<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Monday, January 28, 2008

Bookends

Bright Eyes
by Art Garfunkel

Is it a kind of dream,
Floating out on the tide,
Following the river of death downstream?
Oh, is it a dream?

There's a fog along the horizon,
A strange glow in the sky.
And nobody seems to know where you go.
And what does it mean?
Oh, is it a dream?

Bright eyes,
Burning like fire.
Bright eyes,
How can you close and fail?
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale?
Bright eyes.

Is it a kind of shadow,
Reaching into the night,
Wandering over the hills unseen?
Or is it a dream?

There's a high wind in the trees,
A cold sound in the air.
And nobody ever knows when you go.
And where do you start,
Oh, into the dark?

Bright eyes,
Burning like fire.
Bright eyes,
How can you close and fail?
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale?
Bright eyes.

Bright eyes,
Burning like fire.
Bright eyes,
How can you close and fail?
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale?
Bright eyes.

Menjelang akhir tahun lalu, saya pernah mencantumkan lirik lagu Bright Eyes yang dinyanyikan Art Garfunkel. Lagu yang menggambarkan proses kematian. Saya rasa, lagu ini cocok untuk mengenang kepergian Pak Harto.

Pertama kali mendengar berita bahwa Beliau meninggal, saya sedang menyetrika dan mendengar sayup-sayup suara tetangga membicarakan berita meninggalnya Pak Harto. Posisi dan tempat menyetrika langsung saya pindah ke depan tv, dan sepanjang siang-sore dan malam itu saya tidak beranjak dari depan tv. Innalilahi Wainna Ilahi Rajiun.

Kesan saya terhadap Beliau sangat dalam karena saya lahir dan besar di jaman pemerintahannya. Memang sulit untuk mengikuti semua ajaran Pancasila, UUD 45 dan lainnya yang disetting untuk setiap anak Indonesia dan harus dihafal mulai sejak SD sampai SMA. Memang hanya sedalam hafalan saja, saya baru bisa mengamalkan semua ajaran itu. Namun karena Beliau-lah saya bangga sudah lahir, tumbuh dan besar sebagai anak Indonesia. Saya juga menjadi tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanian karena Beliau memperlihatkan kecintaannya pada upaya pemenuhan dan peningkatan pangan.

Saya juga merasa salut atas kemampuan Beliau memimpin, sehingga dalam negara ini hanya ada satu suara pemimpin. Amanat memimpin berjuta-juta penduduk yang beragam merupakan tanggung jawab yang besar namun berhasil Beliau jalankan. Memang tidak semua yang Beliau pikirkan dan jalankan sesuai dengan hati saya, namun saya menyadari bahwa Beliau adalah manusia biasa. Keunggulan selalu bersisian dengan kekurangan. Keputusan yang baik selalu bersisian dengan resiko. Jika suatu keputusan akan membuat satu hal menjadi baik, sering keputusan itu justru membuat hal lain menjadi korban. Suatu tanggung jawab yang berat untuk seorang pemimpin. Andaikan saya ada di posisi Beliau, mungkin saya sudah berjalan mundur sejak hari pertama.

Saya memiliki kalender meja yang setiap tanggalnya memiliki kata-kata arif dan bijak. Suatu kebetulan bahwa pada hari ini, Senin tanggal 28 Januari 2008, kata-kata bijak yang tercantum berbunyi: "Sebagaimana kita menutup mata orang yang meninggal secara pelan-pelan, kita harus membuka mata orang yang hidup secara pelan-pelan". Kini Pak Harto sudah menghadap Sang Pencipta. Semoga amal ibadah Beliau diterima Alloh SWT dan Beliau mendapat ampunan atas semua kesalahannya. Satu catatan sejarah sudah ditutup dan yang tertinggal adalah kenangan yang menjadi pelajaran bagi setiap orang yang masih diberi umur panjang untuk menapaki hari depan.

Bookends
by Simon and Garfunkel

Time it was, and what a time it was, it was
A time of innocence
A time of confidences
Long ago, it must be
I have a photograph
Preserve your memories
They're all that's left you

posted by Leo at 09:16

Sunday, January 27, 2008

Kenapa Leonardo?

Awalnya saya mengira judul pementasan Teater Koma itu merupakan pertanyaan: "Mengapa, Leonardo?" Namun setelah melihat pementasan dan membaca booklet yang dibagikan, pelafalan yang lebih tepat yaitu dengan menyebutkan dua kata dalam pertanyaan tersebut secara langsung, tanpa koma. Dalam versi Inggrisnya, judul tersebut berbunyi "What about Leonardo?" yang sebenarnya bisa diartikan langsung "Bagaimana dengan Leonardo?" atau menurut versi dan kesan saya setelah melihat pementasannya menjadi "Apa yang istimewa dari (atau menjadi) seorang Leonardo?" Begitulah kira-kira jika ingin mendebat judul pementasan tersebut. Namun demikian, saya setuju bahwa dari segi publikasi, judul "Kenapa Leonardo?" lebih mudah diingat. Dengan pelafalan yang tepat, arti judul tersebut juga sama dengan judul versi saya ;-).

Pementasan Teater Koma ini merupakan pengalaman pertama saya melihat pertunjukan teater secara live. Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin melihat pementasan Teater Koma, tapi waktu belum berpihak. Namun kesempatan kali ini tidak saya sia-siakan. Setiap pagi saya selalu melihat poster pementasan tersebut dan saya juga sempat melihat ulasan mengenai pementasan ini di salah satu stasiun tv. Pencantuman nama saya di judul juga semakin membuat saya penasaran. Saat tiket yang saya pegang begitu istimewa: undangan VIP, yang memungkinkan saya duduk di kursi paling tengah, saya tidak lagi berpikir panjang untuk meluangkan waktu melihat pementasan ini.

"Kenapa Leonardo?" dipentaskan secara baik oleh Teater Koma. Saya juga terkesan dengan pembagian porsi pemain yang pas dan setting panggung yang bagus. Awalnya saya tidak tahu tokoh utamanya karena masing-masing peran memiliki porsi yang hampir sama selama 30 menit pertama pementasan. Lambat laun ceritanya meluncurkan sang tokoh utama, Pak Martin, yang diperankan secara baik oleh Budi Ros. Petunjuk lainnya tentang tokoh utama cerita yaitu lima pemain pantomim (di booklet disebut sebagai lima Martin) yang selalu menggambarkan gejolak pengalaman Pak Martin selama di lembaga terapi saraf. Saya merasa beruntung bisa melihat N. Riantiarno berakting lagi, dan saya sekarang tahu kualitas Cornelia Agatha dalam berteater. Di samping ketiganya, saya juga teringat dengan tokoh Bu Risah (diperankan oleh Sari Madjid) yang selalu bertanya: "Bagaimana dengan yang ini?" untuk mengawali cerita-cerita lucunya. Selaan yang dilontarkan Bu Risah meskipun singkat seperti mencairkan suasana, atau sekedar memberi gelitik dalam memahami pertarungan politik dan kerumitan urusan di lembaga terapi saraf. Saya juga kagum dengan olah vokal dari para pemain. Intonasi dan kekuatan suara begitu tepat dan artikulasinya jelas. Dari semua pemain, saya paling kagum dengan olah suara dari Tuti Hartati yang memerankan Rebeka, begitu halus namun jelas dan dengan karakter yang mungkin paling berbeda di antara pemain-pemain lainnya. Pementasan yang bagus. Bilapun ada kesalahan, seperti kesalahan pengucapan nama dalam dialog, semua tertutupi secara rapi dan para pemain tetap konsentrasi pada dialog selanjutnya.

Saat pementasan ini dipromosikan di tv, pesan yang saya tangkap adalah untuk datang dan menonton dengan hati dan pikiran terbuka. Pesan yang memberi hasil karena saya mendapat banyak kesan setelah menonton pementasan ini. Mulai dari yang sederhana: saya baru tahu kalau ada pembedaan antara penyakit akibat gangguan syaraf dan akibat gangguan jiwa. Jadi gila bukan selalu sakit syaraf atau sakit jiwa; bisa salah satu atau keduanya :-).

Kesan yang kedua yaitu tokoh-tokoh yang mengalami gangguan syaraf di lembaga terapi itu seperti menggambarkan manusia-manusia normal dengan masalahnya sendiri-sendiri. Ada yang begitu pandai namun banyaknya informasi yang dimilikinya membuat hidupnya begitu sulit. Ada yang begitu ahli dalam memprediksi suatu kejadian, namun menjadi begitu sensitif. Ada yang begitu riang, namun keriangannya tidak terkontrol. Ada yang begitu merindukan cinta, namun begitu mudah dihanyutkan impian dan pengaruh orang lain. Ada yang ahli dalam bersandiwara, namun tetap memerlukan pendulum untuk membuat hidupnya tegak-lurus dan berguna. Ada yang memiliki hidup yang nyaris lancar, tapi masih di luar harapan orang terdekat. Ada yang hidup serba cukup, tapi tidak pernah merasa puas. Ada yang berdedikasi, tapi kurang progresif dan cenderung cepat merasa cukup. Ada yang selalu progresif dan inovatif, namun terlalu naif untuk mau melihat dunia di luarnya dengan hati. Ada yang mampu mengarahkan orang menjadi lebih baik, namun masih kurang mampu mengendalikan potensi negatifnya. Semua hal ada kekurangannya. Dan bila semua kekurangan itu di-nol-kan, seperti tokoh Pak Martin yang mengalami kekosongan jiwa/sifat/nilai, kesempatan untuk menjadi manusia baru menjadi terbuka. Keinginan untuk menjadi sempurna dengan menggabungkan sifat-sifat yang unggul semakin menggebu. Apakah akan berhasil?

Lalu "Kenapa Leonardo?" Dalam pementasan itu, pertanyaan ini sebenarnya hanya disebutkan sekali, dan bunyi tepatnya adalah: "Bagaimana dengan Leonardo?" Leonardo di sini merujuk pada Leonardo da Vinci yang memiliki berbagai bakat yang luar biasa dalam mencipta dan berpikir ke depan. Tokoh Pak Martin yang mengalami peng-nol-an jiwa, sudah dimodifikasi dan diisi ulang oleh dokter Dasilva dengan berbagai keunggulan yang dilatih. Perdebatan dua dokter yang merawatnya pun berkepanjangan. Yang satu merujuk pada pentingnya mengisi ulang manusia nol dengan keunggulan layaknya seorang Leonardo; sedang yang lain lebih percaya bahwa cara terbaik untuk mengisi ulang manusia yaitu dengan memanusiakan kembali, dengan hati, daging dan pikiran. Sebagaimana umumnya manusia yang tidak sempurna, keunggulannya selalu bersisian dengan kekurangan. Bila keunggulan itu dibangun tanpa hati, tidak ada pagar yang dapat membatasi sisi kekurangannya untuk tetap diam ditempatnya.

Begitulah kesan yang saya dapatkan dari pementasan "Kenapa Leonardo?" Kesan yang lumayan dalam dan bisa berlaku tidak saja untuk setiap individu, tapi juga dalam konteks kelembagaan yang lebih besar, seperti pemerintahan. Dalam suatu impian dan usaha mengejar kemajuan, kita tidak boleh lupa untuk tetap bisa memanusiakan setiap manusia yang terlibat, baik yang aktif terlibat maupun yang terkena dampaknya. Mungkin kesan yang saya tangkap agak berbeda dengan maksud naskah aslinya. Namun semua tetap merujuk pada pesan sosial yang selalu menjadi bagian dari misi pementasan Teater Koma.

Malam itu saya pulang dengan hati puas. Waktu yang saya luangkan dari jam 7.30 malam sampai 11.50 malam sangat jauh dari sia-sia. Saya merasa puas karena pengalaman pertama menonton teater terasa begitu istimewa. Merasa puas karena bisa melihat suatu tontonan yang merupakan hasil kerja yang bagus, baik dalam pemilihan dan pengalihbahasaan naskah cerita, maupun dalam persiapan dan pentasannya. Semoga Teater Koma tidak lama beristirahat sebelum melanjutkan pementasan-pementasan berikutnya. Satu penonton setianya sudah bertambah :-).

posted by Leo at 10:06

Monday, January 21, 2008

Talk Soup

Akhir Desember lalu, mantan flatmate di Ithaca datang mengunjungi saya setelah dia mudik liburan natal di Norwegia. Sudah sekitar 10 tahun kami tidak bertemu, dan dia tidak banyak berubah. Dia masih menjulang tinggi sehingga saya tampak hanya seperti anak kecil jika berjalan bersisian dengan dia. Potongan rambutnya saja yang berbeda, tidak lagi dibiarkan panjang, dan sekarang tampak disesuaikan dengan pekerjaannya sebagai manajer salah satu perusahaan minyak negaranya di Skotlandia.

Ada banyak cerita yang sering kami bicarakan berulang-ulang di email atau saat kami bertemu, sekedar untuk bernostalgia. Salah satunya yaitu bagaimana herannya dia pada suatu hari Rabu sore di bulan Agustus 1997 melihat ada anak kecil dan berkulit sawo matang datang mengangkat satu koper yang luar biasa besar di flat. Hanya sempat bersalaman dan saling berkenalan sebentar, dia tidak melihat lagi si anak kecil selama 2 jam, sampai kemudian ada orang menekan bel pintu mengantarkan sekeranjang sayuran, daging dan beras untuk si anak kecil. Satu jam kemudian, dia merasa tenggorokannya kering dan hidungnya mencium bebauan yang baru pertama kali dihirup selama hidupnya. Dia pun terbatuk-batuk, merasa agak pusing, sekaligus merasa bingung saat melihat si anak kecil begitu giat memasak di dapur dengan asap mengepul dan beragam bebauan asing. Dia menggeleng-geleng dan hanya tertawa saat si anak kecil itu menawari dia makanan yang berbau sangat tajam itu. Si anak kecil itu tidak lain dan tidak bukan si doel Leo yang selama 2 jam sebelumnya tertidur karena masih jetlag dan sekarang terburu-buru memasak karena kelaparan.

Flat yang kami tempati terletak di Cayuga Heights, salah satu daerah yang terindah di Ithaca, dan memiliki 3 kamar. Teman saya yang menjulang tinggi asal Norwegia itu tinggal di kamar terkecil, sedangkan saya yang bertubuh paling kecil tinggal di kamar terbesar. Flatmate lain dari Amerika tinggal di kamar berukuran sedang. Kami bertiga memiliki karakter yang berbeda. Namun saya dan teman dari Norwegia masih sering bertemu dan mengobrol, sedang teman dari Amerika biasanya bangun siang lalu begadang sampai jam 2 malam di kampus karena mengerjakan tugas gambar atau maket bangunan.

Dalam sehari, saya dan teman Norwegia ini sering berebut dapur karena masing-masing memilih untuk memasak sendiri dibandingkan dengan membeli makanan di luar. Tapi teman dari Norwegia biasanya akan mengalah karena tidak begitu tahan dengan bau dari berbagai bumbu yang saya pakai. Selama satu tahun tinggal bersama, dia hanya mau merasakan tempe, tahu, sate, lumpia, podeng roti dan kue-kue buatan saya. Selain itu, dia lebih memilih memandangi saya saja yang makan dengan semangat. Dia juga heran melihat porsi makan saya yang hanya sepertiga dari porsi makannya. Jelas saja karena orang tinggi biasanya perlu makanan lebih banyak. Teman saya ini membawa satu buku resep turun-temurun dari neneknya, dan dari buku itulah saya belajar membuat apple bread yang cara persipannya singkat dan mudah, tapi hasilnya enak. Dia juga membuat roti tawar sendiri, dan kalau dia membuat roti, seluruh dapur akan menjadi putih karena tepukan tepung terigu. Teman saya ini sebenarnya anak orang kaya, karena peternakan orang tuanya merupakan peternakan terluas nomor tiga di kota tempat tinggalnya. Namun seperti banyak orang Norwegia lainnya, sudah sejak kecil dia belajar hidup hemat dan menyiapkan segala sesuatu sendiri.

Selain memasak, kami juga suka menonton tv bersama. Berbeda dengan teman asal Amerika yang hanya mau menonton acara pertandingan American football dan baseball. Dari sekian banyak acara tv, ada tiga yang menjadi favorit saya dan teman dari Norwegia: Seinfeld, berita sore dan Talk Soup. Acara yang terakhir ini merupakan acara gossip dari stasiun tv E! Pembawa acaranya begitu witty karena sering memberi komentar dan sering membawakan acara dalam suasana yang aneh-aneh. Banyak hal dari acara itu memberi ide perbincangan baru dan ringan, yang membuat saya dan teman Norwegia ini 'nyambung'. Acara menonton tv bareng biasanya dimulai dari pukul 5 sore hingga 7.30 malam. Selama itu, kami memasak, mengobrol, menonton tv dan makan malam.

Selain acara menonton tv, kami sebenarnya tidak punya kegiatan bersama lain. Saya lebih gemar belajar olah raga dan pergi ke bioskop kampus untuk mengisi waktu luang, sedangkan teman Norwegia lebih memilih berdiam di rumah atau berkeliling party saat weekend. Menonton film bersama di bioskop kampus pun hanya satu kali yaitu saat film terpanjang sepanjang masa diputar: Hamlet. Kami juga pergi bersama saat ada Dragon Day dan Slope Day di kampus. Pada akhir tahun ajaran, teman saya ini pergi berkeliling ke beberapa negara bagian Amerika seorang diri. Saya memilih menghabiskan waktu libur dengan berdiam di kampus dan memperdalam teknik berenang dan bermain tenis. Setelah itu dua flatmates lulus dan kembali ke negara/kota asalnya, sedangkan saya pindah flat meski masih di komplek yang sama. Sejak itu kami tidak pernah lagi bertemu.

Kunjungan teman saya kali ini boleh dikata sudah direncanakan sejak 3 tahun lalu. Awalnya dia ingin mengunjungi saya saat saya di New Zealand, namun terpaksa harus berubah lokasi tujuan karena dia begitu sibuk bekerja dan saya selesai sekolah lebih awal dari rencana.

Sebelum berangkat, sudah banyak informasi yang saya kirimkan melalui email. Saya mencoba menyediakan informasi secara lengkap meski saya tahu tidak semuanya relevan dengan keinginan teman saya. Selain itu, saya tahu bahwa dia merupakan tipe sole explorer, yang suka pergi kesana kemari sendirian saja. Dan terbukti saat dia datang, dia ternyata lebih suka perjalanan yang memberinya banyak kesempatan untuk melihat kehidupan orang-orang lokal. Dia lebih suka mendapat sedikit bekal informasi, dan akan mengeksplorasi selebihnya.

Meski saya sudah paham dengan karakter sahabat saya ini, awalnya saya sempat khawatir akan terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan selama dia mengeksplorasi berbagai lokasi di Jawa-Bali-Lombok. Saya pun menyediakan waktu menemani dia dalam hari-hari pertama dia di Jakarta. Selama periode ini dia sempat mengunjungi beberapa museum dan pelabuhan Sunda Kelapa. Saya juga mengajak dia untuk berkunjung ke TMII dan Taman Safari. Kami merasa beruntung ada teman yang berbaik hati mau ikut mengantar dan memberi informasi/saran baru. Informasi dan tips yang sudah diberikan menjadi bekal bagi perjalanannya berikutnya, meski dia terkadang lupa satu dua hal sehingga menemuni sedikit kesulitan.

Kekhawatiran saya ternyata hanya sebatas kekhawatiran saja karena dengan perawakannya yang menjulang tinggi dan pembawaannya yang low profile, sahabat saya ini justru menarik minat banyak orang untuk membantu dia dalam perjalanan. Dia selalu bilang bahwa kemana-mana ada orang yang 'hijack' dia dan menemani dia menjelaskan banyak hal tentang tempat yang dikunjungi, atau menawarkan tempat tinggal dan tumpangan saat dia kemalaman. Dia juga merasa senang karena orang-orang yang terkadang muncul dari arah yang tidak diduga ini rata-rata fasih berbahasa Inggris. Hanya ada dua pengalaman kurang menyenangkan yang dia alami: dipalak porter barang di stasiun kereta api Gambir dan jadwal kereta/feri yang terlambat rata-rata 2 jam; selebihnya lancar. Saya juga turut senang saat mendengar bahwa banyak informasi dan tips yang saya berikan benar-benar berguna.

Satu hal saja yang saya sesalkan yaitu tidak bisa menyediakan informasi yang berimbang tentang traveling di Lombok. Saat teman saya berada di Yogya, dia mendengar pengalaman turis asal Belgia yang mengalami banyak hal yang kurang menyenangkan saat berkeliling di Lombok bagian barat daya. Hal ini membuat teman saya segera banting stir untuk hanya berdiam di Gili Trawangan dan tidak jadi menjelajahi bagian-bagian lain dari Pulau Lombok. Informasi ini saya dengar saat teman saya sudah kembali ke Jakarta. Andai saya punya waktu untuk menemani dia, mungkin perjalanannya akan lebih berkesan. Namun secara umum, teman saya sangat terkesan dengan Indonesia dan dia bisa pulang dengan perasaan senang. Semoga suatu saat saya bisa mengunjungi dia di Skotlandia atau di Norwegia. Pilihan yang terakhir rasanya cukup menarik karena saya mungkin bisa membandingkan keindangan Milford Sound di NZ dengan Fiord di Norwegia. Semoga ada rejeki ;-)

posted by Leo at 09:24

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004