<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, June 26, 2004

Wellington-Lincoln, 25 June 2004

Hari saat perjalanan pulang. Berebut kamar mandi dengan roommate dari Perancis. Ternyata dia mau pindah, mungkin sudah dapat flat atau mungkin pindah ke hotel lainnya, supaya tidak bosan. Ternyata tadi malam tidur nyenyak sekali sampai tidak tahu ada roommate baru lagi. Jam 8 pagi check out dan shuttle sudah menunggu. Jam 8.30 sudah berada di terminal ferry, check-in dan sarapan sebuah muffin favorit: blueberry muffin. Penumpangnya banyak dan sebagian besar memang akan berlibur ke South Island.

Pukul 9.30 semua penumpang sudah berada di dalam ferry Interislander dari Wellington ke Picton. Saya ambil tempat duduk di dalam di tepi jendela supaya bisa lihat pemandangan. Tapi setelah 15 menit di dalam, saya putuskan untuk pindah ke dek atas agar bisa ambil foto. Ternyata keputusan tepat dan saya tidak kembali duduk di dalam lagi selama tiga jam perjalanan. Indah sekali pemandangannya. Yang sangat berkesan adalah kelokan-kelokan teluk. Saya sangat beruntung karena dua setengah hari di Wellington, cuacanya cerah sekali dan kali ini dalam perjalanan pulang, cuaca juga tetap cerah. Meski angin di dek cukup kencang tapi pemandangan alam tidak menyurutkan minat untuk tetap di dek dan mengambil foto.

Sesampainya di Picton, langsung check-in tiket kereta. Cepat dan tidak perlu issue tiket baru, cukup lembaran yang saya print dari email konfirmasi pemesanan saja. Sempat kelaparan dan akhirnya memutuskan makan siang di 'Subway'. American Franchise, jadi saya harus siap dengan macam-macam pertanyaannya.

Saya memesan tuna sandwich, lalu ditanya (1) mau panjang rotinya berapa? 6 inchi atau 1 feet (30 cm). Karena ingin tahu, saya pesan yang 1 feet-long sandwich. Ditanya lagi (2) mau rotinya jenis apa... Saya sudah agak bingung dan lapar. Si pelayan menunjuk contoh roti yang tersedia, ada 8 jenis. Karena tidak mau orang yang mengantri panjang lama menunggu, saya pilih roti yang paling dekat, Italian bread. Ternyata tidak salah, enak sekali. Si pelayan lalu membelah roti dan bertanya lagi (3) mau diberi keju jenis apa? Ada enam pilihan, dan saya sudah lupa jenis apa saja yang ditawarkan si pelayan...saya asal bilang "ceddar"...Setelah diberi empat lapis keju, roti saya dioper ke pelayan yang di tengah. Lalu diberi tuna dan ditanya lagi, (4) mau sayuran apa? lettuce, tomato, chilli, onion, atau apa saya lupa lagi...saya pilih tomato dan chilli (paprika)...ditanya lagi (5) sausnya apa? Ada 15 jenis saus...saya tambah bingung... 'thousand islands' adalah yang termudah meski mungkin lebih enak kalau pakai oriental sauce karena lebih pedas. Di tanya lagi (6) take out or here?...(7) any drink? Total 7 pertanyaan untuk pesan satu buah sandwich... American style... inginnya sophisticated dengan layanan yang beragam tapi bagi saya kadang membuat bingung.

Sama halnya dulu pernah pesan bagel (roti berbentuk donat, keras, cukup keras untuk 'nimpuk' orang), saya harus menjawab pertanyaan mulai dari jenis begel, dipanaskan seberapa matang, pakai keju jenis apa, kejunya mau dilelehkan atau tidak, begelnya mau dibelah atau tidak, dll, sampai saya pergi tidak jadi pesan...why don’t you just give me the damn bagel!!! Salah satu teman baik saya dulu sering memanfaatkan kesempatan seperti itu untuk membuat bingung. Dia senang memesan yang aneh-aneh...tolong rotinya jangan terlalu kering, telurnya jangan terlalu matang atau terlalu mentah, jangan sampai ada kentang yang gosong, dagingnya dibiarkan panas tapi jangan sampai gosong supaya warna merahnya tetap, tapi jangan lupa dibalik supaya dua sisinya rata. Garamnya jangan banyak-banyak, telurnya diberi merica sedikit. Tehnya pakai gula sedikit tapi jangan terlalu manis. Salah sedikit, si pelayan bisa kena damprat. Maklum teman saya orang Amerika. Kalau saya jadi pelayannya, sudah minta berhenti sejak menit pertama ada orang yang pesan seperti itu!

Perjalanan kereta cukup menyenangkan, meski agak biasa. Keretanya seperti kaleng karena tidak berbentuk sekokoh gambar atau iklannya, tidak sekokoh kereta-kereta Argo. Ruangan dalamnya memiliki kursi yang lebih lebar dibandingkan kereta di Indo, mungkin disesuaikan dengan ukuran orang-orang di sana. Saya pesan tiket dengan gerbong yang memiliki jendela tidak berbatas jadi saya bisa lihat sepuasnya pemandangan sepanjang perjalanan. Yang unik, ada satu gerbong yang dibiarkan terbuka, tidak berdinding, hanya berpagar, tempat penumpang untuk memotret pemandangan. Meski berangin kencang, saya juga tetap mencoba memotret pemandangan, dan hasilnya tidak mengecewakan. Kembali saya lihat bukit-bukit tanpa pepohonan, cuma semak-semak dan rumput yang mengering karena sekarang sedang winter. Beberapa bukit sedang diremajakan dengan tanaman pinus. Hari itu juga kurang beruntung karena meskipun kereta melewati tepian pantai, tidak ada ikan paus yang sedang berlabuh dekat pantai. Menurut brosur, dalam musim-musim tertentu, penumpang kereta bisa memotret keluarga paus dari kejauhan.

Sampai di Christchurch pukul 19.08. Sudah agak terlambat untuk mengejar bis ke Lincoln. Tapi saya tetap berjalan cepat, 1.5 km dan ternyata dalam waktu 14 menit bisa sampai di halte. Bis agak terlambat dan saya bisa pulang dengan tenang. Perjalanan Lincoln/Christchurch-Wellington dan sebaliknya cukup menyenangkan.

posted by Leo at 06:17

Friday, June 25, 2004

Wellington 24 June 2004

Bangun seperti biasa jam 5.30. Jam 7.30 sudah siap berangkat. Rencananya setelah sarapan akan jalan-jalan lagi di tepi pantai sambil nunggu Te Papa Museum dibuka.

Makan pear di tepi pantai cukup menenangkan, meski udara cukup dingin. Beberapa orang lari pagi atau jalan-jalan dengan keluarganya. Sebagian lain berjalan kaki cepat menuju kantor. Beberapa burung camar datang mendekat, mengira akan diberi makanan…hilir mudik sambil mengamati kalau ada cuilan makanan dilemparkan atau terjatuh.

Jam 9 tepat langsung menuju gerbang Te Papa…ternyata jam karet juga…karena baru dibuka jam 10, alasannya karena ada conference. Waktu akhirnya dihabiskan window shopping di gallery shop dan food court.

Te Papa luas sekali. Meski 'cuma' enam lantai, tapi ternyata saya bisa menghabiskan 7 jam di dalamnya. Masuk gratis, kecuali di beberapa pameran di lantai 3. Lantai satu cuma gallery shop, food court dan tempat penitipan barang. Lantai dua, ada information desk dan gallery/diorama terbentuknya daratan NZ dan fauna yang mendiami NZ dari dulu sampai sekarang, baik yang di laut maupun di darat. Dua pulau besar NZ ternyata berasal dari Gondwana, benua purba yang terpecah karena pergeseran lempeng bumi menjadi Benua Afrika, Madagaskar, Semenanjung Arab dan Turki, Semenanjung India, Australia, Papua, NZ, Antartika dan Amerika Selatan.

Berbagai sejarah kepurbakalaan dikemas menarik dengan diorama, bahkan ada simulasi gempa. Pameran fauna laut dan darat di NZ, baik yang asli NZ maupun yang bawaan dari Eropa dan benua lainnya dikemas dengan baik dan menarik. Bahkan untuk anak-anak tersedia discovery room, tempat berinteraksi dengan ilmu pengetahuan tentang fauna lewat video, buku, diagram dan permainan. Arena lainnya di lantai dua ini ada Time Wrap, perjalanan ke masa depan dan masa lampau. Satu paket Time Wrap $15, tapi saya pilih ikut perjalanan masa lampau saja, sambil ingin merasakan 'kursi goyang' dan layar 3 dimensinya. Kecele...ternyata tidak sebagus Keong Mas. Lebih mirip wahana teater simulator di Dufan. Arena lainnya adalah pusat cerita untuk anak-anak dan the Bush City. Pengunjung the Bush City bisa masuk lorong-lorong tanaman dan pergi sesuai dengan petunjuk jalan. Bagi anak-anak mungkin menyenangkan, bagi saya biasa saja.

Lantai tiga merupakan tempat pertemuan, pameran yang tidak gratis, dan beberapa pameran keramik. Lantai empat menyajikan pameran budaya Maori dan Pacific Islands, juga ada pameran adat pernikahan India yang dipersiapkan komunitas India di Wellington. Selain itu ada pameran sejarah NZ yang mencakup sejarah interaksi antara pendatang kulit putih dan Maori. Juga diperlihatkan foto-foto bersejarah, kostum dan rumah adat. Bangsa kulit putih tidak saja datang dari Inggris, tetapi banyak juga yang berasal dari Irlandia, Yunani, Jerman, dll. Yang tampak jelas dari foto-foto tersebut adalah banyaknya pohon-pohon ditebangi dan bukit-bukit yang menjadi latar belakang foto terlihat nyaris atau sudah gundul. Menurut dosen saya, hal ini terjadi saat gold rush, penemuan emas yang menarik banyak pendatang untuk mengadu nasib di tambang-tambang emas. Bukti penggundulan hutan sampai sekarang masih terlihat karena banyak bukit-bukit di NZ hanya ditumbuhi rerumputan untuk ladang penggembalaan dan semak-semak. Pohon yang ada sebagian besar merupakan hasil penanaman kembali yang tampak berjajar seragam, terutama dari jenis pinus. Mungkin itu sebabnya pemerintah NZ menetapkan setiap hutan yang tersisa dan boleh dikata masih asli atau telah pulih dari penebangan menjadi taman nasional.

Yang tak kalah menarik adalah pameran karya ukir Maori. Jenis ukirannya mirip ukiran-ukiran dari Indonesia Timur. Sebagian juga mirip dengan ukiran suku Dayak di Kalimantan. Menurut sejarah, orang Maori datang dari wilayah Asia Tenggara dan mereka berpencar dan kemudian menetap di kepulauan Pacific dan membentuk negara-negara kecil yang sekarang dikenal sebagai Samoa, Tuvalu, Tonga, Nauru, Kiribati dll. Mudahnya akses bagi penduduk dari negara-negara kecil ini ke NZ menyebabkan banyak migrasi pencari kerja dari Pacific ke NZ. Bahkan di beberapa negara seperti Tuvalu, Nauru dan Tonga, lebih dari 50% warga negaranya bertempat tinggal dan bekerja di Auckland, NZ.

Lantai lima menampilkan karya-karya kontemporer baik lukisan, foto, maupun ornamen. Yang menarik adalah karya ornamen yang norak karena menggunakan ornamen dengan warna-warna spotlight, foto-foto yang diciprati cat putih seolah lava meleleh, bahkan tempat tidur dari batu-baru koral dan lampu warna-warni dengan meja-meja berhias alat kelamin laki-laki dan patung wanita. Belum lagi ada pameran lukisan religius dengan gambar Jesus dan cerita-cerita dalam Bible yang digambar dalam sketsa maupun lukisan kontemporer. Untuk pameran foto-foto, disandingkan antara lukisan sketsa dengan foto aslinya. Lantai enam hanya berisi pameran patung, yang seolah hanya mengisi ruang yang tersedia dan tidak menarik.

Kunjungan ke Te Papa sempat dipotong untuk makan siang, lagi-lagi di tempat yang sama, 'Eat Asian' (Asian Food, tapi boleh jadi orang Asia juga...). Meski sudah pernah sakit perut karena terlalu bersemangat makan gulai iga domba.

Sebelum kembali ke Te Papa, saya mampir ke Museum of Wellington City and Sea. Ternyata bagus sekali. Ada pertunjukan film singkat mengenai tragedi tenggelamnya kapal mewah bak Titanic, theatre dengan 'aktor-aktor berukuran kecil' (penggabungan film dan patung-patung yang dipajang) yang bercerita tentang hikayat Maori dan contoh kabin kapal tempat kapten tinggal.

Selain itu ada pameran karikatur, sangat menarik. Yang masih teringat adalah betapa "negara berkembangnya" NZ di tahun 1990-an. Salah satunya tentang landasan pesawat di bandara Welli yang tidak bisa didarati pesawat besar saking pendeknya. Dan hal ini cukup memalukan saat Sang Ratu hendak berkunjung. Belum lagi kereta yang sering terlambat dan fasilitas infrastruktur lainnya yang kalah dibandingkan negara lain. Saya juga jadi teringat pernah membaca buku yang isinya koleksi karikatur di koran. Yang menarik adalah, kalau membaca koran terbitan NZ, banyak sekali berita yang NZ-centris, sampai-sampai ada karikatur yang memperlihatkan bagaimana kalau orang NZ ngobrol mereka selalu bilang "Me..me..me..me", yang secara tidak langsung menunjukkan orang NZ terlalu NZ-centris. Mungkin seperti ini perlu juga dicontoh di Indo karena menunjukkan kebanggaan menjadi bangsa Indo. NZ selalu bangga dengan segala macam Kiwi success story-nya, meski kadang terkesan berlebihan.

Kembali ke Te Papa jam 4 dan keluar lagi jam 7 malam untuk makan malam. Menu kali ini...Kentucky Fried Chicken. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ngidam ingin makan ayam dari resep bapak tua berkumis putih yang ramah. Acara malam hari tidak banyak, hanya membaca koran, kemas-kemas dan pesan shuttle untuk ke terminal Ferry. Sebelum tidur sempat juga baca novel "The Reader".

posted by Leo at 06:14

Wednesday, June 23, 2004

Wellington 23 June 2004

Tidak bisa bangun ala liburan karena jam biologis sudah terbiasa bangun 5.30. Dua roommates masih tidur, satu dari Perancis-hidup nomaden dari hotel ke hotel dan bekerja di Welli, satu lagi dari Inggris yang datang ke NZ hanya untuk jalan-jalan selama tiga bulan.

Setelah matahari muncul jam 8 pagi, saya kembali menelusuri Welli kali ini ke arah cable car station. Rencana hari ini mau mengunjungi Botanic Garden, kedubes dan Zoo. Jalan kaki dari hotel ke cable car station sekitar 20 menit, dan sepertinya terbawa arus orang-orang yang berjalan kaki pergi ke kantor….

Tiket cable car station seharga $2 pp. Perjalanan cable car menanjak bukit menuju Botani Garden, ternyata perjalanannya pendek sekali....baru duduk sudah turun. Sampai saya tidak mengira dan tetap saja duduk meski kereta mau turun lagi. Untungnya cepat sadar dan langsung lompat keluar. Dalam perjalanan cable car sempat juga lihat kampus Victoria University. Bagus juga, di hampir bagian atas bukit.

Suasana Botanic Garden sepi dan tidak seindah di musim semi, gugur dan panas. Bunga-bunga-nya hanya ada beberapa saja yang bermekaran. Luasnya lebih kecil dibandingkan Kebun Raya Bogor, tapi berjalan kaki di dalamnya lebih melelahkan karena lokasi berbukit-bukit dan berlembah. Koleksi tanamannya mungkin juga kalah dari Kebun Raya Bogor. Sebagian besar bukan tanaman asli tapi bawaan dari Eropa dan negara-negara lainnya. Baru setengah perjalanan, saya memutuskan ke kedubes yang terletak tidak jauh dari Botanic Garden. Gedung KBRI tampak cukup tua dan indah. Ternyata bukan hari baik untuk lapor diri karena yang berwenang sedang menemani tamu dari Indo dan terpaksa besok harus kembali lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke areah rumah kaca tempat bunga-bunga dan tanaman tropis di Botanic Garden. Setelah puas mengambil foto dan menghangatkan diri di dalam rumah kaca, saya kembali mendaki bukit untuk mencapai cable car. Tujuan berikutnya: makan siang di tempat yang sama, buffet "Eat Asian"...Makanan di sini sama dengan makanan Indo tapi semuanya di-claim sebagai makanan aseli Malay.

Perjalanan berikutnya ke zoo. Menurut brosur, beberapa koleksi terbaru di zoo termasuk bayi jerapah dan panda merah dari Nepal. Perjalanan dari Downtown ke zoo cuma 10 menit. Tiket satu orang $10. Pertama masuk langsung disambut dengan suara lengkingan berang-berang yang tampak sedang ‘berang’, hanya hilir mudik di antara bebatuan sambil bersuara melengking, berulang-ulang dengan tonasi yang sama. Lokasi berikutnya, kera putih bermuka gondrong dan berukuran kecil yang saat ini sedang diberi makan. Namanya ada "tamarin"-nya, seperti nama pohon asem dan pemain tenis asal Thailand. Di sampingnya ada kandang burung kakaktua, yang diisi dengan kakaktua yang gemar mendekat, say hello dan minta dipotret. Saya memang sedang beruntung karena hampir semua hewan-hewan di zoo banyak yang memalingkan muka ke arah saya pas dijepret, termasuk keluarga jerapah dan bayi-nya yang baru. Saat memotret singa, jenis yang betina anggun di puncak bukit dengan sisa tulang besar dibiarkan tergeletak (aduh lupa foto sama tulangnya...). Yang jantan kemana? Eh ternyata sedang bermalas-malasan tidur di bawah...Perkecualiannya adalah harimau sumatra dan ceetah yang sedang tidur-tiduran menikmati hangatnya cuaca, dan sukar difoto. Sementara wild dogs (haena) sedang mengasuh anak-anaknya. Ketika mereka diberi makan beberapa kelinci hidup, salah satu haena langsung menerkam mereka dan kriuk-kriuk...Satwa lain yang dipotret termasuk burung unta, beruang madu kalimantan, bebek peking, golden tamarin yang mirip sun go khong, kangguru, kera yang sedang bermalas-malasan, baboon berfantat merah yang lagi "metani" kutu di rambut anaknya. Sayang sekali nggak bisa foto marmot (guinea pig) karena tempatnya berkaca, padahal jenis yang dipamerkan macam-macam dan berwarna warni bagus.

Dari zoo langsung ke kota lagi untuk mengejar bis ke Mount Victoria, puncak lainnya yang berseberangan dari Botanic Garden. Lebih tinggi dan pemandangannya lebih menakjubkan. Semua sudut downtown Welli terlihat jelas. Sengaja berangkat sore supaya tidak terlalu terik dan bisa ambil foto. Sepulang dari sana, langsung menuju pantai, lihat dok galangan kapal. Welli masih punya pantai yang bebas, tidak terpatok seperti ancol. Yang khas, ternyata ada terowongan khusus untuk membantu orang-orang yang lewat supaya tidak terkena terpaan angin yang memang ganas di Welli.

Cuaca besok diperkirakan mendung sehingga saya memutuskan untuk wisata museum. Sayang tadi tidak bisa lihat Film Archive Center karena ternyata tiketnya cukup mahal. Malam ini sebenarnya tidak ada kerjaan selain baca koran di internet. Mungkin mulai baca novel "The Reader" yang dipinjam di kampus. Tapi sebelum itu, mau menjelajahi bagian kota yang memang enak dijelajahi malam hari karena cafe-cafe-nya baru buka malam.

posted by Leo at 06:08

Lincoln to Wellington, 22 June 2004

Berangkat pukul 8 pagi, tapi sejak jam 5.30 sudah bangun. Sudah mengemas barang sejak semalam tapi setelah mandi berubah pikiran, terutama tentang jumper. Akhirnya berangkat, sangat ragu-ragu dan sampai di halte bis malah balik lagi ke flat ambil jumper. Ternyata tidak sia-sia dan keputusan yang bagus karena Wellington ternyata sangat berangin.

Airport bus agak telat sekitar 10 menit dan harus menunggu di tengah cuaca yang jelek di Christchurch. Sampai di bandara, surprise karena ternyata bandara Christchurch hanya sebesar Adi Sucipto Yogya, bahkan terminal keberangkatan domestiknya sangat sederhana. Tidak seramai Yogya, Semarang dan Surabaya, mungkin juga Makassar. Maskapai yang dipakai Pasific Origin, yang saat ini masih bermasalah karena kehilangan pelanggan. Terpaksa membeli tiket airlines ini karena alasan waktu. Terminalnya terpisah seperti agak terdiskriminasi karena jalan menuju lounge cuma jalan aspal beratap seng, dengan dinding seng di satu sisi dan pagar kawat di sisi yang lain. Heran juga, NZ seperti negara berkembang di bidang ini.

Meskipun 'terisolir', lounge-nya ternyata lebih bagus dibandingkan bandara lokal di Indo. TV-nya kecil, tapi kamar mandinya bersih sekali, mungkin karena tidak ada penumpang. Pesawatnya kecil dan berkapasitas 29 orang, buatan British Aerospace. Ini kali kedua naik kapal kecil, dulu pernah 10 orang waktu dari Newark ke Ithaca. Saya duduk nomor 4a. Kursinya berjajar 2 dan 1. Pramugarinya satu dan bersikap ramah hanya sama orang kulit putih. Penumpang terakhir dapat kursi di belakang pilot, meski masih ada 1-2 kursi tersisa. Ternyata bisa juga minta duduk di belakang pilot. Kalau tahu begitu saya berani membayar lebih supaya dapat kesempatan duduk di belakang pilot. Peragaan keselamatan tidak ada, cuma diwakili dengan penjelasan lisan tentang letak jaket pelampung, masker oksigen dan pintu darurat. Selebihnya penumpang diminta baca langsung di brosur. Dalam perjalanan, penumpang disuguhi 75 ml air mineral dalam kemasan dan beberapa buah permen yang ditawarkan dalam keranjang rotan yang kebesaran...Minimalist...so what? Pantas dengan harganya.

Penerbangan not bad meski cuaca mendung dan banyak turbulances. Saat melewati pucuk South Island, serasa melewati pegunungan yang jadi lokasi the Lord of the Rings karena puncak-puncaknya bersalju dan sangat anggun. Belum lagi lika-liku daratannya yang sangat indah dipandang dari atas.

Sampai di Wellington, saya sempat disapa bapak tua yang istrinya orang Philippines. Saya dikira Philippino... Indonesia sangat kurang dikenal. Saya sudah bisa mengoleksi perkiraan orang tentang asal muasal saya: Mexico, Taiwan, Peru, Malaysia, Philippines (paling sering), Cambodia, Vietnam, Bangladesh, Nepal, Maori, Samoa, sampai yang paling aneh, Eskimo....begitu abstraknya raut wajah dan perawakan saya...dan kenapa tidak ada yang mengira saya dari negara maju? Italia...misalnya...

Begitu keluar terminal, saya mencari lokasi bus, tapi langsung disambut terpaan keras angin Wellington. Maklum, lokasi bandara terletak di tepi pantai. Welli sangat berangin dan tidak heran kalau ada ramp tempat berpegangan. Saya hampir terbawa terbang kalau tidak berpegangan ke tiang tanda bus stop. Kalau anginnya sekencang itu, bisa-bisa saya pelukan sama tiang terus seharian dan akan menarik lebih banyak senyuman dari orang-orang yang melihat.

Naik bis dari bandara ke downtown memakan waktu cukup singkat. Wellington kota kecil. Awalnya seperti kota Troy dan Queens area, NYC. Kota dengan sesak bangunan rumah dan agak lenggang karena berpenduduk sedikit dan agak semrawut. Lokasi hotel sendiri termasuk daerah merah, karena semua yang aneh-aneh, menurut brosur yang saya baca, ada di situ. Tapi di situ juga tempat teater dan cafe yang sangat beragam. Sampai di hotel check in, dapat kamar multi-share, berempat satu kamar. Maklum, it's YHA. Setelah bongkar muatan tas (satu ransel saja), saya berkeliling hotel, lihat-lihat lounge, library, dapur, cafe dan tempat baca-ngobrol-nonton dvd. Senang juga datang pas musim ini karena ternyata sepi dan saya dapat tempat yang enak. Receptionist-nya ramah, lobby-nya kecil, handuk harus sewa...

Setelah puas lihat-lihat isi hotel, saya langsung bersiap tour jalan kaki. Tujuan pertama: cari tempat makan siang. Menurut situs www.wguides.com, ada cafe namanya 'Satay Kampong', affordable for backpackers. Tapi ternyata sudah tutup dan tempat itu sudah disulap jadi tempat massage plus-plus khusus gadis asia...wow...Karena bingung, saya akhirnya makan di food court. Ada buffet dengan nama aneh "Eat Asian", punya orang Malaysia. Enak, kenyang dengan nyaris 9 dollar (ada tiga macam piring dengan harga berlainan, S-M-L seperti ukuran baju). Makan malam di sini lagi, kenyang.....

Perjalanan diteruskan Civic Square. Lumayan meski ternyata tidak seheboh yang diiklankan. Terus tersesat....berputar-putar di sekitar Willis and Lambton Streets. Bingung tidak keruan karena salah baca tanda di peta. Tertulis gambar bulat angka 21 yang saya kira gedung parlemen ternyata cuma hotel...seharusnya lihat gambar berlian merah nomor 21. Akhirnya bisa menemukan gedung parlemen setelah 45 menit 'tersesat'. Tapi ada baiknya, karena pada hari-hari berikutnya, saya bisa bepergian tanpa peta, sudah hafal di kepala. Di gedung parlemen, saya ikut tour. Luar biasa ramah receptionist, tour guides dan satpam yang sedang bertugas. Tidak ada prosedur pemeriksaan dengan detektor dan pintu 'bip-bip' (istilah keponakan saya). Ini menandakan mereka hormat dan percaya kepada tamu. Andaikan Indo dan Jakarta punya guide yang ramah mungkin banyak turis yang betah.

Gedung Parlemen-nya bagus. Salah satu ciri khasnya adalah renovasi dengan unsur tahan gempa sejak gempa di tahun 1995 yang menyebabkan kebakaran di ruang perpustakaannya. Canggih. Seharusnya istana negara diberi penahan gempa juga karena termasuk bangunan bersejarah. Selain itu ada batu yang berhias semua tanda yang menunjukkan asal orang-orang yang sekarang membentuk negara NZ. Ternyata ada bendera Indonesia juga, malah paling depan.

Selain itu, pengunjung kalangan umum bisa hadir dan mendengarkan debat di dalam parlemen. Ini asyik karena bisa melihat bahwa tidak ada satupun anggota parlemen mereka yang absen, mengantuk dan dibayar mahal seperti anggota DPR dan MPR RI yang terhormat. Yang jadi hot news sekarang dalam perdebatan adalah pengesahan Civil Union, semacam catatan sipil yang berlaku untuk siapa saja yang tidak ingin menikah secara agama tapi ingin hidup bersama dan membangun keluarga. Ini termasuk pasangan sesama jenis. Helen Clark selaku PM sangat mendukung karena dia sendiri tidak ingin menikah. RUU tersebut akhirnya lolos tahap satu (reading phase) dan jika lolos pada babak-babak pembahasan berikutnya, RUU itu akan menjadikan NZ bergabung dengan negara-negara liberal lainnya seperti Denmark, Sweden, Finland, Norway, Canada, South Africa, Brazil, Massachussets-Vermont-California (US) dan Tasmania (Australia).

Setelah selesai ikut parliament tour...saya melanjutkan jalan santai melihat shopping blocks yang dikatakan di banyak websites sebagai yang paling keren dan mewah. Ternyata biasa-biasa saza....Terus ke Cuba Mall yang dibilang sangat eksentrik dan banyak yang aneh-aneh...ternyata kecil dan biasa saza...nggak ada yang namanya toko baju yang aneh-aneh yang digembar-gemborkan banyak websites. Yang ada memang jualan baju unik, tapi tidak seheboh ceritanya. Semuanya seperti sudah dimodernisasi dan banyaknya cuma cafe-cafe biasa. Toko dewasa? Cuma dua. Tatoo? Dikit. Golongan pemuja setan...nggak ada. Semua normal dan saya berpikir mungkin ini yang dikatakan keberhasilan tourism marketing-nya NZ. Menarik orang datang dengan brosur dan kata-kata yang dramastis dan sangat menarik minat. Setelah datang, seperti saya, agak kecele...karena biasa-biasa saja. Andaikan Jakarta bisa berpromosi seperti ini, mungkin banyak yang datang juga dan mungkin bahkan tidak akan kecele...karena apa-apa di Jakarta masih dibilang terjangkau, bahkan turis asing bisa berfoya-foya.

Downtown Welli cukup sempit. Jalan sebentar sudah bisa kemana-mana. Makan malam di tempat yang sama, sekarang dengan piring medium, tapi ternyata kekenyangan sampai susah jalan. Besok-besok tidak makan banyak lagi. Sempat lihat memorial tower untuk pahlawan NZ dan gedung pusat pelestarian burung yang dindingnya digambari hutan tropis dan berbagai satwa. Dalam perjalanan pulang sempat lewat Victoria University dan ya ampun...banyak burung...suaranya sangat berisik. Mereka sepertinya bersarang di atap2 gedung di sekitar Uni dan saling berebut 'gossip' menjelang matahari terbenam.

Malam ini tidak ada kegiatan lagi. Besok mau ke Botanic Garden dan lapor diri ke kedubes. Kalau sempat, sore harinya bakalan ke Zoo...mau lihat panda merah dari Nepal.

posted by Leo at 06:03

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004