<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, August 29, 2004

Nikmatnya Menonton Satu (Stasiun) TV

Waktu pindah ke rumah baru menjelang akhir tahun 70-an, hanya beberapa keluarga saja di sekitar komplek rumah yang sudah memiliki tv, termasuk keluarga saya. TV Sharp hitam putih ukuran 21 inch cukup memberi hiburan, meskipun listrik sering padam. TVRI adalah satu-satunya primadona.

TV juga membawa kedekatan dengan tetangga, dan membawa banyak teman baru. Sore hari sampai jam 7 malam adalah waktu kami, anak-anak, untuk menonton. Nama-nama seperti Didu, Nunu, Chicha, Adi, Ira Maya, Kak Tedi, Ibu Meinar, Pranajaya dan lainnya sudah tidak asing lagi. Setelah menonton tv, saya dan kakak harus berlajar. Tetangga pun sering ikut menonton. Pintu sengaja dibuka karena yang menonton bisa sampai ke teras dan cukup berdesakan jika ada acara favorit seperti Kameria Ria, film the Six Million Dollar Man, Manix, atau film-film yang menampilkan Benyamin S, Ateng-Iskak dan Ratmi B-29, atau acara musik lainnya yang menampilkan Koes Ploes dan Bimbo. Peraturan menonton bersama: tidak boleh ngobrol, kalau ngantuk sebaiknya pulang, pakai wc di rumah masing-masing, minum disediakan (kadang-kadang dengan singkong dan pisang goreng).

Satu tv itu kemudian tersambar halilintar saat hujan deras. Terpaksa ganti tv baru. Kali ini berukuran lebih kecil dan dilengkapi dengan layar plastik biru untuk memberi kesan berwarna. Jenis 'screen' sebenarnya lebih dari satu. Yang saya tahu, tetangga yang baru membeli tv memiliki 'screen' yang memiliki tiga warna secara horizontal: merah, biru dan kuning. Beberapa bulan kemudian, semakin banyak keluarga yang memiliki tv. Pusat 'menonton' akhirnya terbagi. Kami di rumah-pun turut senang karena bisa lebih tenang menonton.

Acara tv-pun menjadi lebih beragam saat tahun 80-an. Saat itu mulai banyak film-film seri Amerika diputar. Film anak-anak juga banyak sekali, tapi yang menjadi fenomena adalah Tom and Jerry dan si Unyil. Aneka Ria Anak-anak dan Belajar Menggambar Bersama Pak Tino Sidin juga banyak digemari (hasil gambaran saya pernah diperlihatkan..."Bagus!" puji Pak Tino). Acara musik pun masih didominasi oleh Aneka Ria Safari dan Kamera Ria. Belum lagi Album Minggu dan Selekta Pop yang muncul belakangan. Iklan pun pernah muncul pada awal tahun 80-an, dalam slot waktu yang tetap antara jam 6.30 sampai 7 malam. Siaran olah raga masih didominasi oleh pekan olah raga baik nasional maupun internasional, sepak bola antar klub yang kemudian kalah bersaing dengan sepak bola perserikatan yang didominasi persaingan ketat antara Persib-PSMS-Persebaya, dan tentu saja bulutangkis. Anton Moeliono, JS Badudu dan Anton Hilman juga banyak diingat dengan pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Saya juga masih ingat TVRI sering memiliki program drama yang bagus-bagus. Sanggar Prativi dengan Neno Warisman, Ferry Fadly dan Maria Oentoe sangat sering muncul. Begitu pula teater koma sering muncul dengan tema-tema, yang menurut saya saat itu, 'antik'. Belum lagi sinetron dengan tema anak-anak kos yang sangat populer, terutama saat Nani Sugianto menyanyikan "You Are" milik Dolly Parton. Belum terlupa juga dengan akting yang bagus dari Reni Wijaya (saat itu belum dikenal sebagai Reni Jayusman) dalam kisah Calon Arang. Tak lupa juga "Losmen" dan "Jendela Rumah Kita" yang memberi nafas baru dalam dunia sinetron saat itu. Satu lagi yang diingatkan Wisa: Mutiara Sani dengan peran-peran antagonis yang sering membuat ibu-ibu gemas.

TVRI-pun memiliki anak yang banyak, terutama di setiap propinsi. Untuk orang Bandung seperti saya, TVRI programa 2 Jakarta dan TVRI Bandung menjadi alternatif, meskipun kami di rumah lebih memilih TVRI. Munculnya tv propinsi juga menambah porsi siaran berita sehingga ada lima macam berita: Berita Daerah, Berita Nusantara, Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, dan Berita Malam. Acara tv-pun kemudian merambah ke sinetron asing. Adalah kisah tragis "Isaura" dari Brazil yang mengawali euphoria penonton terhadap telenovela.

Tahun 1989 muncul stasiun tv swasta pertama yang diikuti oleh tv swasta lainnya. Pilihan penonton-pun bertambah. Remote atau jika tv tidak memiliki remote: telunjuk atau tongkat (seperti di rumah kos saat kuliah) menjadi alat 'kekuasaan'. Dalam satu keluarga, setiap orang punya 'menu' acara sendiri-sendiri. Berbagai stasiun tv dengan acara-acara-nya yang menarik membuat anggota keluarga saling bersaing; perhatian yang semula sepakat menjadi terpecah belah. Tidak heran lagi jika membaca koran, ada penonton yang mencoba bunuh diri karena siaran favoritnya diganti oleh anggota keluarga lain. Itu satu contoh ekstrim.

Bagi saya, banyaknya stasiun tv bisa mengurangi kebosanan...Tapi tidak demikian kenyataannya. Jika satu tv berhasil membuat acara favorit nasional, yang lain ikut membuat hal serupa dan celakanya menyiarkan acara-acara tersebut pada saat yang bersamaan. Ini bukan lagi memecah belah keluarga, tapi sudah memecah belah pilihan individu. Yang menjadi ketidakberuntungan saya sebagai penonton adalah hampir semua stasiun tv memiliki acara seragam dalam satu slot waktu. Sudah membeo, acara-acara tersebut masih sering jauh dari menarik.

Alokasi acara unggulan pun tidak seimbang. Ada satu hari dalam seminggu, semua stasiun tv menyiarkan semua acara unggulannya. Pada satu hari lain, semua acara tv begitu membosankan. Sebuah survey di US membuktikan bahwa orang cenderung meluangkan waktu untuk menonton tv pada hari-hari tertentu. Oleh karena itu, slot Thursday night menjadi unggulan dalam seminggu, sebaliknya dengan Sabtu dan Senin malam (Sabtu malam banyak yang dugem, Senin malam banyak yang kelelahan dalam memerangi "I don't like Monday" syndrome). Acara hari minggu lebih banyak diisi acara keluarga. Di NZ, serupa juga. Tuesday night adalah malam 'terpadat' dengan acara-acara unggulan. Mungkin asumsinya, orang sudah lelah bekerja di awal minggu, dan lebih baik sit back and relax on Tuesday night supaya Rabu s/d Jumat tetap punya semangat bekerja. Meski demikian, padatnya acara unggulan membuat pusing.

Seringkali terpikir, lebih enak punya satu stasiun tv. Mungkin dulu karena tidak ada pilihan, acara satu-satunya menjadi tampak paling bagus. Sekarang, penonton bisa membandingkan dan memilih, tapi sekaligus juga bingung. Penonton seperti saya boleh dikata cukup tamak karena banyak keinginan begitu ditawari berbagai pilihan. Hasilnya, saya saya sering pindah-pindah channels. Mau apalagi? Kalau masih boleh memilih, saya lebih suka penawaran dunia modern yang memungkinkan saya membuat menu acara sendiri. Mungkin karena saya banyak berkhayal sekaligus begitu cinta dengan televisi, saya memimpikan ada satu paket penawaran tv kabel yang bukan berisi gabungan stasiun tv, melainkan gabungan acara-acara unggulan (boleh-lah dengan beberapa selipan acara 'biasa'). Ini akan menjadi paket Pay per View yang benar-benar optimal...Mungkinkah?

posted by Leo at 12:20

Tuesday, August 24, 2004

Dari Adi Bing Slamet Sampai Tom Cruise

Waktu kecil saya pernah punya potongan rambut model Adi Bing Slamet. Saya sangat bangga karena potongan rambut saya sangat mirip. Gaya rambut itu bertahan sampai saya masuk SD kelas satu, setelah iklan 'brisk' muncul di tv. Rasanya akan bertambah ganteng dengan rambut berminyak tersisir rapi ke samping. Rambut saya pun kemudian diberi 'brisk' dan disisir dari kanan ke samping kiri, sesuai dengan belahan alami di kepala saya. Rasa bangga saya bertambah karena menurut Ibu dan Nenek, belahan rambut di sebelah kanan tepat berpangkal dari pusaran rambut seperti di kepala saya menandakan saya akan mendapatkan istri yang cantik...

Meskipun dulu Ibu pernah membuka salon di paviliun samping rumah, tapi rambut saya belum pernah merasakan keterampilan tangan Ibu. Kebetulan juga, Ibu membatasi hanya memotong rambut perempuan, entah kenapa. Ibu selalu membawa saya ke tukang cukur langganan Bapak saya. Untuk mencapainya harus naik becak selama 15 menit. Saat masih kecil, saya masih di antar; tapi sejak kelas 4 SD saya bisa pergi sendiri. Saya memilih berjalan kaki karena ongkos becak yang diberi Ibu bisa saya pakai untuk jajan. Selain itu saya sering mampir ke tempat saudara sekedar untuk mendapatkan 'ciu' (makanan dari tepung beras, gula merah dan pisang) dan teh manis.

Kios cukur berukuran kecil dan terletak tidak jauh dari sekolah saya. Kios itu berjajar dengan toko kelontong: makanan, minuman dan kebutuhan rumah tangga. Di belakangnya ada kali dan toko yang menjual bahan bangunan. Di seberang jalan banyak penyedia jasa potong rambut DPR (di bawah pohon rindang). Di kios itu ada dua tukang cukur. Saya memilih langganan Bapak saya dulu, yang menurut saya selalu baik dan sabar meski saya sering terkantuk-kantuk. Saya masih ingat, rambut saya dipotong dengan alat yang berbentuk seperti ketam. Saya biasanya diberi bedak di sekililing rambut. Bedaknya sudah lupa namanya, tapi memiliki tempat yang bundar, berwarna kuning muda dengan gambar dua wanita, dan memiliki pad putih yang bertangkai bundar. Pisau cukur juga dipakai untuk mencukur sisa rambut di tengkuk dan seputar telinga. Pisau cukur biasanya diasah dulu dan saya diberi busa sabun di bagian rambut yang akan dirapikan. Saya sering tutup mata dan berharap rambut saya segera selesai dibersihkan dengan pisau itu, kret..kret..kret...

Saya tetap bertahan dengan model rambut 'brisk' sampai SMA...Perbedaanya, saya tidak pernah memakai produk brisk lagi setelah kelas 5 SD. Penyebabnya, rambut saya berubah menjadi kaku. Selain itu, saya sering hujan-hujanan kalau pulang sekolah, dan ketombe akan cepat muncul kalau memakai minyak rambut.

Suatu ketika, kios cukur langganan terbakar bersama-sama dengan kios-kios lainnya dan akhirnya Bapak pencukur rambut langganan pun pindah entah kemana. Kejadian ini membuat saya harus mencari tempat cukur rambut baru dan tentunya pemotong rambut baru. Sulit sekali mencari yang cocok. Saat itu saya mulai cerewet dengan hasil potongan rambut. Tidak ada yang sebaik Bapak pencukur rambut langganan dulu. Saya merasa potongan rambut yang baik akan menambah rasa percaya diri.

Salon kemudian menjadi pilihan. Pada kesempatan pertama, saya pergi dengan bersemangat tapi kemudian bingung. Saat itu deretan salon-salon mulai bermunculan bak jamur di musim hujan. Saya bingung memilih yang mana. Saya tidak bisa meminta bantuan Ibu karena usaha beliau sudah ditutup menjelang saya masuk SMP. Akhirnya saya pilih salon yang dimiliki kenalan Ibu. Untuk kesempatan berikutnya, saya hanya kadang-kadang saja pergi ke salon karena uang jajan biasanya tidak banyak tersisa untuk bisa potong rambut di salon.

Tapi pergi ke salon kemudian jadi kebutuhan. Menabung uang jajan jadi 'harus'. Frekuensi potong rambut tetap sekali dalam tiga puluh hari. Saya juga merubah model rambut. Awal kuliah, model rambut saya mirip potongan rambut Tommy Page yang sedang nge-trend. Pernah juga mencoba gaya rambut Rick Asley, tapi tidak berani di keriting, dan Andy Lau ....Tapi model itu tidak bertahan lama. Saya lebih menyukai model yang lebih ringkas dan selain itu potongan rambut ala Tommy Page membuat saya, seperti komentar teman-teman di kampus, seperti memakai 'helm' setiap hari. Itu karena tepat di daerah katulistiwa kepala saya terdapat bentuk yang menyerupai lonjongan bumi yang sebenarnya tidak bulat benar. Saya kemudian beralih ke model Top Gun. Ringkas meski sang stylist harus hati-hati karena jika memotong terlalu pendek, dalam beberapa hari kemudian, akan tumbuh rambut-rambut landak yang mencuat tajam di sebelah puncak kiri kepala saya, berseberangan dengan belahan dan pusaran rambut di kanan. Model ini tetap dipilih sampai sekarang, dengan variasi panjang potongan, kadang-kadang lebih panjang atau lebih cepak dibandingkan rambut Tom Cruise dalam Top Gun.

Setelah mencoba berbagai stylists, saya merasa kecocokan model rambut sangat ditentukan oleh tangan stylist dan kepala saya. Stylist dengan mata yang tajam dan perabaan rambut yang tepat biasanya tanggap dengan bentuk kepala dan struktur rambut.... Try and error, dan saya sangat pemilih. Sayang, tidak banyak stylist yang seperti itu. Saya lebih sering menjumpai stylist yang cocok bukan di salon yang bergengsi. Mereka terkadang ada di salon-salon laris-manis di sekitar rumah atau di sepanjang jalur perjalanan antara rumah dan tempat kerja atau kuliah. Dari sekian banyak stylist yang cocok, baru dua stylist wanita yang bisa pas menggunting rambut saya. Yang sekarang menjadi langganan, baru saya temukan setelah 5 bulan pencarian. Tentu saja, saya tetap menghitung ongkosnya...Money does matter.

Terkadang saya berpikir, tidak terlalu signifikan untuk memikirkan model rambut. Tapi karena penampilan masih menjadi first impression factor, mau tak mau saya berusaha untuk tampil lebih baik. Untuk saya, potongan rambut yang bagus menambah rasa percaya diri, untuk orang lain hal itu memberi pemandangan yang mudah-mudahan tidak terlalu mengganggu...Dari poni dan kehalusan rambut ala Adi Bing Slamet, gaya konvensional brisk, gaya pop Tommy Page dan Rick Ashley, gaya mandarin Andy Lau, sampai rambut ringkas ala Tom Cruise....

posted by Leo at 10:59

Monday, August 16, 2004

Bosan Olimpiade Turun Salju

Judul seperti ini hanya bisa ditulis orang yang sedang bosan. Ada artinya tapi menyesatkan. Lantas apa yang dilakukan bila sedang bosan, selain menulis judul seperti itu? Nonton tv, nonton film, fitness, belanja atau sekedar window shopping. Tapi setelah berkali-kali bosan dan pergi ke mall, ternyata saya bisa mengamati bahwa orang lain pun berbuat serupa. Orang lain pun merasa bosan dan mencari jalan untuk menghilangkan rasa bosan.

Saya paling tidak bosan kalau melihat sitcom di tv. Favorit saya Will and Grace, Less than Perfect, Everybody Loves Raymond karena setelah Friends tidak ada lagi yang begitu lucu. Suka juga melihat fenomena pertelivisian yang didominasi serial criminal. Tak kalah menariknya dengan iklan-iklan yang ada, cerdas.

Sekarang, nonton olimpiade menjadi favorit. Apalagi coverage-nya cukup berimbang antar berbagai cabang olah raga. Pembukaan olimpiade boleh dikata fantastis. Tidak sia-sia Yunani harus menerima caci-maki saat persiapannya karena hasilnya bagus sekali. Dari komentator tv, terdapat kesan bahwa Indonesia sangat terkenal dengan pasangan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Mereka disebut-sebut sebagai lambang cinta olimpiade: "they won the first gold medals for the country and they married each other for celebration...". Saya merasa bangga juga...kapan lagi ada peraih emas olimpiade sehebat mereka. Melihat acara pembukaan juga membawa impian, apakah bisa menonton langsung olimpiade 2012? Ada rejeki?

Melihat parade negara-negara juga memberi pengetahuan baru bahwa warna merah, hijau dan hitam merupakan warna-warna favorit negara-negara Afrika untuk dijadikan bendera. Pertanyaan dari orang yang bosan jika melihat fakta itu: Dengan memilih warna merah dan hijau dalam satu kombinasi, apakah berarti sangat sedikit sekali orang Afrika yang buta warna? Orang yang buta warna terkadang tidak bisa membedakan antara merah dan hijau, dan mereka hanya melihat kedua warna sebagai coklat. Warna urutan kedua sebagai favorit bangsa-bangsa Afrika adalah kuning dan putih, setelah itu biru dan coklat. Dari sekian banyak negara, tetap saja merah dan putih merupakan warna yang paling banyak dipilih sebagai warna bendera. Boleh berbangga? Tentu saja karena berarti bangsa kita tidak salah pilih. Para pendiri memilih warna-warna yang universal.

Lain halnya dengan lagu kebangsaan. Tidak tahu apa karena dekat dengan 17 Agustus, saya merasa Indonesia Raya lebih gagah dibandingkan lagu kebangsaan negara-negara lain. Meskipun terdengar megah, jika mendengar lagu kebangsaan Amerika, The Star-Spangled Banner, di tengah-tengahnya saya bisa memotongnya dengan lagu Natal...Nowell...nowell...(The First Noel). Lain halnya dengan lagu kebangsaan Australia, Advance Australia Fair, awal lagunya mirip dengan Aud Lang Syne...lagu perpisahaan...Indonesia Raya lebih gagah dan bersemangat, dengan kesan perjuangan yang menggebu-gebu...Merdeka...Merdeka

Di luar hujan…saya tetap menulis literature review...alunan suara Michael Buble menghilangkan bosan dan kadang-kadang saya ikut menyanyi...that's all...that's all...tiba-tiba saya lihat ada butiran-butiran putih turun dengan derasnya bersamaan dengan hujan...It's snowing...lagi-lagi surprise...mengobati kebosanan...Salju turun disaat alam sedang berubah ke musim semi. Beberapa pohon sudah berbunga penuh satu pohon, tanpa sehelai daunpun. Bunga-bunga Daffodil yang biasanya muncul di musim semi sudah tampak semarak kemarin, tapi hari ini kembali merunduk terbebani salju...But as always, the first snow brings new excitement...orang-orang keluar ambil foto...bermain bola salju dan membuat boneka salju. Sayang...saya tidak punya digital camera dan film saya habis. Meski demikian, saya sudah puas melihat tumpukan salju dimana-mana. Salju di sini tidak sehebat di Ithaca dulu.

Apa yang saya lakukan untuk membunuh kebosanan? Keluar...jalan di tengah hujan salju...menapaki hamparan salju dan membuat banyak jejak kaki berkeliling-keliling di hamparan yang belum seorang-pun jalan di atasnya. Lagipula, untuk apa terus di dalam kamar, mendengarkan dua orang tetangga yang sedang sibuk mendesign anak...mungkin juga karena bosan...

posted by Leo at 06:23

Tuesday, August 10, 2004

International Night: Inul Menari Perut dengan Semangat Patriotik

Saat musim dingin ternyata asyik juga melihat International Night. Pertunjukkannya cukup beragam. Acara dibuka dengan tarian suku Maori Ngati Whatua O Orakei, luar biasa cara mereka menyanyi, seperti saudara-saudara kita dari Maluku. Kemudian dilanjutkan dengan nyanyian Sukiyaki dan beberapa lagu berbahasa Jepang. Ada juga tarian dari Solomon Island yang mirip dengan tarian dari Irian Jaya. Yang menarik adalah alat musiknya yang terbuat dari bamboo dan dipukul dengan sandal jepit.

Kemudian ada tarian salsa dan merengue yang …wow….dinamis. Para penari salsa dan merengue yang saya tonton cukup ‘berbeda’ dari penari salsa yang pernah saya lihat di layar tv di Jakarta. Penari pria-nya tampak tetap lincah bergoyang pinggul dengan mimik wajah sesuai dengan irama musik dan terfokus dengan mimik wajah pasangannya. Badan tetap tegap, pinggul bergoyang dan asyik berirama kaki, serasi tanpa kehilangan kesan macho. Melihat para penari dari Amerika Selatan itu membuat saya ingin belajar salsa dan merengue. Lain halnya dengan para penari salsa yang saya lihat di layar tv. Penari pria-nya terkesan over-friendly, dengan senyuman lebar (formalitas) dan gerakan halus yang tidak jauh dari pasangannya. Saya bukan ahli membedakan tarian, tapi peran penari pria di merengue lebih sedikit karena hanya menjadi penyeimbang, sedangkan sebagian besar tarian didominasi penari wanita yang menggetarkan badan mulai dari bagian kepala, bahu, dada, pinggung sampai kaki. Gaya ngebor Inul pun muncul dalam merengue….Tarian salsa lebih seimbang, meski lebih rumit dari keselarasan kaki.

Di antara tarian Amerika Selatan, saya lebih tertarik dengan tango. Menurut saya, tango merupakan tarian yang begitu personal. Lain dengan salsa dan merengue yang para penarinya berpasangan dan hanya sesekali merapatkan badan, tango hampir setiap saat mensyaratkan badan kedua penari tetap rapat selama menari. Musiknya syahdu campuran Italia dan Spanyol, karakter mediterania. Gerakan kakinya seiring dengan musik dan tatapan mata, dan badan tetap merapat. Sepasang penari yang menari seolah hanya untuk berdua…

Setelah pertunjukan cara memakai kimono, rentetan tarian India dan peragaan busana India, tiba-tiba ada kejutan dengan munculnya penari perut….dengan iringan musik Lebanon. Bukan orang mediterania, tapi orang Cina yang menari perut. Hanya dalam satu bulan, ternyata orang Cina-pun bisa menari perut dengan mahir. Sayangnya saya kurang menikmati tarian itu karena kesan penari perut yang seksi hilang begitu sang penari mengangkat tangan…bukan…bukan…tidak ada hutan yang tersisa…tapi kegempalan tubuh si penari memberi kesan seorang binaragawati sedang mempertontonkan ototnya….

Bila saya suka mendengar suara Sarah McLachlan yang terdengar syahdu dan mistis, saya juga suka mendengar suara penyanyi yang belum dikenal dari Inggris. Suaranya tidak setebal Sarah tapi dengan kerenyahan yang sama…Tiga folk songs dari Inggris dinyanyikan, satu dengan pasangan pria-nya, dan semuanya membuat penonton sekejap diam dan seolah tenggelam dalam lagu-lagu bertemakan ibu-anak, wanita dan pedesaan. Suasana kemudian berubah ketika ada kontes di antara penonton untuk menirukan gerakan haka, welcoming dance dari suku Maori. Cukup sensasional karena pemenangnya orang Jepang…

Menurut panitia, acara penutup merupakan acara kehormatan, tapi ternyata paling mengejutkan dari semua penampil. Adalah dua presenter layaknya para presenter Asia Bagus…mencoba bergaya dan berkomentar unik…mengantarkan operet singkat tentang kehidupan muda-mudi di tanah Melayu, the truly asia—Malaysia. Ada warung dan peragaan busana (Melayu, Cina, dan India). Warung dan peragaan busana? Setelah itu para aktor yang berjumlah 15 orang mulai menyanyi bersama dengan suara terkeras dari presenter wanita…lagu yang dibawakan bertema pujian terhadap kebesaran bangsa Malaysia. Bagi yang tidak berbahasa Melayu mungkin tidak menjadi sesuatu yang ‘mengganggu’, tapi bagi saya lirik lagu tersebut terdengar sangat sangat patriotic…apalagi dengan paduan suara yang sangat tegas dan keras dengan seorang penari latar yang hilir mudik mengusung dan melambai-lambaikan bendera Malaysia…patriotik sekali…Chauvinist? Mungkin tidak karena para penari GSP juga sering membawa-bawa merah putih ke panggung meskipun mereka berpakaian cekak….Berlebihan? Mungkin karena seharusnya acara puncak sesuatu yang lebih bagus dari itu…atau mungkin panitia menganggap acara patriotik seperti itu sesuatu yang mengejutkan sehingga ditaruh paling akhir…surprise…surprise…Merdeka!!! Dirgayahu RI ke-59.

posted by Leo at 06:22

Saturday, August 07, 2004

Film Festival

Dua minggu tanpa terasa berlalu. Keinginan untuk menulis lagi untuk blog baru terlaksana sekarang. Semula ingin memberikan ulasan tentang film-film yang ikut dipertontonkan pada International Film Festival; tapi karena tidak ada waktu untuk menonton akhirnya saya cuma mengumpulkan resensinya saja (akan diupload kemudian).

Kekecewaan terbayar. Ada film festival tandingan, dekat lagipula gratis. Film-film-nya cukup beragam, meski tidak semuanya baru. Beberapa film yang berhasil saya tonton, karena kecocokan waktu, di antaranya City of God, My Life as a Dog, Rabbit Proof Fence dan Bad Boy Bubby. Secara kebetulan semuanya terkait dengan anak-anak dan proses perkembangan mereka menjadi dewasa. Keempat film tersebut memberikan dimensi yang berbeda bagaimana anak-anak menyikapi lingkungan dan mengolahnya sebagai masukan untuk pilihan tingkah laku dan kepribadian mereka.

Film City of God (2003) menggambarkan bagaimana anak-anak seolah tumbuh tercerai berai dari masyarakat yang sudah lepas kendali. Film yang didasarkan atas kisah nyata ini memberi gambaran bagaimana anak-anak belajar dari lingkungan yang brutal untuk menjadi lebih brutal. Kekerasan, kekuasaan dan kekayaan adalah cita-cita mereka. Dari sedikit yang beruntung adalah Rocket, seorang anak yang bisa memilah-milah berbagai kejadian dan kebiasaan buruk di sekitarnya menjadi pelajaran untuk tidak ikut arus dan tetap tumbuh ‘normal’. Dia menjadi satu mukjizat dari legenda hitam di satu kawasan kumuh di Rio de Janeiro, Brazil.

Dalam My Life as a Dog (1985), seorang anak laki-laki, Ingemar (diperankan dengan sangat natural oleh Anton Glanzelius), sedang tersudutkan oleh kehidupan yang sedang menanjak dewasa. Ancaman hilangnya kasih sayang ibu yang sangat dia cintai dan hilangnya kebersamaan dengan keluarga begitu nyata. Jika Ingemar mengibaratkan dirinya sebagai anjing, dia hanya ingin berteriak bila sedih dan tak perduli dengan semua kejadian di sekelilingnya. Namun dalam ‘kesendirian’-nya, Ingemar terpaksa belajar dan memahami kesedihan, kehilangan, kematian, dan hidup baru. Transformasi pendewasaan Ingemar digambarkan dengan alur cerita anak-anak yang polos dan penuh harap.

Lain halnya dengan Rabbit Proof Fence (2002) yang menggambarkan betapa kurang beruntungnya anak-anak dari kelompok minoritas yang dianggap berpenyakit hanya karena berbeda ras dan warna kulit; dan oleh karena itu mereka diambil dari keluarga mereka untuk dimasukkan dalam laboratorium pemutihan ras. Film ini didasarkan fakta sejarah Australia di awal abad ke-20, saat tiga anak suku Aborigin, Molly, Daisy dan Gracie Craig, berjuang untuk kembali ke keluarga mereka. Meskipun lemah dalam segala hal, tapi keyakinan dan daya hidup mereka lebih besar dari cita-cita muluk Pemerintah Australia saat itu. Kebijakan pemisahan anak-anak aborigin dari keluarganya untuk ‘diputihkan’ berlangsung dari awal abad ke-20 sampai tahun 1970.

Film terakhir, Bad Boy Bubby (1993), tidak saya tonton sampai tuntas karena begitu ‘mengganggu’-nya. Pesan yang paling jelas saya tangkap dari film ini adalah kegagalan seorang anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, termasuk dalam pemikiran dan tingkah laku. Dia hanya tumbuh untuk meniru ibunya, menuruti ibunya dan percaya bahwa dunia luar lebih buruk dari semua kata-kata dan perlakuan ibunya. Seorang anak yang ‘sukarela’ dimanipulasi kehidupannya selama 31 tahun, tanpa pernah bertanya mengapa sinar matahari yang melewati satu-satunya jendela di rumahnya bisa begitu terik suatu waktu dan hilang di lain waktu. Seorang anak yang begitu bebas dari manipulasi menjadi tak terkendali dengan euphoria keingintahuannya. Seorang anak yang menurut saya telah membunuh esensi pribadinya sendiri. Kesan absurd film ini saya rasakan sejak menit-menit pertama. Saya merasa ada konflik antara perasaan ingin menolak tema film ini tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata, dan perasaan bahwa saya pernah mendengar atau membaca berita dengan kejadian yang sama.

Empat film, empat tema, empat dimensi kehidupan dan perkembangan anak-anak yang berbeda.

posted by Leo at 06:27

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004