<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Friday, December 30, 2005

Hidup itu Ajaib

Agustus 2005. Kata-kata itu diucapkan oleh asisten saya saat kami berbincang-bincang santai seusai sarapan pagi. Jodoh, rejeki dan jalan hidup setiap orang itu unik. Dulu saat kuliah, saya berangan-angan mendapat pekerjaan nyaman bergaji besar sesuai dengan prestasi yang saya capai. Meski banyak tawaran menggiurkan, ternyata saya justru memilih pekerjaan yang biasa saja, harus berpanas-panasan sepanjang hari dan bergaji lebih rendah dibandingkan teman satu angkatan yang nilainya biasa-biasa saja. Saya sendiri sampai sekarang tidak mengerti mengapa saya memilih pekerjaan itu. Tapi yang saya mengerti bahwa dari pekerjaan itu saya menemukan jalan melihat dunia. Sama halnya dengan kakak saya yang dulu berkata amit-amit mendapat suami hanya selompatan pagar. Kenyataannya, dia menemukan suami yang tinggal hanya berselang tiga rumah dari rumah kami. Komentar bahwa bayi itu ajaib juga terasa tepat karena kelahiran manusia menjadi awal dari suatu perjalanan dengan arah yang sering tidak terduga. Ajaib.

Bila hidup itu suatu siklus, mungkin cabang dan rantainya terlalu banyak untuk dapat membantu kita mengerti tentang "untuk apa kita hidup". Yang kita sadari biasanya hanya muncul dalam wujud dua pilihan yang kontras: ini-itu, baik-buruk, dulu-sekarang, salah-benar, cinta-benci, hitam-putih, kanan-kiri, lapar-kenyang, besar-kecil, dsb. Pilihan yang miskin, meski hidup mungkin sebenarnya kaya dengan pilihan. Adalah keterbatasan kita untuk mengenali berjuta pilihan yang harus ditentukan hanya dalam hitungan detik. Akibatnya kita sering harus menempuh detour yang seolah tanpa ujung setelah berulang kali mengambil jalan/respon spontan yang tanpa hasil. Ingin rasanya bisa meramal dan mewujudkan segala sesuatu sesuai kehendak kita. Tapi hidup terlalu ajaib untuk diramal.

Meski hidup ini ajaib, semua tampak terencana dari awalnya. Setiap orang seperti sudah mendapat rencana yang berbeda. Ada rencana yang harus diperoleh lewat tumpukan-tumpukan kecil yang melelahkan, ada rencana besar yang bisa langsung didapat hanya lewat sekelebatan usaha. Ada rencana yang menyertakan orang yang memang kita inginkan untuk bersama, ada rencana yang harus kita tempuh sendiri. Ada rencana yang datang dari orang yang tidak kita kenal, atau bahkan dari orang yang kita benci.

Hidup yang ajaib. Saya jadi teringat lagi polah gerak Tata Dado saat lip sync lagunya Dionne Warwick "I'll Never Love This Way Again" di episode terakhir Lenong Rumpi.
Pilihan lagu yang tepat. Saat itu Lenong Rumpi telah mendapat tempat yang tepat, memilih tim yang tepat tapi waktu terkadang tidak berpihak.

Sama halnya dengan hidup, meski terkadang hidup tidak semeriah, sesantai, seceria dan sepenuh-tawa seperti Lenong Rumpi. Pengalaman hidup terkadang memberi imbalan kepuasan dan kebahagiaan yang optimal, tapi pengalaman seperti ini sering hanya sekali terjadi. Tidak bisa berulang karena hidup terus berubah. Yang bisa kita lakukan saat pengalaman itu tiba adalah mempertahankannya...hold on, hold on, hold on... meski untuk mempertahankannya membutuhkan usaha keras. Bila semuanya harus berakhir, kita hanya mengingat bahwa dengan segala kekurangan, kita telah berusaha yang terbaik dan bersyukur sudah menjadi bagian darinya. Rasa sesal dan kehilangan adalah lumrah, dan lumrah pula jika itu akan menghiasi hidup kita dalam putaran waktu yang lama karena kita tahu: "I'll Never Love This Way Again".

Bagi saya sendiri, hidup masih berjalan apa adanya meski banyak riak dan tidak sepenuhnya saya mengerti. Saya bersyukur bahwa jalan hidup saya tidak se-tragis Charlott Bronte, pengarang Jane Eyre yang pernah berkata "Hidup ini sedemikian constructed sehingga sebuah kejadian kecil pun tidak bisa, tidak akan bisa, tak pernah bisa sesuai dengan kehendak kita." Sang Pencipta masih berbaik hati memberi saya toleransi untuk memilih jalan dan mewujudkan harapan-harapan kecil untuk menjadi kenyataan.

Satu yang tidak pernah terlepas dari doa yang saya ucapkan kepada Sang Pencipta, bahwa saya percaya bahwa rencana yang sudah digariskan-Nya untuk kehidupan saya itu baik adanya, dan untuk itu saya mohon diberi kesabaran. Saya hanya bisa berusaha memilih dan menjalaninya. Hasilnya, come what may karena success always occurs in private, and failure in full view.

Selamat Tahun Baru untuk Teman-teman Blogger.
Have a most rewarding and fulfilling 2006.

I'll Never Love This Way Again
Dionne Warwick
Words by Will Jennings: Music by Richard Kerr

You looked inside my fantasies and made each one come true,
something no one else had ever found a way to do.
I've kept the mem'ries one by one, since you took me in;
and I know I'll never love this way again.

I know I'll never love this way again,
so I keep holdin' on before the good is gone.
I know I'll never love this way again,
hold on, hold on, hold on.

A fool will lose tomorrow reaching back for yesterday;
I won't turn my head in sorrow if you should go away.
I'll stand here and remember just how good it's been,
and I know I'll never love this way again.

I know I'll never love this way again,
so I keep holdin' on before the good is gone.
I know I'll never love this way again,
hold on, hold on, hold on.

posted by Leo at 03:31

Wednesday, December 21, 2005

Sedikit Lebih Kreatif

Itu nasihat saya kepada flatmate yang berasal dari Turki. Sudah hampir dua bulan terakhir ini kami memutuskan untuk iuran biaya makan dan keperluan sehari-hari. Lumayan karena dengan masak dan makan bersama, pengeluaran mingguan bisa lebih hemat. Hari pertama berlangsung menarik karena masing-masing dari kami menyiapkan masakan sendiri dan berbagi. Tapi setelah kami memutuskan untuk memasak sama-sama baru timbul sedikit masalah.

Memang tidak mudah untuk memotivasi orang untuk mencoba jenis makanan baru. Meski teman saya ini sebelumnya sudah 4 kali pindah flat dalam satu tahun (saya hanya 2 kali pindah flat selama 2 tahun), referensi makanannya belum banyak. Saya sendiri pertama kali merasakan makanan Turki tahun 1997 karena salah seorang roommate adalah warga USA keturunan Turki/Armenia dan teman kuliah juga ada yang berasal dari Turki.

Resep andalan teman saya yaitu sup lentil Turki (ada beberapa macam resep sup lentil, termasuk India, Italia, Suriah, Maroko, dll). Selama berpindah-pindah flat, dia mengaku kalau semua orang suka sekali dengan sup itu. Saya juga suka dan memang enak. Bahannya sederhana, hanya lentil merah, bawang bombay, bawang putih, tomat puree, olive oil dan garam. Selain itu, dia suka sekali salad brokoli kukus yang dicacah bersama-sama 8 bawang putih mentah kemudian ditaburi garam, perasan jeruk nipis dan olive oil. Masakannya yang lain adalah salad iceberg lettuce-timun-tomat, dan daging rusa bakar yang hanya digarami. Praktis tapi enak.

Saya sendiri tentu saja mengeluarkan segala kemampuan agar bisa menikmati makanan yang lezat. Saya buat rendang, ayam goreng Suharti, sapi lada hitam, empal bakar, opor, bakso, macaroni-tahu schotel, cap cay, nasi uduk, nasgor terasi, sop sayuran, stop! Saya memang harus stop karena akhirnya saya yang lebih sering mendapat ide dan memasak dibandingkan dia.

Tidak terasa lelah bila akhirnya hasil masakan bisa dinikmati bersama-sama dan habis. Alhamdulillah. Tapi beberapa kali saya merasa lelah karena mendengar komentar singkat seperti "None in Turkey would eat this soup." Saat itu saya memasak sop sayuran seperti di Jakarta. Sop sederhana yang harum taburan bawang goreng; tapi kurang mendapat simpati. Saat yang lain, saya minta lentil soup atau salad brokoli buatan dia dicampur jagung manis pipil dan wortel agar lebih kaya rasa dan nutrisi, selain lebih berwarna-warni. Permintaan yang ditolak mentah-mentah karena menurut dia bahan kedua jenis masakan ini tidak cocok dicampur bahan lain.

Menghadapi situasi seperti ini, tentu kreativitias memasak saya seperti tertantang. Akhirnya, seringkali saya tidak bilang-bilang atau mengajak dia dulu jika akan memasak. Langsung ambil bahan-bahan dan memasak. Saya melanggar semua larangannya. Saya buat lentil soup sendiri dengan campuran kentang, batang seledri, wortel dan cabai. Saya juga pernah mencampur salad iceberg lettuce-timun-tomat dengan bahan 'terlarang' seperti jagung manis pipil, serutan wortel dan taburan bawang goreng. Atau menyodorkan sup seafood instan (dia anti makanan instant) yang saya modifikasi dengan tambahan bubuk paprika, bubuk kemangi, irisan jamur, jagung manis pipil dan seledri. Atau membuat omelette sederhana dengan isi cacahan brokoli dan irisan jamur. Saya juga menambahkan serutan keju cheddar ke dalam sop sayuran ala Jakarta sehingga lebih gurih. Belum lagi saya meramu makanan-makanan sisa, menjadi berbagai tumis dan nasgor. Komentar dia: yummy! Dan semua masakan habis.

Tentu saya tidak hanya berdiam saja selama kami menikmati makanan. Saya jelaskan bahwa sup yang dia makan itu berbahan dasar sup instan; bahwa saya memasukkan cabe utuh dan berbagai bahan lainnya ke dalam sup lentil-nya; bahwa nasgor yang enak itu dibuat dari left-over, dll. Dia hanya menganguk-anguk dan berterima kasih. Alhamdulillah. Tidak perlu pakai naik darah untuk bisa merubah pikiran dia. Memasak hanya butuh sedikit kreativitas, apalagi jika hanya ada sedikit waktu dan bahan tersedia, dan sedikit kemampuan/pengetahuan tentang memasak.

Pengalaman ini membuat saya bersimpati dengan para ibu yang sudah bersusah-payah menyiapkan masakan untuk keluarganya. Seorang ibu sering dihadapkan pada tantangan untuk membuat apa yang ada bisa cukup untuk keluarga. Ada kalanya hasil masakannya mendapat pujian, atau keluhan di saat yang lain. Tapi herannya, seorang ibu cenderung untuk memikirkan keluarganya sebagai prioritas utamanya. Bila mendengar obrolan para ibu, topik masakan tidak pernah terlewatkan. Selalu ada usaha untuk menjadi lebih baik. Oleh karena itu saya sering memotivasi teman wanita yang mengaku tidak bisa memasak untuk sekali-kali mencoba, karena saya yakin kemampuan memasak adalah kreativitas terpendam yang ada dalam setiap wanita. Meski sebagian besar koki terkenal adalah pria, tapi jumlahnya tetap kalah dengan jumlah ibu rumah tangga yang bisa membuat keluarganya sehat dan betah makan di rumah. Terkadang makan bukan berarti harus selalu sesuai dengan selera, tapi makan itu untuk sehat. Dan saya salut untuk para ibu dan para calon ibu yang tetap berusaha untuk bisa dan lebih baik dalam memasak.

Coba dengarkan komentar flatmate saya, saat saya sodorkan dua potong brownies buah: "I really need a wife." Teman saya ini memang sedang giat mencari istri, bahkan sudah mematok target tiga bulan harus sudah menemukan calon istri. Tidak heran kalau banyak orang bilang bahwa jodoh bisa dimulai dari masakan. Jadi single ladies: belajar memasak-lah! Tapi hati-hati juga: jangan sampai dapat suami yang hanya mencari juru masak, bukan istri. Berbahaya, karena dia akan menjadi pengkritik terpedas selama berkeluarga. Itu juga yang saya sampaikan sambil bercanda kepada flatmate saya: "Really? I think you need a cook, not a wife..." ;-P

Selamat hari Ibu.

posted by Leo at 18:00

Sunday, December 18, 2005

True Lies

Ini bukan ulasan tentang film mas Arnold 'suasana segar', tapi hanya sekedar menumpang judul untuk tulisan tentang kebiasaan berbohong. Ide ini muncul saat melihat acara current affairs di tv tentang asal muasal kita berbohong. Di acara ini, diulas bagaimana kebiasaan berbohong sudah dimulai sejak seorang anak mulai bisa bicara. Bahkan Lee Dye, seorang komentator jaringan televisi ABC, mengatakan:

"If you're going to get along in this old world, you've got to know how to lie."

Tentu pengertian berbohong tidak saja mencakup hal-hal buruk, tapi juga berbohong untuk kebaikan, seperti yang dikatakan Lee Dye sebagai "white lies" atau dalam istilah psikologi "effortful control". Orang sering berbohong karena situasi menghendaki, seperti yang dicontohkan dalam dua studi yang dikutip Lee Dye. Berbohong demi kebaikan, demi tidak menyakiti hati orang, atau demi membuat orang yang dibohongi sedikit terhibur.

Tapi berbohong untuk kebaikan merupakan hal yang membingungkan. Di satu sisi, berbohong untuk kebaikan akan mendapat nilai positif dalam hubungan sosial, tapi di sisi lain hal ini tidaklah dianjurkan oleh agama. Yang lebih membingungkan lagi, terkadang orang tidak mau mempercayai suatu perkataan jujur. Dalam situasi seperti ini, berbohong untuk kebaikan ataupun keburukan seperti mendapatkan kesempatan yang sama, 50:50 persen kemungkinan untuk 'sahih' di mata orang lain.

Saya jadi teringat satu pengalaman kurang menyenangkan. Waktu kecil, saya suka sekali mengkoleksi gambar-gambar berwarna. Suatu hari saya sudah setengah jalan menggunting salah satu gambar burung dari taplak batik di meja makan sebelum dihentikan orang rumah. Saya pun berjanji untuk tidak menggunting gambar-gambar di taplak lagi atau kain lainnya. Tapi keajaiban itu datang. Beberapa hari kemudian, dua taplak meja lain ditemukan sudah tergunting di beberapa bagian. Siapa lagi yang akan ditanyai selain saya, meski saya tidak mengerti mengapa taplak-taplak itu sampai tergunting. Dalam keadaan terdesak, saya terpaksa berbohong untuk mengakui 'prakarya' yang tidak pernah saya kerjakan. Saya berbohong karena tidak ingin lebih lama dimarahi. Tabiat seperti ini sering saya ulangi, terutama bila saya ingin mengalah dan menghindari pertengkaran panjang, meski hasilnya tidak pernah melegakan.

Lantas, bagaimana orang bisa membuktikan bahwa seseorang sudah berkata jujur atau tidak? Berpedoman pada naluri tentu beresiko karena proporsi subjektivitas yang tinggi. Bagaimana dengan polygraph? Alat ini banyak digunakan untuk mengukur perubahan emosi yang dihasilkan dari rasa takut dan cemas. Bahkan sebuah program komputer sudah dikembangkan untuk menangkap kebohongan berdasarkan perubahan ekspresi wajah seseorang. Namun demikian, masih banyak pihak yang menyangsikan kesahihan prosedur deteksi kebohongan mengingat banyaknya jenis pemicu perubahan detak jantung, laju pernafasan, ekskresi keringat, kerutan wajah, nada suara, ukuran pupil mata dan gerak tubuh. Apalagi sekarang orang bisa berlatih untuk mengalahkan polygraph. Orang juga bisa mempelajari perubahan raut wajah atau raut wajah dan sorot mata agar dapat mendeteksi kebohongan, atau agar dapat menjadi seorang mentalist, atau menjadi pembohong handal.

Tentu tidak perlu repot menggunakan polygraph atau belajar raut wajah untuk menentukan apakah kita bisa mempercayai seseorang atau tidak. Kuncinya terletak pada ketulusan hati (sincerity) kita terhadap orang lain. Seringkali berkata jujur apa adanya sangat diperlukan, meski terkadang kita keceplosan saat kita merasa lelah dan penat. Yang terakhir ini perlu dikurangi karena bias dan sakit hati sering terjadi, dan karena kita tidak setiap hari merasa lelah dan penat. Terkadang berbohong untuk kebaikan atau menghibur orang lain masih diperlukan, tapi tentu saja tidak boleh terlalu sering. Tidak juga bijaksana untuk memaksa orang untuk berbohong untuk kita, atau membuat orang terdesak untuk mengatakan hal-hal yang ingin kita dengarkan.

Saya setuju sekali dengan kesimpulan dari salah satu studi yang dikutip Lee Dye: "effortful control is an especially important component of temperament because it allows children to override natural emotional reactions to facilitate social interaction. In other words, try a little harder to grin and say thanks." Jadi, mengontrol emosi itu perlu.

Bagi saya sendiri, tidak perlu seorang mentalist seperti Dedy Corbuzier untuk mengetahui apakah saya sudah berkata jujur atau tidak, karena raut wajah dan sorot mata saya pasti sudah dapat mengungkapkan segalanya. Meski mungkin ini tidak selamanya mudah tertangkap saat saya bersikap mengalah, atau sedang mempraktekan "effortful control" dengan benar. Apalagi jika sedang menghadapi orang yang mengatakan benci kepada saya tapi sorot mata-nya tidak bisa menyembunyikan cinta-nya yang 'cuma' sedalam lautan Atlantik (karena lautan Pasifik lebih dalam dari Atlantik! :P).

posted by Leo at 05:40

Saturday, December 10, 2005

Can't Get Enough

Satu cuplikan lagu sudah memberi inspirasi tulisan tentang penyanyi dan lagu-lagu-nya. Suara penyanyi lawas Connie Francis yang melantunkan lagu "Where the Boys are" dalam cuplikan iklan season finale Veronica Mars membuat saya merinding. Suaranya terdengar begitu misterius sampai-sampai membawa saya yang sedang santai menonton tv seolah baru membuka pintu dan masuk ke dalam rumah kayu tua di pinggiran kota yang ruangannya begitu gelap dan dingin, dengan isi rumah yang berantakan dan sesosok mayat tergeletak di lantai. Suara Connie Francis seakan memberi gema yang memendam kengerian yang dingin dan membius seperti dalam film Se7en, atau gambar-gambar absurd dalam Twin Peaks.

Ada banyak lagi suara dan musik yang mungkin tidak misterius tapi begitu berhasil memprovokasi khayalan saya. Suara Caren Carpenter dalam "Solitaire" bisa membawa kesedihan yang begitu berat, meskipun saat pertama kali mendengarkannya, saya masih kecil dan belum mengerti arti lagu itu. Begitu juga saat mendengar "Criminal" dari Fionna Apple, saya bisa merasa berdosa besar meski belum pernah mengkhianati pacar. Atau lagu "Unwell" dari Rob Thomas terkadang memberi ruang bagi saya yang sedang moody. Atau merasa stress tapi baik-baik saja karena bisa nge-rock seperti "Drift away" dari Uncle Kracker. Atau seperti merasa benar-benar kehilangan arah dalam "Everybody hurts" milik R.E.M.

Tapi saya juga bisa merasa menari dan melompat-lompat anggun dan riang seperti penari balet yang mengikuti gesekan biola dalam lagu "Bittersweet Symphony" dari The Verve. Juga suara Whitney Houston yang menggema hebat dalam "I will always love you" sudah membuat saya selalu merasakan cinta tulus yang hebat meski saat pertama kali mendengarnya saya belum punya pacar. Atau tetap merasa gagah meski meratap-ratap bersama Aerosmith menyanyikan "Don't want to miss a thing". Atau merasa sedang berlutut sambil menyodorkan cincin lamaran dengan lagu "If you're not the one" dari Daniel Bedingfield. Atau hanya "sekedar memuji" setelah bertemu orang baru yang berkesan seperti halnya "Aubrey" dari Bread. Atau berlayar, menjelajah lembah dan bukit, menaklukan puncak gunung, dan menikmati riak sungai bermata air jernih bersama Enya dan Josh Groban.

Alangkah indahnya hidup ini karena saya masih bisa bersenandung dan merasakan sedikit keringanan hidup. Bila suasana hati kurang enak, semuanya bisa cair setelah menemukan lagu di radio yang 'bersimpati' dengan hati saya. Bila sedang senang, lagu riang bisa langsung mengalir mewarnai suasana di sekitar saya.

Terkadang bukan hanya suara penyanyi yang membuat saya terkesan, tapi juga syair-syairnya. Dan pagi ini saat bangun tidur, ada satu cuplikan syair sudah menjadikan hari saya begitu indah: "the touch of your hand says you'll catch me wherever I fall" ... This just made my day. Saya tidak akan pernah puas mendengarkan lagu-lagu indah dan akan tetap menjadikannya salah satu bagian terpenting dalam hidup saya. Mari bernyanyi...

When You Say Nothing At All
by Ronan Keating

It's amazing how you can speak right to my heart
Without saying a word you can light up the dark
Try as I may I can never explain
What I hear when you don't say a thing

The smile on your face lets me know that you need me
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall
You say it best when you say nothing at all

All day long I can hear people talking out loud
but when you hold me near you drown out the crowd
try as they may they could never define
Whats being said between your heart and mine

The smile on your face lets me know that you need me
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall
You say it best when you say nothing at all

The smile on your face lets me know that you need me
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me where ever I fall
You say it best when you say nothing at all

That Smile on your face
The truth in your eyes
The touch of your hand lets me know that you need me

posted by Leo at 10:49

Saturday, December 03, 2005

Kado Tahan Lama

Sejak sebulan yang lalu, mal-mal sudah dihias dengan hiasan-hiasan natal. Promosi dan berbagai diskon ditawarkan. Saya pun tertarik untuk melihat-lihat, terutama ke toko kaset, mencari CD diskon untuk acara tukar kado. Tapi sejak mulai masuk mal, saya sudah kecewa. Saat melihat-lihat baju, harganya masih selangit. Meski baju-baju yang ditawarkan berlabel internasional, 90 persen adalah buatan RRC, Indonesia, India, Thailand, Sri Lanka, Malaysia dan Filipina. Beruntung saya hanya window shopping baju dan memang sudah cukup membawa bekal baju dari Indo untuk persediaan selama 2 tahun. Setelah mengaduk-ngaduk keranjang CD di toko kaset, akhirnya saya temukan CD yang menurut saya cukup berkelas: The Best of Art Garfunkel. Di album ini ada lagu favorit saya: "Bright Eyes". Hati puas, dan mata-pun sudah mulai segar setelah window shopping.

Tapi memang bukan nasib saya bahwa hadiah-hadiah yang saya berikan akan diterima dengan baik. Saat tukar kado, meski dengan nada bercanda, yang mendapatkan kado CD dari saya bertanya: apa maksudnya sih memberi CD ini? Saya diam saja, karena tukar kado berlangsung anonymous. Saya sendiri bersenang hati mendapat satu kaleng kue monde, meskipun teman lain menjadikan stiker harga yang masih tertempel di kaleng kue itu sebagai bahan gurauan. Sampai akhir acara, CD Art Garfunkel masih terus ditanya apa maksudnya, meski beberapa teman sudah menjelaskan kalau itu CD penyanyi terkenal bahkan ada yang berusaha menyakinkan dengan menyanyikan cuplikan lagu "Scarborough Fair" dari Simon and Garfunkel. Tak apalah kalau si penerima masih bertanya-tanya. Mungkin dia memiliki selera yang berbeda dan semoga saat mendengarkan CD itu, lambat laun dia akan menyukainya.

Kejadian itu mengingatkan saya pada salah seorang teman yang begitu kaya pengetahuan tentang brand, merek-merek barang, mulai dari elektronik, baju, parfum, sepatu, tas, mobil, termasuk perbedaan antara pisang molen yang dibuat dari toko A dengan toko B di Bandung. Siapapun yang punya barang baru, dia berusaha tahu dimana barang itu dibuat, fungsinya, garansinya, jahitannya, bahan baku dan komposisinya sampai cara pengucapan merek itu. Suatu ketika dia membuat heboh saat diberi oleh-oleh jam tangan dari salah seorang teman. Dia mengembalikan jam itu karena menurutnya palsu. Usut punya usut, ternyata si pemberi hadiah memang tidak membeli jam itu di Akihabara, Tokyo, tapi di Blok M! Keterlaluan memang, apalagi mengingat si penerima hadiah adalah ensikopledia merek yang bisa berjalan.

Saya sering heran bila mendengar komentar dari orang-orang yang sadar diri dengan berbagai merek barang. Saya sendiri biasanya hanya memperhatikan merek barang-barang tertentu, terutama elektronik, dan kurang perduli dengan merek baju atau sepatu. Apalagi kalau diminta mengucapkan merek beberapa produk; belum lagi kalau melihat harganya; lebih praktis untuk dilupakan saja.

Ada perbedaan yang mencolok bila memperhatikan orang NZ/Kiwi dengan non Kiwi, terutama yang berasal dari Asia Timur. Kiwi cenderung tidak perduli dengan cara berpakaian, sedang orang-orang Asia Timur tampak begitu modis dengan baju-baju yang berwarna-warni, up-to-date dan bermerek. Mantan flatmate yang berasal dari RRC adalah salah satunya. Semua barang yang dia miliki boleh dikata barang berkelas. Meski semua buatan RRC, tapi bermerek internasional. Suatu ketika dia pernah memuji satu kaos yang saya miliki. "Is that cK?" Saya geleng kepala, lupa apa merek-nya karena kaos itu pemberian dan merek-nya sudah dicopot oleh si pemberi. Teman saya ini pernah bercerita bahwa alasan dia bersusah payah bekerja sambilan jadi cleaning service yaitu agar bisa membeli baju bermerek. Dia tidak bisa memakai baju bermerek biasa. Saya sendiri lebih senang memiliki baju yang enak dipakai, tidak perduli merek.

Tapi setiap orang memang berbeda. Memakai segala yang bermerek mungkin berada dalam urutan teratas untuk hal-hal yang "to die for" bagi teman saya itu. Bagi saya, "kenyamanan" dan "kemerdekaan" (termasuk kemerdekaan dari merek) adalah prioritas utama. Tapi pengertian kenyamanan dan kemerdekaan juga berbeda-beda untuk setiap orang. Semua tergantung kepercayaan pada diri sendiri karena memakai baju yang biasa akan tampak luar biasa jika si pemakai percaya diri, tampak nyaman dan friendly; ini belum memperhitungkan anugrah kecantikan atau ketampanan.

Jika mantan flatmate saya itu begitu tergila-gila dengan segala sesuatu yang bermerek, saya sendiri tergila-gila mencari hairstylist yang cocok. Maklum, kalau rambut saya agak panjang, bentuknya sudah hampir menyerupai-seperti kata teman dekat saya-singa. Meski nama saya Leo, tapi tentu saya tidak ingin dikira peranakan singa. Jadi saya begitu selektif memilih hairstylist dan selalu berusaha tepat waktu sebulan sekali potong rambut. Rasanya juga kurang sreg kalau rambut saya tidak dipotong dengan hairstylist langganan.

Dari sini saya bisa mengerti bahwa pada diri setiap orang sudah tertanam kepercayaan dan loyalitas pada hal-hal tertentu. Kepercayaan yang tumbuh bisa karena pengaruh orang, pengalaman pribadi, besarnya pengorbanan, dan/atau rutinitas/kebiasaan. Kepercayaan dan loyalitas yang bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti minum dari mug yang sama setiap hari, sampai hal-hal prinsip yaitu kepercayaan dan loyalitas kepada Sang Maha Pencipta. Jika kepercayaan dan loyalitas pada satu hal sudah begitu kuat tertanam, tentu tidak akan mudah berpindah ke hal yang lain.

Saya teringat dulu pernah diberi hadiah kaos hitam bergambar lambang Singapura dari teman Ibu, sebagai hadiah lulus SMA. Saya tidak pernah tahu kaos itu buatan mana, tapi yang saya ingat, kaos itu begitu nyaman dipakai dan sudah ikut kemanapun saya pergi selama 11 tahun, dari Bandung-Bogor-Jakarta-Ithaca NY-Bandung-Jakarta-Depok. Terakhir kali kaos itu saya pakai untuk tidur, meski sudah robek di bagian leher dan pundak. Hadiah yang sudah memberikan kenyamanan dan bisa bertahan lama. Andaikan banyak hal di dunia ini yang bisa memberikan kepercayaan, loyalitas dan kenyamanan yang kuat bertahan lama, betapa efisiennya hidup ini. Bisa menerima dan memelihara yang sudah diterima. Meskipun belajar untuk menerima sering membutuhkan pengorbanan yang luar biasa.

posted by Leo at 07:54

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004