|
Wednesday, June 23, 2004 |
|
Lincoln to Wellington, 22 June 2004
Berangkat pukul 8 pagi, tapi sejak jam 5.30 sudah bangun. Sudah mengemas barang sejak semalam tapi setelah mandi berubah pikiran, terutama tentang jumper. Akhirnya berangkat, sangat ragu-ragu dan sampai di halte bis malah balik lagi ke flat ambil jumper. Ternyata tidak sia-sia dan keputusan yang bagus karena Wellington ternyata sangat berangin.
Airport bus agak telat sekitar 10 menit dan harus menunggu di tengah cuaca yang jelek di Christchurch. Sampai di bandara, surprise karena ternyata bandara Christchurch hanya sebesar Adi Sucipto Yogya, bahkan terminal keberangkatan domestiknya sangat sederhana. Tidak seramai Yogya, Semarang dan Surabaya, mungkin juga Makassar. Maskapai yang dipakai Pasific Origin, yang saat ini masih bermasalah karena kehilangan pelanggan. Terpaksa membeli tiket airlines ini karena alasan waktu. Terminalnya terpisah seperti agak terdiskriminasi karena jalan menuju lounge cuma jalan aspal beratap seng, dengan dinding seng di satu sisi dan pagar kawat di sisi yang lain. Heran juga, NZ seperti negara berkembang di bidang ini.
Meskipun 'terisolir', lounge-nya ternyata lebih bagus dibandingkan bandara lokal di Indo. TV-nya kecil, tapi kamar mandinya bersih sekali, mungkin karena tidak ada penumpang. Pesawatnya kecil dan berkapasitas 29 orang, buatan British Aerospace. Ini kali kedua naik kapal kecil, dulu pernah 10 orang waktu dari Newark ke Ithaca. Saya duduk nomor 4a. Kursinya berjajar 2 dan 1. Pramugarinya satu dan bersikap ramah hanya sama orang kulit putih. Penumpang terakhir dapat kursi di belakang pilot, meski masih ada 1-2 kursi tersisa. Ternyata bisa juga minta duduk di belakang pilot. Kalau tahu begitu saya berani membayar lebih supaya dapat kesempatan duduk di belakang pilot. Peragaan keselamatan tidak ada, cuma diwakili dengan penjelasan lisan tentang letak jaket pelampung, masker oksigen dan pintu darurat. Selebihnya penumpang diminta baca langsung di brosur. Dalam perjalanan, penumpang disuguhi 75 ml air mineral dalam kemasan dan beberapa buah permen yang ditawarkan dalam keranjang rotan yang kebesaran...Minimalist...so what? Pantas dengan harganya.
Penerbangan not bad meski cuaca mendung dan banyak turbulances. Saat melewati pucuk South Island, serasa melewati pegunungan yang jadi lokasi the Lord of the Rings karena puncak-puncaknya bersalju dan sangat anggun. Belum lagi lika-liku daratannya yang sangat indah dipandang dari atas.
Sampai di Wellington, saya sempat disapa bapak tua yang istrinya orang Philippines. Saya dikira Philippino... Indonesia sangat kurang dikenal. Saya sudah bisa mengoleksi perkiraan orang tentang asal muasal saya: Mexico, Taiwan, Peru, Malaysia, Philippines (paling sering), Cambodia, Vietnam, Bangladesh, Nepal, Maori, Samoa, sampai yang paling aneh, Eskimo....begitu abstraknya raut wajah dan perawakan saya...dan kenapa tidak ada yang mengira saya dari negara maju? Italia...misalnya...
Begitu keluar terminal, saya mencari lokasi bus, tapi langsung disambut terpaan keras angin Wellington. Maklum, lokasi bandara terletak di tepi pantai. Welli sangat berangin dan tidak heran kalau ada ramp tempat berpegangan. Saya hampir terbawa terbang kalau tidak berpegangan ke tiang tanda bus stop. Kalau anginnya sekencang itu, bisa-bisa saya pelukan sama tiang terus seharian dan akan menarik lebih banyak senyuman dari orang-orang yang melihat.
Naik bis dari bandara ke downtown memakan waktu cukup singkat. Wellington kota kecil. Awalnya seperti kota Troy dan Queens area, NYC. Kota dengan sesak bangunan rumah dan agak lenggang karena berpenduduk sedikit dan agak semrawut. Lokasi hotel sendiri termasuk daerah merah, karena semua yang aneh-aneh, menurut brosur yang saya baca, ada di situ. Tapi di situ juga tempat teater dan cafe yang sangat beragam. Sampai di hotel check in, dapat kamar multi-share, berempat satu kamar. Maklum, it's YHA. Setelah bongkar muatan tas (satu ransel saja), saya berkeliling hotel, lihat-lihat lounge, library, dapur, cafe dan tempat baca-ngobrol-nonton dvd. Senang juga datang pas musim ini karena ternyata sepi dan saya dapat tempat yang enak. Receptionist-nya ramah, lobby-nya kecil, handuk harus sewa...
Setelah puas lihat-lihat isi hotel, saya langsung bersiap tour jalan kaki. Tujuan pertama: cari tempat makan siang. Menurut situs www.wguides.com, ada cafe namanya 'Satay Kampong', affordable for backpackers. Tapi ternyata sudah tutup dan tempat itu sudah disulap jadi tempat massage plus-plus khusus gadis asia...wow...Karena bingung, saya akhirnya makan di food court. Ada buffet dengan nama aneh "Eat Asian", punya orang Malaysia. Enak, kenyang dengan nyaris 9 dollar (ada tiga macam piring dengan harga berlainan, S-M-L seperti ukuran baju). Makan malam di sini lagi, kenyang.....
Perjalanan diteruskan Civic Square. Lumayan meski ternyata tidak seheboh yang diiklankan. Terus tersesat....berputar-putar di sekitar Willis and Lambton Streets. Bingung tidak keruan karena salah baca tanda di peta. Tertulis gambar bulat angka 21 yang saya kira gedung parlemen ternyata cuma hotel...seharusnya lihat gambar berlian merah nomor 21. Akhirnya bisa menemukan gedung parlemen setelah 45 menit 'tersesat'. Tapi ada baiknya, karena pada hari-hari berikutnya, saya bisa bepergian tanpa peta, sudah hafal di kepala. Di gedung parlemen, saya ikut tour. Luar biasa ramah receptionist, tour guides dan satpam yang sedang bertugas. Tidak ada prosedur pemeriksaan dengan detektor dan pintu 'bip-bip' (istilah keponakan saya). Ini menandakan mereka hormat dan percaya kepada tamu. Andaikan Indo dan Jakarta punya guide yang ramah mungkin banyak turis yang betah.
Gedung Parlemen-nya bagus. Salah satu ciri khasnya adalah renovasi dengan unsur tahan gempa sejak gempa di tahun 1995 yang menyebabkan kebakaran di ruang perpustakaannya. Canggih. Seharusnya istana negara diberi penahan gempa juga karena termasuk bangunan bersejarah. Selain itu ada batu yang berhias semua tanda yang menunjukkan asal orang-orang yang sekarang membentuk negara NZ. Ternyata ada bendera Indonesia juga, malah paling depan.
Selain itu, pengunjung kalangan umum bisa hadir dan mendengarkan debat di dalam parlemen. Ini asyik karena bisa melihat bahwa tidak ada satupun anggota parlemen mereka yang absen, mengantuk dan dibayar mahal seperti anggota DPR dan MPR RI yang terhormat. Yang jadi hot news sekarang dalam perdebatan adalah pengesahan Civil Union, semacam catatan sipil yang berlaku untuk siapa saja yang tidak ingin menikah secara agama tapi ingin hidup bersama dan membangun keluarga. Ini termasuk pasangan sesama jenis. Helen Clark selaku PM sangat mendukung karena dia sendiri tidak ingin menikah. RUU tersebut akhirnya lolos tahap satu (reading phase) dan jika lolos pada babak-babak pembahasan berikutnya, RUU itu akan menjadikan NZ bergabung dengan negara-negara liberal lainnya seperti Denmark, Sweden, Finland, Norway, Canada, South Africa, Brazil, Massachussets-Vermont-California (US) dan Tasmania (Australia).
Setelah selesai ikut parliament tour...saya melanjutkan jalan santai melihat shopping blocks yang dikatakan di banyak websites sebagai yang paling keren dan mewah. Ternyata biasa-biasa saza....Terus ke Cuba Mall yang dibilang sangat eksentrik dan banyak yang aneh-aneh...ternyata kecil dan biasa saza...nggak ada yang namanya toko baju yang aneh-aneh yang digembar-gemborkan banyak websites. Yang ada memang jualan baju unik, tapi tidak seheboh ceritanya. Semuanya seperti sudah dimodernisasi dan banyaknya cuma cafe-cafe biasa. Toko dewasa? Cuma dua. Tatoo? Dikit. Golongan pemuja setan...nggak ada. Semua normal dan saya berpikir mungkin ini yang dikatakan keberhasilan tourism marketing-nya NZ. Menarik orang datang dengan brosur dan kata-kata yang dramastis dan sangat menarik minat. Setelah datang, seperti saya, agak kecele...karena biasa-biasa saja. Andaikan Jakarta bisa berpromosi seperti ini, mungkin banyak yang datang juga dan mungkin bahkan tidak akan kecele...karena apa-apa di Jakarta masih dibilang terjangkau, bahkan turis asing bisa berfoya-foya.
Downtown Welli cukup sempit. Jalan sebentar sudah bisa kemana-mana. Makan malam di tempat yang sama, sekarang dengan piring medium, tapi ternyata kekenyangan sampai susah jalan. Besok-besok tidak makan banyak lagi. Sempat lihat memorial tower untuk pahlawan NZ dan gedung pusat pelestarian burung yang dindingnya digambari hutan tropis dan berbagai satwa. Dalam perjalanan pulang sempat lewat Victoria University dan ya ampun...banyak burung...suaranya sangat berisik. Mereka sepertinya bersarang di atap2 gedung di sekitar Uni dan saling berebut 'gossip' menjelang matahari terbenam.
Malam ini tidak ada kegiatan lagi. Besok mau ke Botanic Garden dan lapor diri ke kedubes. Kalau sempat, sore harinya bakalan ke Zoo...mau lihat panda merah dari Nepal.
posted by Leo at 06:03
|
|
|
|
|
|
Home