di kemudian hari. Agar lebih afdol, tersenyum dan ucapan minta maaf/memaafkan rasanya masih perlu disertai niat untuk rela, ikhlas dan membuka hati. Memaafkan tidak saja untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri, karena saya sebagai pribadi mungkin menjadi pihak yang paling semena-mena terhadap diri sendiri.

Akhirnya, sambil tersenyum ikhlas, saya menutup tulisan singkat ini, serta menyampaikan dengan segala kerendahan hati:

Mohon maaf lahir dan bathin kepada semua teman-teman blog
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1426 H untuk rekan-rekan muslim
Minal 'aidin wal faizin
Taqobbal-Allahu minnaa wa minkum

Jangan lupa untuk tetap tersenyum, Cheers :)

Smile

(artist: Nat King Cole, words by John Turner and Geoffrey Parsons ,and music by Charlie Chaplin)

Smile though your heart is aching
Smile even though it's breaking
When there are clouds in the sky, you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through for you

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smile

posted by Leo at 10:01

Sunday, October 23, 2005

Burung di Tepi Jendela

Selama dua minggu terakhir, saya sibuk berkutat memindahkan rekaman wawancara ke dalam bentuk tulisan. Belum selesai, meski saya sudah bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Kemarin, saat menyiapkan peralatan rekaman, tiba-tiba teman menelepon, mengajak melihat Orana Wildlife Park. Boleh juga untuk refreshing, apalagi gratis.

Di sana saya bisa memberi makan jerapah, dan melihat lagi 2 ekor kiwi, kali ini dalam jarak dekat, meski masih dibatasi kaca. Juga melihat burung merak jantan yang sibuk menggembangkan dan menggetarkan ekornya yang luar biasa indah untuk mengusir seekor ayam yang masuk ke wilayahnya. Saya juga melihat koleksi singa yang jumlahnya cukup banyak. Pengunjung bisa melihatnya dalam jarak sangat dekat. Satu singa jantan tampak tertarik melihat pengunjung yang datang. Dia sempat menatap saya dengan sorot mata tajam. Tapi saya sadar, sorot matanya bukan sorot mata yang lapar, tapi sorot mata yang jauh menerawang, sorot mata yang seperti rindu alam kebebasan. Saya jadi merasa senasib dan sepenanggungan. Bila saya merasa bosan dan rindu, saya bisa melamun cukup lama sambil melihat pohon-pohon di balik jendela.

Pernah suatu kali, saat sedang melamun sambil menatap jendela, seekor burung fantail betina tiba-tiba masuk ke office dan menari-nari di atas rak buku saya. Dia menciat dengan satu atau dua tone sambil mengembangkan ekor dan melonjak-lonjak seperti tarian cendrawasih. Jadi teringat dengan starling, burung yang dulu kerap bernyanyi di dahan, tepat di tepi jendela office.

Saya mulai tanggap dan mengenal burung itu lebih dari setahun lalu, saat masih menempati ruang sebelah. Saat saya menunjuk burung itu di luar jendela, teman satu ruangan berkomentar bahwa burung itu masih kecil, baru belajar terbang. Memang kelihatan dari caranya berdiri di dahan, masih sedikit oleng dan kepakan sayapnya masih ragu-ragu.

Meski jumlah mereka banyak, saya tahu adalah burung yang sama yang menempati 'panggung' di depan jendela saya. Ciri khasnya, 'dia' punya satu bulu yang mencuat keluar di sisi kanannya. Dulu setiap pagi dia bertengger di dahan dan bernyanyi dengan riang terutama bila matahari bersinar cerah. Starling punya suara beragam. Ada pelan bergumam (2 tones), berdecak (2 tones), menciat, berbunyi seperti suara bom yang ditembakkan di film-film kartun...ciiiiiiiiuuuuuuu... (cuma tidak diakhiri bunyi duuuaaaaar), dan bunyi keretek (2 tones).

Waktu kecil, dia tampak sendiri, berkicau sambil memutar kepala ke segala sudut seolah bertanya atau memanggil teman-temannya, meski tidak satupun yang mendekat. Kemudian dia kadang-kadang bernyanyi dengan ditemani satu atau dua burung sejenisnya. Tapi sekarang si starling sudah jarang menyanyi lagi di tepi jendela. Mungkin dia sudah menemukan soulmate-nya dan membuat sarang di antara kelebatan daun-daun pepohonan yang mulai semarak di musim semi.

Ada banyak lagi burung-burung yang saya temui dalam perjalanan pergi-pulang. Sebagian besar berwarna coklat, tapi variasi warnanya beragam. Bila hari cerah, dalam perjalanan pergi-pulang, saya masih bisa mendengar riuhnya burung-burung bergossip di deretan pohon akasia. Saya juga melihat beberapa keluarga bebek mallard dengan anak-anaknya yang sudah besar. Bebek yang cukup cantik, meski pada bulan Maret sampai Mei mereka akan diburu karena populasinya meningkat tajam. Bebek migran seperti mereka juga mungkin akan menjadi sasaran pembasmian untuk pencegahan flu burung.

Ingatan saya kembali pada tatapan singa jantan muda di Orana Wildlife Park. Sorotan mata yang bosan dan merindukan alam kebebasan. Sementara dari balik jendela, masih terdengar konser suara starling dan paduan suara anak-anak burung yang bersahut-sahutan riuh; di saat sang waktu mengawali hari baru.

posted by Leo at 00:00

Saturday, October 15, 2005

Terkejut

Akhirnya saya bisa kembali memutakhirkan (kata EYD dari meng-update) blog setelah kurang lebih 10 hari merasa malas. Awalnya dari hari pertama puasa. Malas 'pulang'. Ditulis dalam tanda petik karena saya tidak tahu apakah kepergian saya kembali ke NZ itu bisa dikategorikan 'pulang' atau tidak.

Tanggal 5 Oktober saya harus meninggalkan tempat tumpangan yang sudah membuat kerasan selama beberapa minggu di Jakarta. Hari terakhir di Jakarta itu masih diisi dengan mengatur ulang isi koper, menimbangnya, mengurangi kembali isinya, menambah kembali, mengurangi lagi, dan akhirnya membeli barang yang dipesan orang di jam-jam terakhir. Perasaan lelah, tapi hati berkata 'harus beres'. Alhamdulilah, saya masih bisa berbaring di tempat tidur selama 1.5 jam, sebelum mandi dan berangkat ke bandara.

Selama perjalanan ke bandara, saya sibuk mengirim sms untuk berpamitan kepada teman-teman yang sebagian besar terkejut kalau saya pulang hari itu. Rasanya berita bahwa saya memajukan 'kepulangan' saya ke NZ sudah saya edarkan begitu saya keluar dari Lamongan karena persetujuan maskapai penerbangan saya terima pada akhir Agustus. Saya jadi bertambah malas 'pulang'. Supir taksi yang membawa saya juga seperti ikut malas karena memilih jalur yang saya tidak mengerti. Tapi saya malas memperingatkan, biarlah, malas. Cuaca juga seperti 'aras-arasan' (canggung, tidak menentu, ragu, tanggung), berganti-ganti antara hujan, panas terik, mendung dan berangin.

Saya jadi teringat saat saya datang. Sebagian besar orang/teman/keluarga yang bertemu juga terkejut. Saya banyak mendapat sambutan kata-kata surprise: "Eh..."; "Lho..."; "Wah..."; "Kok..." serta menangkap sorotan-sorotan surprised yang tidak diungkapkan dalam kata-kata. Meski saya sudah memberi kabar sebelumnya, tapi mereka terkejut bahwa saya jauh lebih kurus, bahwa saya pulang masih dengan membawa perilaku seperti dulu, bahwa saya masih bisa dan mau kembali. Yang terakhir ini terutama dirasakan oleh teman-teman/keluarga yang tahu bahwa saya selalu distracted, sering berpaling dan memimpikan punya sayap untuk setiap saat bisa terbang.

Tapi tanggal 5 Oktober itu saya memang terbang kembali dengan sayap besi ke NZ. Berbuka puasa dan sahur di pesawat sambil menikmati film-film dan sitkom di layar tv mungil di bangku pesawat. Tidak merasa terganggu, meski penumpang di belakang sibuk menelpon lewat handphone sejak pesawat masih di darat sampai mendarat lagi, meski penumpang lainnya sibuk terbatuk-batuk berat. Semua berjalan lancar, termasuk saat petugas bandara membebaskan kelebihan muatan bagasi saya, saat petugas bandara Cengkareng membongkar koper saya untuk mencari bahan yang mudah meledak, dan saat petugas pabean NZ memeriksa ikan teri, teh, kopi, permen, minuman jahe, empat puluhan DVD, perlengkapan bayi, dan kerajinan batik yang saya bawa.

Sesampai di NZ, teman-teman sudah menunggu. Senang kembali bertemu mereka dan merasa lega karena ada yang menjemput. Sebagian teman-teman di NZ terkejut karena mengira saya akan berlebaran di tanah air. Tapi here I am.

Saya pun kembali ke flat yang lama, jadi mungkin penggunaan kata 'pulang' sudah tepat. Teman-teman flat terkejut karena saya kembali, bisa kembali ke flat yang lama, meski ke kamar yang berbeda. Padahal mereka pernah mendengar bahwa saya tidak akan tinggal bersama mereka lagi, di flat yang lama. Teman-teman flat juga masih terkejut di hari-hari berikutnya, karena saya masih suka bersih-bersih dan masak-masak seperti sebelumnya. Mereka juga terkejut karena saya bisa sakit.

Empat hari pertama di NZ, saya merasakan jet lag dan gejala flu yang 'tidak jadi'. Mungkin ini merupakan bentuk keterkejutan saya dengan cuaca di NZ yang memang sedang dingin, banyak hujan dan berangin kencang. Berbagai urusan kecil-kecil juga membuat kejutan karena macet sehingga mengharuskan saya bersabar merunut kembali dari asal muasal timbulnya masalah. Saat berbuka puasa, saya tidak nafsu makan; sedangkan saat sahur, apa yang dimakan kembali keluar. Saat mau membuka botol selai, otot pundak saya tertarik, dan bertambah lagi masalah. Otot menegang dan seharian kepala saya pusing. Tapi saya berniat sabar dan tetap berpuasa.

Alhamdulillah, dari pemantauan dokter, tidak ada yang serius dan saya masih bisa berpuasa. Saya masih bisa hilir mudik memindahkan barang dari office ke kamar. Bahkan pada hari ketujuh saya sudah bisa membuat brownies dan shortbread cookies untuk teman berbuka. Hari kedelapan sudah bisa membuat bihun bakso sapi kuah dan nasi goreng kunyit-teri, dan mengundang dua teman Indo untuk menemani berbuka puasa. Sekalian membalas undangan mereka berbuka puasa pada beberapa hari sebelumnya. Batuk saya masih belum hilang, tapi urusan-urusan kecil satu per satu bisa diselesaikan. Tinggal satu saja yang masih menggantung, tapi Insya Alloh bisa diselesaikan.

Hari ini adalah kesempatan kedua untuk berbuka puasa bersama teman-teman Indo di Christchurch. Pada kesempatan pertama, saya batal memasak karena kondisi badan yang panas dingin. Kali ini saya akan menyiapkan bihun goreng seafood. Meski masih ragu apa bisa seenak dulu, tapi saya sudah memesan teman flat yang tidak puasa untuk menjadi pencicip. Semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Perasaan saya sudah bisa sedikit bergembira, meski masih merasa ada sesuatu yang hilang. Maaf saya masih belum bisa sering-sering blogwalking . Masih sering pusing melihat cepatnya internet di sini. Selamat untuk Siberia, Unai dan Wisa yang sudah mengganti skinnya. Semuanya Ok. Kalau YNa dan Yaya berganti-ganti skin itu sudah biasa:-), tapi bagus-bagus kok.

Cheers!

posted by Leo at 03:46

Wednesday, October 05, 2005

Come What May

Andaikan kau datang kembali

posted by Leo at 10:37

Monday, October 03, 2005

Ramadhan 1426 H

Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan ikhlas
Mohon maaf lahir dan batin

Semoga amal dan ibadah kita diterima Alloh SWT

posted by Leo at 08:45

Saturday, October 01, 2005

Tangan yang di Atas

Satu pemandangan yang tidak asing bila bepergian dengan kereta jabotabek adalah banyaknya peminta-minta yang berjalan dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Tentu hal ini bukan merupakan kekhasan dari kereta jabotabek. Kemana pun saya pergi, saya akan bertemu dengan orang-orang yang meminta sedekah.

Saya perhatikan, tidak semua penumpang di kereta tergerak hatinya dengan permohonan peminta-minta, meskipun peminta-minta itu cacat, masih kecil dan kumal, sudah renta dan tertatih-tatih, terluka di bagian tubuh tertentu, membawa anak yang menangis, menyampaikan curahan hati tentang berbagai kesulitan yang akhir-akhir ini melanda, dan banyak lagi. Mungkin para penumpang itu tidak memiliki uang receh, karena toh peminta-minta itupun mungkin hanya mengharapkan uang receh. Mungkin juga para penumpang sudah terlalu biasa dengan peminta-minta itu, karena setiap hari bertemu. Mungkin juga tidak menjadi masalah; bila hanya ada puluhan penumpang dalam sehari--di antara ribuan penumpang kereta--yang punya uang receh dan mau sedikit beramal.

Sesaat saya berpikir bahwa adanya peminta-minta telah membuat empati terhadap sesama tetap terjaga. Tapi sekian menit kemudian, setelah melihat arus peminta-minta yang terus bermunculan, dalam hati saya mulai bertanya: sampai kapan peminta-minta itu tetap menengadahkan tangan untuk mengharapkan sedekah? Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa suatu saat mereka harus bisa menjadi tangan yang di atas? Atau memang sudah terlalu banyak orang yang tidak mampu dan tidak mendapatkan kesempatan yang layak untuk berusaha? Pada saat yang sama, saya juga melihat banyak orang tua-muda menjajakan berbagai barang, berpuisi, bermusik, sampai membersihkan lantai kereta dengan sapu; orang-orang yang berusaha, tidak meminta-minta.

Pernah dalam hidup saya, keluarga kami berada dalam posisi yang sering menerima dan mengharapkan bantuan dari saudara-saudara. Dan setelah kami bisa berdiri sendiri, kami merasakan betapa nikmatnya menjadi tangan yang di atas, merasakan suatu martabat yang pantas. Bisa membantu sesama itu sangat membahagiakan.

Jadi, melihat peminta-minta yang sama setiap hari tentu bisa membuat saya berpikir negatif bahwa mereka malas, free rider dalam kehidupan yang sebenarnya no free lunch. Tapi saya bukan cenayang yang bisa mengetahui isi hati dan niat setiap orang. Saya tidak tahu, mungkin mereka meminta karena dipaksa oleh himpitan hidup mereka yang berat. Bisa jadi peminta-minta itu juga sudah merasakan betapa bahagianya menjadi tangan yang di atas saat mereka membantu sesama yang kurang beruntung, di lingkungan gubuk atau rumah petak mereka di bantaran kali, atau di lingkungan perdesaan mereka yang subur dan asri.

Bila mereka terus meminta-minta, apakah itu berarti mereka terlalu nyaman dengan cara mencari nafkah yang paling mudah--meskipun mungkin tidak mudah? Saya tidak tahu, dan tidak mengerti. Yang saya mengerti bahwa manusia seharusnya selalu berprinsip bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin. Beramal hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin. Mungkin peminta-minta itu pun memiliki prinsip yang sama, bahwa hari ini bisa lebih baik dibandingkan kemarin. Rejeki hari ini harus lebih banyak dibandingkan kemarin. Satu prinsip yang memiliki satu akar, kemudian bercabang dan kembali dalam lingkaran yang sama. Ada tangan yang memberi, ada tangan yang menerima. Selama ada yang memberi, pasti selalu ada yang menerima.

Saya juga sebenarnya ingin tahu apa yang ada dalam pikiran dari para pemilik tangan yang mengulurkan sedekah. Apakah mereka memberi karena ingin menghabiskan uang receh yang sering terdengar bergemericik mengganggu dan mengganjal di saku. Apakah mereka memberi agar peminta-minta segera pergi dari hadapan mereka yang sedang menikmati santapan lezat. Atau apakah mereka memang sengaja menyiapkan uang receh, seperti salah seorang teman baik saya, agar tidak lupa memberi dimana pun mereka bertemu peminta-minta. Untuk yang terakhir ini, saya berpikir alangkah indahnya bila dalam bersedekah, sejak awal, kita tidak memiliki prasangka tentang mengapa begini-mengapa begitu. Bersedekah yang hanya didasari oleh niat untuk memberi, tidak lebih, tidak kurang.

Tapi kita tentu sering lupa dan alpa, sehingga lumrah pula bila kita memiliki prasangka. Apalagi jika yang memohon sedekah itu kurang menyakinkan. Tapi apa pula ukuran 'menyakinkan' itu? Lagi-lagi saya terpikir dengan prinsip pemasaran tentang pentingnya penampilan: "dari penampilan, orang akan tahu siapa anda". Sebenarnya hanya sedikit yang saya ingat tentang rupa peminta-minta yang saya temui, meski kalau diingat-ingat, ada beberapa kesamaan rupa. Tapi rasanya tidak elok untuk memperhatikan mereka dari ujung kaki sampai ujung rambut, sebelum yakin apakah mereka perlu bantuan apa tidak.

Satu yang saya tidak setuju adalah banyaknya anak-anak yang diawasi oleh orang-orang dewasa gagah dan sehat di perempatan jalan, saat anak-anak itu meminta-minta. Atau satu truk menurunkan dua puluhan peminta-minta di suatu sudut jembatan di daerah Cawang. Suatu femomena perjuangan dan pembelajaran jalan pintas yang kurang sehat. Tapi apa mau dikata, karena usaha jalan pintas toh tidak akan pernah surut dari dunia ini. Hanya berupa-rupa saja bentuknya, termasuk KKN dan banyaknya remaja yang ingin menjadi artis tanpa perlu sekolah yang betul (catatan: "sekolah yang tinggi" itu bukan sinonim dari "sekolah yang betul"). Selagi semua masih memungkinkan.

Lepas dari semua ketidakmengertian saya, bersedekah rasanya tetap menjadi suatu keharusan. Dan adanya peminta-minta sedikit banyak telah mengingatkan saya untuk bersedekah. Jika terlalu banyak berpikir mengapa begini mengapa begitu--seperti tulisan ini--bisa-bisa saya kurang ikhlas dalam bersedekah.

Saya amat setuju dengan tiga kutipan yang pernah saya baca, meski yang dua pertama sudah lupa sumbernya:
- Dunia ini harus seimbang; bila ada yang kaya, pasti ada yang miskin (dan)
- Jika kita rajin berzakat dan bersedekah, akan hanya ada sedikit orang miskin di dunia ini (tapi)
- If it's true that we are here to help others, then what exactly are the others here for? (Bernhard Shaw).

Jadi, sudah sepantasnya jika saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa tangan yang di atas selalu lebih baik dari tangan yang di bawah. Bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin, dan jangan lupa untuk selalu menjaga penampilan agar tetap menyakinkan, serta pantang menyerah dalam berusaha. Sip!

posted by Leo at 04:31

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004