<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, July 24, 2005

Satu Tahun Lebih

Sudah lebih dari satu tahun saya menggunakan blog untuk menulis, mengungkapkan semua uneg-uneg dan pengalaman. Bahkan dengan blog, saya bisa berlatih menulis yang terkadang membuat saya sendiri takjub bahwa saya bisa menulis begitu panjang dengan topik yang beragam.

Awalnya dari Wisa yang menyarankan saya untuk menggunakan blog sebagai sarana untuk berbagi pengalaman. Wisa juga berbaik hati sudah mendisain blog (dulu bermukim di blogdrive) dan memilihkan tag yang sesuai dengan tempat tinggal dan kesukaan saya dengan trilogi LOTR: "A Journey Through Middle Earth". Adapun pilihan nickname "nozeano" saya pilih sendiri berdasarkan ingatan saya saat berlayar dari North Island ke South Island, NZ sambil mendengarkan lagu "Oceano" dari Josh Groban. Jadi nozeano merupakan kenangan indahnya Cook strait dan suara Josh Groban dalam "Oceano".

Tambahan tag "Just Write" saya pilih karena saya memang berniat untuk menggunakan blog saya untuk sarana ungkapan hati. Pokoknya menulis, mau itu hasilnya bagus, jelek, biasa, datar, monoton, mengasyikan, mengharukan, membanggakan, menjengkelkan, menyangsikan, dll. semuanya terserah pembaca. Saya hanya ingin menulis. "Just Write" juga bisa diselewengkan dengan "Just Right" bila saya merasa ungkapan saya sangat cocok dengan hati saya sehingga setelah menulis, saya bisa merasa plong, just right!

Tag "A Journey Through Middle Earth" akhir-akhir ini saya rasakan juga begitu berarti karena dalam sekian banyak tulisan yang sudah saya buat (beberapa sudah mengantri dalam bentuk draft), saya merasa berada dalam suatu perjalanan panjang dalam dunia yang begitu dalam. Perjalanan untuk belajar dan mencari apa inti dari pengalaman saya dalam hidup. Terkadang hasilnya berupa tulisan yang membuat saya puas, kadang menjadi tulisan yang membuat orang lain sangsi bahwa itu merupakan cerminan "jati diri" saya. Semuanya bagai pernak-pernik pengalaman yang dinamis dan beragam yang alhamdulillah bisa saya ungkapkan sekedarnya. Saya tidak membatasi pendapat orang, karena perjalanan saya masih dan akan panjang dengan begitu banyak hal yang bisa disusun dalam struktur tulisan yang membuat saya plong, sekaligus belajar.

Saya berterima kasih kepada Scott Benson, guru bahasa Inggris saya yang dulu menyakinkan saya bahwa saya harus banyak menulis karena memiliki gaya yang lain. Saya sendiri juga merasa nyaman dengan bahasa tulisan. Sebenarnya bahasa lisan saya juga tidak buruk bahkan beberapa orang sampai merasa kewalahan bila saya ajak beradu analisa. Tapi terkadang saya surut dan mengalah bila orang yang saya hadapi termasuk orang-orang yang saya hormati dan cintai. Bila dalam lisan saya bisa mengalah dan sedikit berbohong, dalam tulisan saya bisa tampil sekedarnya, apa adanya.

Dalam perjalanan bersama blog, saya juga banyak mendapat teman baru, bahkan sempat bertemu. Sesuatu anugrah yang luar biasa, yang dulu tidak terbayangkan. Dengan membaca pengalaman dan pendapat orang, saya semakin belajar karakter dan ragam orang. Oleh karena itu, sudah layak bila saya juga berterima kasih pada teman-teman bloggers yang sudah mau meluangkan waktu mampir, meninggalkan pesan dan komentar, tukar pesan dan bertemu. Semoga pertemanan kita terus berlanjut. Pesan dan kesan dari teman-teman selalu saya terima dengan lapang dada. Yang penting tuliskan saja... just write!!!

posted by Leo at 11:46

Orphan

Dulu waktu kecil, saya sering melihat film-film tentang anak-anak di panti asuhan seperti film Annie dan Oliver! Saat menonton, saya ikut menangis sedih bila tokoh-tokohnya bersedih dan tertawa gembira bila tokoh-tokohnya mendapat keberuntungan. Sama halnya beberapa bulan lalu saat saya menonton The Cider House Rules (1999) di layar tv. Film yang berkisah tentang panti asuhan sekaligus klinik yang menampung anak-anak yang tidak diinginkan dan melayani praktik aborsi ilegal. Film yang membuat saya sedih karena melihat bagaimana mudahnya menjadikan anak-anak itu tidak diinginkan.

Di panti asuhan itu, setiap anak memiliki harapan yang besar untuk memiliki keluarga. Saat satu keluarga datang hendak mengadopsi, semua tampak gembira dan memandang penuh harap, tapi kemudian sedih karena mereka tidak terpilih. "Nobody wants me," keluh Curly yang sudah siap dengan kopernya sambil menatap sedih dari jendela, melihat temannya mendapat keluarga baru. "Only the right people can have you" kata-kata hiburan yang diutarakan Hommer menggugah saya untuk bertanya, bila tidak ada orang/keluarga yang tepat, apakah anak-anak itu harus selamanya hidup di panti asuhan?

Kisah dalam film itu sebenarnya menunjukkan dua dunia yang bersisian sekaligus bertolak belakang. Dunia yang ironi. Di satu sisi, saya melihat bagaimana dokter dan dua suster di panti asuhan sekaligus klinik itu digambarkan begitu mencintai anak-anak itu. Mereka selalu memberi pengharapan dan mengisi kekosongan yang dirasakan anak-anak itu. Setiap malam mereka dibacakan cerita dan ditutup dengan ucapan "Good night, you princes of Maine, you kings of New England". Anak-anak itupun merasa tentram sebelum tidur dan merasa beruntung karena mereka berada di tangan yang baik. Di sisi lain, mereka berada dalam dunia yang sebenarnya tidak menginginkan mereka ada. Mereka hidup dalam rumah dan dengan orang-orang yang menyayangi tapi sekaligus membantu banyak orang yang tidak menginginkan calon bayinya hidup. Haruskah anak-anak itu hidup dalam dunia seperti itu?

Dunia yang ironi tidak saja didapati sejak si calon bayi masih dalam kandungan. Banyak pengalaman menunjukkan anak-anak yang merasa tidak diinginkan saat mereka tumbuh dalam keluarganya sendiri. Akibatnya banyak yang terlantar atau lari dari rumah. Di Australia sudah terdapat program adopsi-asuh, khususnya untuk anak-anak yang lari atau disia-siakan orang tuanya sendiri. Seorang yang berusia lebih dari 25 tahun dan memiliki pekerjaan tetap sudah bisa mengadopsi anak asuh yang berusia antara 1-16 tahun. Memang semuanya harus melalui prosedur pengadilan dan masa percobaan, tapi hal ini rasanya dapat menghindarkan anak-anak yang terlantar itu mengalami pengalaman lebih buruk. Anak-anak remaja yang diadopsi dapat belajar untuk menata kehidupannya dan belajar mengenali jati diri dan cita-citanya. Saat anak-anak itu sudah bisa mandiri, mereka bisa lepas dari orang tua asuhnya.

Di Indo, praktik yang sama mungkin sudah banyak dilakukan meski secara informal, seperti beberapa keluarga bersedia menerima anak jalanan untuk mondok dan mendapat pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya. Adanya tangan yang terbuka dan ikhlas untuk memberi perhatian, kasih sayang dan harapan mungkin bisa menjadi kunci bagi anak-anak itu untuk tumbuh menjadi manusia yang lengkap dan meraih kebahagiaan. Pengalaman keluarga kami menampung saudara yang lari dari rumah juga membuat saya sadar betapa besarnya tanggung jawab menjadi orang tua. Perlu ketetapan hati, agar nanti bila mendapat anugrah anak, kita tidak merasa terpaksa untuk membesarkannya.

Selamat hari Anak.

posted by Leo at 03:39

Thursday, July 14, 2005

Lamongan Penuh Kejutan

Setelah hilir mudik Jakarta - Bandung - Jakarta - Surabaya - Lamongan - Surabaya - Jakarta, akhirnya saya kembali ke Surabaya. Perjalanan kali ini cukup melelahkan, tapi saya cukup terhibur dengan pinjaman buku "Malaikat dan Iblis" (Angels and Demonds). Juga terhibur karena Ibu teman sebangku yang akrab dan begitu teliti, sampai-sampai tahu kalau saya punya cadangan tas "kresek" yang masih terlipat rapi di dalam tas ransel saya. Tiba di Surabaya malam hari dan saya agak tidak mengerti dengan salam sambutan dari penjaga guest house. Ucapannya hanya saya "iyakan", lalu setelah menaruh barang di kamar, saya segera makan malam dengan menu nasi pecel madiun. Malam itu saya melanjutkan membaca novel pinjaman, sudah lewat 50 persen selesai.

Keesokan harinya, saya bangun dengan nama baru. "Selamat pagi Pak Alex. Jadi datang tho. Kemarin sore ditunggu tidak muncul, takutnya tidak jadi," sapa ramah dari tenaga administrasi guest house. Saya biarkan saja dia memanggil begitu karena toh "Alex" terdengar bagus dan justru menambah perbendaraan nick name saya menjadi 21 buah (Mbombot, Ade, Teguh, Iguh, Leo, Dodo, Lala, Leonardus, Los Angeles, Adi, Aldo, Sam, Leon, Santoso, Ote, Doel, Al, Dew, Nozeano, dan Li Yow). Saya memberi kebebasan orang memanggil saya asalkan masih enak didengar atau bila itu merupakan nama panggilan sayang;).

Dari Surabaya saya melanjutkan perjalanan ke kota yang dicintai Nizar: Lamongan. Saat kunjungan 2 jam seminggu yang lalu, tidak ada kesan istimewa tentang Lamongan, tapi kali ini berbeda. Kejutan-kejutan pun mulai muncul. Kejutan pertama adalah tibanya saya di depan pintu Pak Lurah selepas maghrib. Seisi rumah terkejut karena mengira saya masih seminggu lagi akan datang. Tuan rumah tidak siap, tapi tidak kuasa menolak dan segera merapikan kamar.

Kejutan kedua, baru beberapa menit datang, saya sudah diajak keliling oleh Pak Lurah melihat Lamongan City di waktu malam. Kota Lamongan ternyata lumayan rapi dan bersih. Lampu-lampu hiasnya sama dengan yang ada di sepanjang jalan Sudirman Jakarta. Orang-orangnya juga ramah, seramah Nizar. Pak Lurah pun mentraktir soto lamongan. Ternyata, soto lamongan itu isinya penuh, mulai dari berbagai jeroan, kuning telur sampai otak. Full cholesterol. Semula ragu untuk memakannya, tapi tak apalah, sekali-kali melupakan sayur dan buah. Sotonya gurih dan lezat.

Kejutan ketiga adalah nyamuk Lamongan yang ganas. Malam itu juga saya menjadi menu baru untuk nyamuk-nyamuk yang ganas. Mereka meninggalkan tanda tangan di lengan dan kaki sebagai ucapan terima kasih. Herannya, orang Lamongan sendiri tidak mendapat ucapan terima kasih seperti saya. Alhamdulillah Pak Lurah berbaik hati meminjamkan kipas angin dan sarung sehingga darah saya masih bisa 'dicicil' oleh nyamuk-nyamuk itu. Saya juga mendapat respon tertawaan geli dari pemilik toko saat saya membeli selusin sari puspa.

Kejutan keempat, bersama dengan asisten, saya mencari fotocopy service di Lamongan. Dari 5 tempat yang kami temukan di sekitar perkantoran, semuanya mengalami kerusakan mesin. Kami berpikir, mungkin kami salah mencari karena kami masih sangat baru. Lalu setelah bertanya ke seorang Mbak manis dan baik hati yang baru membeli sarapan, kami pun menemukan fotocopy service yang lumayan profesional di depan bioskop "Garuda" yang sudah ditutup for good. Seusai fotokopi, kami mencoba jalan lain untuk pulang. Sepanjang jalan itu, kami melihat tempat-tempat fotokopi banyak sekali. Kenapa tadi tidak lewat sini?

Kejutan kelima, tidak ada ojek dari desa ke luar. Saya menunggu di depan kios bakso dan selang waktu 15 menit angkutan pedesaan tidak muncul juga. Karena kasihan melihat saya menunggu lama, sang pemilik kios mengantar saya dengan sepeda motornya ke pertigaan tempat ojek di tepi jalan raya. Kiosnya ditinggal begitu saja. Kebaikan hati yang jarang ditemukan.

Kejutan keenam terkait dengan kata-kata yang tidak biasa saya dengar. Saat makan malam, saya melihat begitu banyak lauk disiapkan Ibu Lurah plus satu tumis kangkung yang merupakan pesanan saya bahwa tiap hari ingin makan sayuran. Sepanjang makan malam, Ibu Lurah terus mengomentari: kenapa makannya sedikit, tidak enak ya, kurang suka? Lalu... "Ayo Dek, dipakai ulamnya..." Kalau ulam saya tahu artinya = lauk, tapi kenapa saya harus memakai lauk? Otak sejenak memperingatkan "see the context". Ooo, dipakai = dimakan. Kejadian berulang dengan kata yang lain. Saat menyodorkan buah-buahan sepiring, si Ibu tiba-tiba teringat bahwa dia lupa menyediakan pisau. Setelah ambil pisau di dapur, Beliau mengatakan: "Mari Dek, dimakan pisaunya..." Nah lho. Saya baru mengerti sekarang, si Ibu ternyata menggunakan kata secara terbalik: dipakai untuk dimakan, dan dimakan untuk dipakai.

Kejutan ketujuh masih terkait dengan satu kata yang hampir membuat saya meledak tertawa saat wawancara. Pak Haji yang diwawancara dengan semangat bercerita tentang pengalamannya. Saat saya tanya tentang motivasinya, dia menjawab berapi-api "Ya, begitu pak. Kesulitan tidak pernah membuat saya berhenti. Pokoknya kalau ada kesulitan apapun, ya...diperkosa saja. Tetap berjalan, begitu." Sejenak saya melongo... Pak Haji kok... waduh...dingdingding! Sekejap otak kembali ke fungsi semula dan saya pun berusaha keras menahan tawa yang hampir-hampir saja meledak. Untung hanya air mata saja yang meleleh dan saya masih bisa berdalih mengantuk...

Kejutan kedelapan terkait dengan masalah hujan dan dugem. Sejak saya datang, malam hari selalu turun hujan. Lumayan untuk menyejukkan suasana. Tapi malam itu saya cemas karena saya mengundang banyak orang untuk pertemuan dan takut tidak ada yang datang. Untung saja, orang-orang yang diundang shalat magrib di masjid yang tidak jauh dari tempat pertemuan. Saya pun lega setelah melihat satu per satu dari mereka datang. Saya diberi tahu bahwa tidak perlu cemas, karena Bapak-bapak di desa itu senang dugem. Kalau malam hari, mereka biasanya berkumpul di warung-warung, mengobrol apa saja, melepas lelah sambil minum kopi, susu panas, teh dan merokok. Dengan kebiasaan seperti ini, pertemuan paling efektif dilaksanakan pada malam hari, dan meskipun hujan, undangan pasti akan dipenuhi.

Kejutan kesembilan terjadi saat pertemuan. Pak Lurah menyampaikan ucapan selamat datang yang standar: sopan, ramah dan ada penerimaan terbuka. Tapi di akhir sambutannya ada sedikit komentar: "Mas Leo ini lain. Mungkin karena sudah lama tinggal di Selandia Baru, disuguhi makan macam-macam lauk, cuma tempe dan sayurnya yang habis. Yang lain jarang disentuh." Komentar itu disambuit pandangan heran, anggukan dan tawa hadirin. Laki-laki kenapa suka makan sayur? Tapi ucapan Pak Lurah ada hikmahnya. Sekarang, kemanapun berkunjung, saya selalu mendapat suguhan sayur bila si tuan rumah menjamu makan siang. Tentu saja ada juga ikan goreng, nasi hangat dan sambal. Asyik kan.

posted by Leo at 10:52

Wednesday, July 06, 2005

Bertemu Keponakan

Keponakan-keponakan saya biasanya mengantri di telepon saat saya telepon dari NZ. Keponakan dari satu-satunya kakak kandung ada lima orang. Yang terbesar, laki-laki, hanya sekali-kali saja mengobrol karena sudah gengsi dan merasa malu kalau saya tanya tentang Dinda, temannya di sekolah yang menurut kakak saya naksir berat sama keponakan saya itu. Tingginya sekarang sudah hampir sama dengan saya dengan rambut ikal, berbeda dengan rambut keluarga kami yang lurus. Dulu sewaktu kecil, dia sangat dekat dengan saya. Kalau saya datang, dia sudah tidak bisa lepas dari saya. Mulai makan, mandi sampai tidur, harus ada Oom-nya. Bantal guling, gebukan kasur, selimut dan apa saja yang ada, bisa kami susun sama-sama menjadi rumah, benteng, tank, bis, mobil, motor, becak dan banyak lagi. Saya jadi kembali bermain seperti anak kecil.

Empat lainnya masih berusia 7 tahun (Icha), 5 tahun (Fia), 4 tahun (Fifah) dan 3 tahun (Oi). Semuanya perempuan, cantik, cerewet dan berambut model "bob" kecuali yang terakhir karena rambutnya masih jarang. Begitu membuka pintu rumah kakak. Otomatis yang keempat biasanya langsung minta dipangku saya. Yang keempat ini terkenal di komplek rumah sebagai anak kakak yang paling putih, cantik, molek dan montok. Dia merupakan satu-satunya anak kakak yang memiliki nama sumbangan dari pihak kakak ipar. Dan memang dia tumbuh menjadi anak kesayangan semua orang. Semua orang akan jatuh hati melihatnya. Meski dia paling pendiam dibandingkan saudara-saudaranya, kalau menangis bisa membangunkan satu RT. Hobby-nya merangkai puzzle dan tidur paling malam.

Icha lain lagi. Dia termasuk pandai di sekolah dan sering mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba. Suka belajar hal-hal baru, tekun dan sangat disiplin. Tapi dia agak rendah diri, tidak berani tampil. Teringat saat pulang dari Amerika, dia langsung minta digendong saya, meski kami belum pernah bertemu. Dulu kalau ditanya orang "Icha anaknya siapa?", dia selalu bilang "Anak Oom." Muka kami sangat mirip, kesukaan kami juga hampir sama, dan kelemahan kami juga sama: mudah pilek, batuk dan terkena radang tenggorokan. Icha lahir saat krismon, tapi dia tumbuh menjadi anak yang sehat; bahkan lebih mandiri dibandingkan kakaknya.

Fia adalah keponakan yang paling banyak akal dan satu-satunya yang mewakili mata sipit keluarga kami. Meski tampak pemalu, tapi dia jagoan tampil, bahkan kadang-kadang malu-maluin karena komentarnya yang spontan. Seperti kalau ada tamu yang berkunjung terlalu lama, dia tiba-tiba muncul di ruang tamu dan berkata "Kok nggak pulang-pulang?" Atau pernah ada seorang Bapak yang sedang bertamu dia tanyai "Pak, siapa namanya? Umurnya berapa?" seperti balas dendam karena dia sering ditanya seperti itu bila menemani Ibunya bertamu. Atau ketika akan menari dalam acara sekolah, dia mengeluh keras-keras di atas panggung karena lagu pengiringnya tidak juga terdengar "Lama amat sih nyetel lagunya. Bosan nih sudah berdiri di sini." Semoga dengan sumbangan nama Izzatul dari saya, Fia bisa menggunakan perkataannya untuk kemuliaan.

Oi adalah anak yang bila ditanya "Oi, anak siapa?" selalu menjawab lantang "Oi anak bungsu"; tidak pernah menjawab anak Ibu ini atau Bapak itu. Dia termasuk "pemakan segala" karena segala jenis makanan pasti dilahap, termasuk selalu urutan terdepan kalau minum obat. Tapi dia juga begitu pelit karena tidak pernah mau berbagi. Diambil sedikit saja makanannya dalam piring, dia langsung merengek keras "Nanti Oi tidak kebagian, nanti habis..." Tapi anak bungsu selalu punya kelebihan. Dia bisa berbicara selancar Fia, melebihi Fifah. Sengaja saya sumbang nama Qorina (Oi) karena anak bungsu biasanya menjadi pendamping orang tuanya saat kakak-kakaknya lebih dulu mandiri.

Sebenarnya masih ada 4 keponakan saya dari 2 kakak angkat, tapi saya belum sempat bertemu mereka. Keponakan yang pertama perempuan dan tomboy. Langganan juara kelas dan tahun ini ikut UMPTN. Yang kedua laki-laki dan tumbuh tinggi besar, juga langganan juara kelas. Dua keponakan lain masih kecil, laki-laki. Yang satu masih SD kelas 2, satunya berumur 3 tahun. Yang pertama sejak kecil sudah berkaca mata; yang terakhir tidak jadi memakai nama pemberian saya. Orang tuanya memilih nama Fathur.

Saya bersyukur masih bisa melihat mereka tumbuh sehat. Semoga mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri.

posted by Leo at 10:46

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004