<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Monday, May 12, 2008

Peliharaan

Saat bertemu teman baru di internet tiba-tiba topik email kami beralih ke topik tentang hewan peliharaan. Saya sebenarnya bukan pencinta hewan sejati karena masih belum bisa berkorban waktu, tenaga, uang dan kesabaran demi peliharaan, dan saya juga yakin bahwa memiliki hewan peliharaan itu perlu tanggung jawab besar. Namun saya salut dengan teman saya ini, sampai-sampai kucingnya sangat penurut dan teratur. Pembicaraan kami membuat saya teringat dengan berbagai kesempatan saat melihat-lihat hewan yang dijual di pinggir jalan, di mall atau di koridor supermarket.

Kemarin saya sempat melihat berbagai macam kadal dan ular yang dijual di sekitar stasiun kereta, saat saya pergi ke Bogor. Juga ada kura-kura. Beberapa ular tidak dijual untuk dijadikan peliharaan, tapi untuk dikuliti dan daging/darahnya dijual untuk obat. Sempat melihat bagaimana si pedagang menguliti ular. Seram juga.

Dua minggu lalu, saya juga sempat melihat hamster dan kelinci yang dijual di halaman parkir salah satu supermarket. Ada beragam hamster, dan mereka semua tampak sibuk berlari ke sudut-sudut kandang, mengendus-endus lalu berlari di putaran, sampai ada yang berebutan. Lucu sekali. Sempat terpikir, meski tidak sampai bertanya ke penjualnya, seperti: mengapa hamster-hamster itu begitu rajin ‘cardio’ di putaran? Apakah di alam liarnya mereka juga ‘cardio’ di putaran, dan putaran macam apa yang digunakan? Belum lagi hamster yang koprol berulang-ulang tanpa alasan. Mungkin mereka kelebihan adrenalin, atau kelenjar tiroid-nya terlalu banyak. Hmmm… apa mereka punya tiroid juga?

Perhatian saya kemudian beralih ke kelinci gimbal, karena bulunya setebal bulu kucing, sampai matanya hampir tidak kelihatan. Yang besar tidak tampak lucu; sebaliknya yang masih bayi lucu sekali. Kalau digendong, mereka meronta-ronta dengan menendang-nendang. Mereka meronta mungkin tanda tidak suka, atau tanda tidak tahan dengan bau orang yang memegang :P. Menurut artikel yang pernah saya baca, kelinci bisa diajari untuk tetap tenang dan tidak menendang-nendang. Saya juga geli melihat hidung kelinci yang selalu bergerak-gerak, mengendus-endus meski tidak ada barang yang diendus. Satu saja yang saya tidak suka dari kelinci: suka pipis tanpa tanda-tanda yang jelas dan tanpa pemberitahuan. Nervous sedikit langsung pipis. Saya juga tidak tega kalau mendengar kata ”sate kelinci”... hewan selucu itu disate... hiiii...

Saya juga sempat melihat anak-anak kucing berwarna abu-abu, kuning, dan belang-belang abu-hitam-coklat dipajang. Saya selalu trenyuh bila mendengar suara anak kucing, yang menurut perasaan saya selalu terdengar memelas. Jadi teringat “Denok”, anak kucing kampung yang kami adopsi dulu sewaktu kuliah. Bulunya begitu bersih dan gerak-geriknya lincah terutama kalau mengejar gerakan kertas yang diikat di sebatang sapu lidi. Atau kucing garong jantan berbulu belang-belang abu-hitam-coklat yang selalu berlagak slow motion menuju dapur dan melewati kami yang sedang menonton tv, sebelum tunggang-langgang lari melihat sandal terbang. Juga teringat “BB”, ginger cat di flat kami di NZ, yang manja tapi juga lincah bila melihat gerakan mainan bulu ayam yang sengaja kami beli untuk menggoda dia. Tidak tahu bagaimana sekarang nasib “BB” setelah teman yang diserahi tanggung jawab pulang kembali ke Cina. Teringat bagaimana setiap pagi “BB” selalu siap di depan pintu saya lalu menghampiri dan mengusap-usap badannya di kaki saya, sementara saya bersiap ke gym; atau saat menyikat bulu-bulunya, dan dia hanya berkata “purrrr” sambil merem-melek atau memandang saya dengan pandangan khas “tanpa dosa” …

Namun bila membandingkan pandangan “tanpa dosa”, tidak ada yang bisa mengalahkan anjing. Pandangannya merupakan campuran antara pandangan ”tanpa dosa”, hormat, pasrah, memuja dan setia. Mungkin kesan saya agak berlebihan, tapi begitulah yang saya tangkap kalau melihat bagaimana seekor anjing memandang pemiliknya. Anjing juga merupakan hewan peliharaan yang paling reliable, berbakti dan setia kepada pemiliknya. Saya sering ingin mendekat ke kandang-kandang anak anjing yang dijual di Jl. Latuharhari, karena mereka begitu menggemaskan. Tapi saya tidak begitu suka anjing, terutama bila mereka menggonggong dan mendekat.

Ingin rasanya bisa memiliki hewan peliharaan lagi. Masalahnya, selama siang hari dalam lima hari seminggu saya tidak ada di rumah. Hewan peliharaan biasanya sangat bergantung ke pemiliknya, jadi bila ditinggal lama pasti hewan peliharaan akan merasa bosan dan cepat mati. Saya juga belum tentu punya kesabaran dan ketelatenan untuk mengajari kucing atau anjing atau kelinci agar terbiasa dengan gaya hidup saya dan suasana rumah.

Namun saat melihat teman memiliki ikan di apartemennya, saya jadi tertarik untuk memelihara ikan. Teringat juga bagaimana tenangnya perasaan saya saat menunggu giliran dokter dan melihat ikan arwana di ruang tunggu bergerak tenang dan anggun. Mungkin bukan arwana yang akan saya beli nanti karena mahal; cukup dori dan clown fish, seperti di film Finding Nemo :D.

Tapi... mungkin bukan jenis ikan yang perlu saya pikirkan sekarang, melainkan kemauan untuk memiliki sesuatu dan memeliharanya. Atau... mungkin juga bukan kemauan, melainkan kecocokan; karena selincah apapun gerak-gerik hewan itu, selucu apapun bentuk hewan itu, secantik apapun bulu hewan itu, atau setenang dan seanggun apapun hewan itu, bila tidak cocok di hati, belum tentu saya rela memelihara, dan belum tentu hewan peliharaan itu bisa tumbuh sehat dan panjang umur. Atau... untuk memastikannya, saya mungkin perlu melihat langsung ke mata masing-masing hewan yang dipajang/dijual, untuk menemukan potensi kecocokan. Tapi mungkin akibat pandangan saya, beberapa hamster atau kelinci sudah lari ke sisi lain kandang dan pipis karena nervous. Kucing mungkin sudah mengeong-ngeong minta segera digendong atau dielus, meski mereka belum tentu “jujur” dengan suara mengeongnya. Kalau anjing mungkin langsung balik menatap mata saya dalam-dalam... hmmm... ada tidak ya, pandangan “tanpa dosa” seperti yang saya cari... guk, guK, gUK, GUK!

posted by Leo at 09:18

Friday, May 02, 2008

Pekerjaan Rumah

Suatu sore di Bandung, saat duduk-duduk dengan 4 keponakan mungil-mungil (usia 6-10 tahun) sambil menonton tv, tiba-tiba terlintas pertanyaan: apa ini saatnya mereka mengerjakan pekerjaan rumah (PR)? Sedetik setelah saya melontarkan pertanyaan itu, keponakan yang paling besar langsung mengaduk-aduk tasnya, mengeluarkan satu buku, dan langsung berusaha mengerjakan PR tentang Koperasi. Dua anak tengah langsung merengek dengan bencinya setelah mendengar kata “PR”, sementara yang bungsu menunggu jawaban Ibunya tentang PR apa yang dia punya untuk esok hari. Si bungsu masih tk besar, tapi sudah dapat PR.

Si sulung beberapa kali bertanya tentang jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di dalam bukunya. Pesan saya: baca dulu uraian/penjelasan di depan, baru soal-soalnya dikerjakan. Awalnya, jawaban dia: malas, ah…tapi akhirnya dia baca juga karena Oom-nya tidak mau memberi jawaban ;-). PR yang dia miliki terdiri dari 3 bagian. Pada bagian pertama, terdapat soal-soal isian titik-titik dengan jawaban yang ada dalam uraian tentang Koperasi. Bagian kedua menjodohkan. Ini masih mudah. Namun pada bagian ketiga, jawaban untuk soal-soalnya tidak bisa ditemukan di uraian. Semula saya tidak percaya, tapi setelah saya membaca uraiannya, saya baru sadar bahwa mungkin penyusunan materi pertanyaan dalam 3 bagian ini ada maksudnya. Bagian pertama: membutuhkan pemahaman setelah membaca uraian, bagian kedua: membutuhkan hafalan setelah membaca, bagian ketiga:membutuhkan interaksi antara anak dengan orang tua karena jawaban soal-soalnya tidak ada dalam uraian.

Saat itu langsung terlontar pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah Ibu guru di sekolah menjelaskan bagaimana cara mengerjakan PR ini? Jawaban keponakan saya: tidak. Apakah orang tua tahu maksud penyusunan soal-soal ini yang membutuhkan interaksi antara anak dan orang tua? Jawaban kakak saya: tidak atau kira-kira tahu (menebak). Lantas apakah setiap orang tua memiliki pengetahuan dan waktu yang cukup untuk membantu anak menjawab dan menjelaskan jawaban? Jawaban kakak: waktu ada tapi pengetahuan belum tentu karena banyak yang sudah lupa. Kesimpulan saya: masih ada yang kurang dalam sistem pengajaran anak-anak sekarang, sehingga PR menjadi beban baik bagi anak dan orang tua. Hal ini juga menciptakan kondisi yang kurang menguntungkan terutama untuk si sulung yang memang gemar belajar dan mengerjakan PR.

Sekarang kasus dua anak tengah. Dua-duanya membenci PR, dan sepanjang proses pengerjaan PR, mereka berkeluh-kesah dengan alasan-alasan aneh bin lucu. Keponakan yang lebih besar mengeluh karena waktu mengerjakan PR bersamaan dengan serial Naruto, yang disambung dengan sinetron X, lalu sinetron Y (Oom-nya tidak pernah nonton sinetron jadi tidak tahu judul-judulnya). Dia juga sering berhenti mengerjakan soal dengan alasan tunggu lagunya selesai... nanti pas iklan... eh, iklannya lucu, dll. Keponakan ini yang paling banyak akal, banyak alasan dan jahil. Banyaknya distractions, seperti acara-acara tv, menyebabkan saat membuat PR menjadi saat-saat yang tidak menyenangkan. Sebenarnya dulu saya juga selalu belajar dengan ditemani tv. Namun karena saat itu hanya ada satu stasiun tv dengan proporsi acara penerangan yang lebih banyak dibandingkan acara hiburan, mata saya lebih banyak tertuju pada buku dibandingkan layar tv. Sekarang? Warna-warni, lagu dan dialog sinetron di tv jauh lebih menarik dibanding kalimat, gambar dan titik-titik yang harus diisi. Sebenarnya adalah tugas orang tua untuk meminimalkan distractions selama anak belajar.

Keponakan yang lebih kecil memiliki PR matematika. Anak ini sebenarnya cerdas karena hanya satu dari soal-soal yang diberikan hasilnya salah. Tapi setiap ada hasil penjumlahan dan pengurangan yang mengandung angka “nol”, dia selalu berhenti, bingung dan merengek. Dia tidak suka membuat angka “nol”, katanya paling sulit. Ada-ada saja. Tapi setelah saya amati, ada alasan lain yang menyebabkan dia tidak suka angka “nol”. Anak ini kalau jam 8 malam sudah mengantuk. Jadi membuat angka nol membuat dia tambah mengantuk. Dugaan saya terbukti, karena begitu buku matematikanya dilipat dan ditaruh di tas, si anak langsung menuju kasur dan tidur. Kasihan. Saya lalu bilang sama kakak, mungkin lebih baik jika mereka mengerjakan PR langsung setelah pulang sekolah, biar semua urusan sekolah selesai semua dan setelah itu mereka bisa tidur siang, bermain, dsb. dengan lebih leluasa.

Si bungsu ternyata tabiatnya lain. Dia lebih banyak menunggu dan mengamati kakak-kakaknya. Namun setelah diberitahu bahwa PR-nya adalah belajar membaca, dia tidak perlu menunggu perintah lagi dan langsung mengeja dan membaca sampai selesai. Hebat. Semoga saja semangatnya tidak luntur setelah dia masuk SD, saat dia menemukan teman dan pengaruh yang lebih beragam.

Banyak juga yang bisa dipelajari dari polah tingkah keponakan-keponakan saya. Hasilnya memberi jawaban atas keingintahuan saya tentang alasan anak-anak, termasuk teman-teman saya dulu, tidak suka membuat PR. Meskipun sebagian besar alasan dulu dan sekarang berbeda, tapi ada beberapa alasan yang tetap sama, yaitu yang terkait dengan motivasi si anak, kejelasan panduan mengerjakan PR, dan peran orang tua terutama dalam menumbuhkan motivasi anak dan mengarahkan anak untuk membagi waktu dengan baik. Anak-anak juga perlu diajak untuk menonton berita di tv atau dibiasakan membaca koran, karena banyak ilmu pengetahuan umum yang dijadikan PR tapi tidak bisa ditemukan di buku. Saya jadi teringat dengan kegemaran saya dan kakak menonton acara “berita nasional” dan “dunia dalam berita”, dan bagaimanya serunya berebut koran dan majalah dengan kakak saya dulu setiap kali tukang koran langganan memanggil dari balik pagar.

posted by Leo at 08:43

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004