<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, November 27, 2005

Pembantu

Di NZ, semua orang dituntut bekerja sendiri karena biaya tenaga kerja mahal. Sangat sedikit orang yang mempekerjakan pembantu. Jikapun ada, biasanya tidak datang setiap hari. Selebihnya, dikerjakan sendiri.

Tapi, apa jadinya hidup di Indonesia tanpa pembantu? Beberapa teman secara bercanda pernah mengatakan bahwa salah satu yang mereka rindukan bila pulang kampung adalah rindu dengan pembantu. Rindu si Mbok.

Lantas, apa yang menentukan kita perlu pembantu atau bisa mengerjakan sendiri? Anak kos yang uang bulanan-nya terbatas pasti tahu jawabannya: harga. Kalau ongkos cuci-setrika baju mahal, ya harus bisa cuci-setrika baju sendiri. Di NZ, jumlah tenaga kerja yang sangat sedikit dan standar hidup yang tinggi menyebabkan biaya untuk mempekerjakan pembantu semakin tinggi. Kondisi ini mendorong sebagian orang memilih mandiri, dan memiliki pembantu bisa menjadi semacam kemewahan.

Tapi jika punya uang, manakah yang lebih baik: tanpa pembantu, atau dengan pembantu? Jawabannya: tergantung. Tanpa pembantu, setiap orang bisa menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Tapi tanpa pembantu, setiap orang membutuhkan pikiran dan tenaga ekstra untuk membagi waktu dan pekerjaan. Selain itu, keluarga tanpa pembantu belum tentu bisa berhemat, terutama bila tidak bisa menyiapkan makanan sendiri di rumah. Sebaliknya, dengan pembantu, rumah bisa lebih terorganisir, anggota keluarga bisa memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan mungkin menghemat sedikit biaya makan. Tapi dengan adanya pembantu, orang biasanya menjadi kurang bergerak, mudah gemuk dan kurang bertanggung jawab.

Jadi, jawaban dari pertanyaan "apakah kita perlu pembantu atau tidak?" adalah "tergantung harga". Tergantung seberapa besar harga yang mampu kita bayar, baik secara material maupun immaterial. Yang terakhir ini justru yang sering luput dari hitungan; bahkan dari seorang sarjana lulusan fakultas ekonomi sekalipun. Seberapa berharganya kita untuk bisa memberi "harga" yang layak untuk seorang pembantu?

Pernah sewaktu saya di US, supervisor saya bertanya mengapa saya tidak memelihara anjing? Pertanyaan ini muncul karena anjing beliau suka sekali merebahkan diri di kaki saya bila saya berkonsultasi. Saat itu saya spontan menjawab: saya tidak rela membeli makanan untuk anjing saya (bila punya); sedang saya belum mampu memberi (setidaknya) gaji yang layak untuk pembantu saya di rumah. Saya tidak mau menjadi orang yang memperlakukan pembantu lebih rendah dibandingkan hewan peliharaan. Dan hal ini yang secara tegas diajarkan almarhumah Ibu dan Nenek saat kami kecil.

Pembantu di keluarga kami sudah seperti saudara dan teman baik. Alhamdulillah, kami selalu mendapatkan pembantu yang baik, loyal dan dapat dipercaya. Bila mereka ada kekurangan seperti kurang teliti dalam bekerja atau sedang terserang rasa bosan, kami harus maklum, karena kami pun memiliki kekurangan. Ada kelebihan dan kekurangan. Adanya pembantu tidak membuat kami bersantai. Almarhumah Ibu membiasakan kami berbagi tugas, dan kalau rumah berantakan, kami semua kena marah. Kebiasaan ini membuat kami tidak repot saat hidup tanpa pembantu selama 5 tahun.

Bila selama kita jauh, kita memiliki perasaan rindu dengan pembantu, semoga yang dirindukan adalah rindu untuk berkolaborasi kembali dengan si Mbok. Bukan semata-mata rindu mengalihkan tugas kepada orang lain. Bukan juga semata-mata membiarkan Ibu-Bapak dan sanak keluarga di tanah air untuk melayani kita yang sedang melepas rindu. Setelah melepas kangen, tentu perlu ada sedikit gerak badan.

posted by Leo at 23:05

Monday, November 21, 2005

Kenalkan: Pacar Baru

Proses perkenalan kami memang singkat. Sebenarnya baru satu setengah bulan. Saat itu, dia masih menjadi milik orang lain dan saya belum tertarik dengan dia. Kalaupun bertemu, saya hanya bisa memandang dia dari kejauhan. Tapi semuanya berubah saat kami pergi bersama-sama. Rasanya nyaman bisa bepergian bersama. Kami pun jatuh cinta, meski mungkin itu bukan cinta pada pandangan pertama.

Tapi perjalanan kami untuk bersama tidaklah semulus yang kami duga. Banyak orang yang mengganggap bahwa saya sepatutnya mendapatkan yang lebih baik dari dia. Apalagi karena umur kami berbeda jauh. Sebagian malah berpendapat kalau saya sudah seperti kena sihir karena tidak mundur dengan keputusan saya. Yah...apa mau dikata, kadung sudah jatuh cinta. Hidung bak jambu air-pun akan tampak megah bila sedang jatuh cinta. Tapi memang arus luar tidak mudah begitu saja dibendung. Saya sampai bingung, meski niat tidak pernah urung. Hati sudah teguh kukuh berlapis baja, bahwa hanya dia yang cocok dengan hati saya.

Banyak hal yang membuat saya begitu jatuh cinta dengan dia. Dia selalu berbaju biru; sama dengan saya yang suka mengkoleksi baju biru. Meski dia sederhana, tapi dia selalu berusaha tampil bersih, sesuai dengan selera saya. Dia termasuk yang suka hidup hemat, sama dengan prinsip saya yang mementingkan fungsi dibandingkan kulit. Dia tidak pernah menuntut yang macam-macam, juga selalu berusaha memberi kemudahan bagi saya. Jika bersama dia, saya tidak pernah merasa tertekan; malah sebaliknya, saya menjadi semakin percaya diri. Dan kami pun semakin kompak dan serasi. Hal-hal inilah yang justru kemudian mencairkan pendapat orang-orang tentang kami.

Adalah benar kalau ada yang bilang bahwa jodoh itu tidak akan lari kemana-mana. Tanggal 17 November kemarin, kami meresmikan hubungan kami. Sebentuk kartu mungil menjadi bukti. Dengan kartu itu, kami bisa tetap bersama, meski tentu saja harus tetap mawas diri, karena kami sadar bahwa perjalanan kami tidaklah akan sempurna dan selalu lancar. Hari itu menjadi satu hari yang begitu membahagiakan dalam hidup saya. Hari itu saya bisa membuktikan bahwa keputusan untuk membeli mobil honda civic automatic berwarna biru keluaran lama tidaklah sia-sia karena dengannya saya bisa lulus ujian praktek menyetir dan mendapatkan surat izin mengemudi di New Zealand dengan cukup mudah. Saya rayakan hari itu dengan tidur pulas setelah sebelumnya makan coklat beraroma buah kiwi. Alhamdulillah.

posted by Leo at 02:16

Sunday, November 06, 2005

Berlebaran

Lebaran di NZ lebih lambat satu hari dibandingkan dengan lebaran di negara-negara di Asia. Saya pun menggenapkan puasa menjadi 30 hari. Meski demikian, kegembiraan menyambut lebaran tidak berkurang. Rencana untuk membuat green tea tiramisu untuk acara halal bi halal sepertinya juga sudah siap.

Hari menjelang lebaran, saya sibuk luar biasa. Kebetulan, pada hari itu saya ditinggal sendiri oleh semua teman flat. Mereka pindah karena ada yang sudah lulus atau karena ingin mencari suasana baru. Saya pun sibuk hilir mudik untuk memindahkan barang. Di antara kesibukan itu, saya sempatkan untuk menelepon beberapa orang terpenting dalam hidup saya, untuk minta maaf lahir dan bathin. Sulit sekali 'menembus' nomor-nomor telepon di tanah air. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya bisa tersambung. Sayangnya, keluarga sedang halal bi halal di luar rumah. Saya tunggu sampai malam waktu NZ, mereka belum juga pulang. Tapi kerinduan untuk bercerita banyak terobati setelah bisa mengobrol selama satu jam dengan si dia.

Sampai setelah berbuka puasa, salah satu teman masih sibuk memindahkan barang. Saya pun membantu dia memindahkan barang dan membersihkan flat karena rencana semula untuk membuat tiramisu gagal total. Saya kehabisan telur. Jam sudah lebih dari pukul 9 malam dan, tidak seperti di Jakarta, di sini toko terdekat terletak 1 km dari flat dan biasanya sudah tutup paling lambat pukul 7 malam. Akhirnya, tepung terigu yang sudah saya campur dengan teh hijau saya simpan. Begitu juga dengan selai kacang merah yang sudah saya buat sehari sebelumnya.

Hari lebaran, saya bangun jam 5 dan bersiap untuk shalat Ied. Tahun lalu saya tidak shalat Ied karena shalatnya pagi hari, saat jadwal bis belum dimulai. Tahun ini shalat Ied dimulai pukul 9 dan ada orang Malaysia yang berbaik hati memberi tumpangan. Cuaca mendung, hendak hujan. Tapi ini tidak mengurangi keistimewaan lebaran tahun ini. Salah satunya karena Imam yang baru untuk masjid satu-satunya di Christchurch adalah orang Indonesia, meski beliau sekarang warga negara Australia. Takbir pun terdengar saat kami memasuki area shalat di Hagley Park; sesuatu yang, menurut orang-orang, tidak dilakukan tahun lalu. Takbir dan ceramah yang disampaikan menjadikan suasana seperti di tanah air. Kebiasaan saya yang selalu terharu bila mendengar ceramah di hari lebaran masih ada.

Sepulang shalat, saya diundang santap lontong opor ayam dan sambal goreng di rumah teman. Wah, rasanya pas sekali. Juga sempat menikmati nastar dan kue putri salju. Belum lagi, teman lainnya membuat rempeyek. Setelah makan, saya dan teman bergegas pulang untuk membuat brownies; rencana cadangan setelah gagal membuat tiramisu. Kebetulan ada teman yang masih punya telur dan keju, dan saya punya strawberry untuk hiasan.

Acara halal bi halal dimulai pukul 4.30, tapi sebagian besar orang datang pukul 5, termasuk saya. Hidangan tahun ini: rendang, sambal goreng hati, opor ayam, sayur lodeh (isinya buncis, tahu dan udang), ayam bakar dan panggang, juga tempe dan telur balado. Selain itu ada roti prata (semacam roti cenai ala Singapore). Hidangan ringannya ada kue semprit coklat, kacang goreng, tape-uli, puding coklat, mousse, blackforrest cake, cheese cake, brownies, lumpia dan buah-buahan. Acara ditutup dengan pesta kembang api. Lengkap sudah.

Suasana lebaran masih terasa keesokan harinya. Saya dan teman-teman jalan-jalan di pusat kota dan berfoto-foto (lagi!). Akhirnya saya juga bisa menelepon keluarga saat mereka masih ada di rumah. Senang mendengarkan cerita keponakan-keponakan mengenai baju barunya yang berwarna-warni dan berbunga-bunga, meski sempat bingung begitu ditanya: "Oom, besok datang jam berapa? Bawa oleh-oleh, ya." Dua keponakan saya yang masih kecil masih mengira NZ itu sama dekatnya dengan Jakarta.

Lebaran kali ini juga bertepatan dengan periode pesta kembang api di Christchurch. Sabtu malam akhirnya dihabiskan di tepi pantai menikmati kembang api yang luar biasa indah. Meski pulang kemalaman dan harus berebut bis, malam itu saya bisa tidur nyenyak. Mata saya juga tidak kelilipan lagi, sesuatu yang terjadi mulai dua hari sebelum lebaran sampai hari Sabtu. Kata orang, kalau sering kelilipan bulu mata atau ada bulu mata jatuh di pipi, artinya ada orang yang rindu. Betul? Tidak tahu juga. Kalau itu benar, berarti banyak sekali orang yang rindu dengan saya. Dan rasanya lebih baik saya berpesan: agar yang rindu langsung menghubungi saya saja, sebelum bulu mata saya rontok semua :-)

posted by Leo at 05:34

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004