|
Sunday, August 29, 2004 |
|
Nikmatnya Menonton Satu (Stasiun) TV
Waktu pindah ke rumah baru menjelang akhir tahun 70-an, hanya beberapa keluarga saja di sekitar komplek rumah yang sudah memiliki tv, termasuk keluarga saya. TV Sharp hitam putih ukuran 21 inch cukup memberi hiburan, meskipun listrik sering padam. TVRI adalah satu-satunya primadona.
TV juga membawa kedekatan dengan tetangga, dan membawa banyak teman baru. Sore hari sampai jam 7 malam adalah waktu kami, anak-anak, untuk menonton. Nama-nama seperti Didu, Nunu, Chicha, Adi, Ira Maya, Kak Tedi, Ibu Meinar, Pranajaya dan lainnya sudah tidak asing lagi. Setelah menonton tv, saya dan kakak harus berlajar. Tetangga pun sering ikut menonton. Pintu sengaja dibuka karena yang menonton bisa sampai ke teras dan cukup berdesakan jika ada acara favorit seperti Kameria Ria, film the Six Million Dollar Man, Manix, atau film-film yang menampilkan Benyamin S, Ateng-Iskak dan Ratmi B-29, atau acara musik lainnya yang menampilkan Koes Ploes dan Bimbo. Peraturan menonton bersama: tidak boleh ngobrol, kalau ngantuk sebaiknya pulang, pakai wc di rumah masing-masing, minum disediakan (kadang-kadang dengan singkong dan pisang goreng).
Satu tv itu kemudian tersambar halilintar saat hujan deras. Terpaksa ganti tv baru. Kali ini berukuran lebih kecil dan dilengkapi dengan layar plastik biru untuk memberi kesan berwarna. Jenis 'screen' sebenarnya lebih dari satu. Yang saya tahu, tetangga yang baru membeli tv memiliki 'screen' yang memiliki tiga warna secara horizontal: merah, biru dan kuning. Beberapa bulan kemudian, semakin banyak keluarga yang memiliki tv. Pusat 'menonton' akhirnya terbagi. Kami di rumah-pun turut senang karena bisa lebih tenang menonton.
Acara tv-pun menjadi lebih beragam saat tahun 80-an. Saat itu mulai banyak film-film seri Amerika diputar. Film anak-anak juga banyak sekali, tapi yang menjadi fenomena adalah Tom and Jerry dan si Unyil. Aneka Ria Anak-anak dan Belajar Menggambar Bersama Pak Tino Sidin juga banyak digemari (hasil gambaran saya pernah diperlihatkan..."Bagus!" puji Pak Tino). Acara musik pun masih didominasi oleh Aneka Ria Safari dan Kamera Ria. Belum lagi Album Minggu dan Selekta Pop yang muncul belakangan. Iklan pun pernah muncul pada awal tahun 80-an, dalam slot waktu yang tetap antara jam 6.30 sampai 7 malam. Siaran olah raga masih didominasi oleh pekan olah raga baik nasional maupun internasional, sepak bola antar klub yang kemudian kalah bersaing dengan sepak bola perserikatan yang didominasi persaingan ketat antara Persib-PSMS-Persebaya, dan tentu saja bulutangkis. Anton Moeliono, JS Badudu dan Anton Hilman juga banyak diingat dengan pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Saya juga masih ingat TVRI sering memiliki program drama yang bagus-bagus. Sanggar Prativi dengan Neno Warisman, Ferry Fadly dan Maria Oentoe sangat sering muncul. Begitu pula teater koma sering muncul dengan tema-tema, yang menurut saya saat itu, 'antik'. Belum lagi sinetron dengan tema anak-anak kos yang sangat populer, terutama saat Nani Sugianto menyanyikan "You Are" milik Dolly Parton. Belum terlupa juga dengan akting yang bagus dari Reni Wijaya (saat itu belum dikenal sebagai Reni Jayusman) dalam kisah Calon Arang. Tak lupa juga "Losmen" dan "Jendela Rumah Kita" yang memberi nafas baru dalam dunia sinetron saat itu. Satu lagi yang diingatkan Wisa: Mutiara Sani dengan peran-peran antagonis yang sering membuat ibu-ibu gemas.
TVRI-pun memiliki anak yang banyak, terutama di setiap propinsi. Untuk orang Bandung seperti saya, TVRI programa 2 Jakarta dan TVRI Bandung menjadi alternatif, meskipun kami di rumah lebih memilih TVRI. Munculnya tv propinsi juga menambah porsi siaran berita sehingga ada lima macam berita: Berita Daerah, Berita Nusantara, Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, dan Berita Malam. Acara tv-pun kemudian merambah ke sinetron asing. Adalah kisah tragis "Isaura" dari Brazil yang mengawali euphoria penonton terhadap telenovela.
Tahun 1989 muncul stasiun tv swasta pertama yang diikuti oleh tv swasta lainnya. Pilihan penonton-pun bertambah. Remote atau jika tv tidak memiliki remote: telunjuk atau tongkat (seperti di rumah kos saat kuliah) menjadi alat 'kekuasaan'. Dalam satu keluarga, setiap orang punya 'menu' acara sendiri-sendiri. Berbagai stasiun tv dengan acara-acara-nya yang menarik membuat anggota keluarga saling bersaing; perhatian yang semula sepakat menjadi terpecah belah. Tidak heran lagi jika membaca koran, ada penonton yang mencoba bunuh diri karena siaran favoritnya diganti oleh anggota keluarga lain. Itu satu contoh ekstrim.
Bagi saya, banyaknya stasiun tv bisa mengurangi kebosanan...Tapi tidak demikian kenyataannya. Jika satu tv berhasil membuat acara favorit nasional, yang lain ikut membuat hal serupa dan celakanya menyiarkan acara-acara tersebut pada saat yang bersamaan. Ini bukan lagi memecah belah keluarga, tapi sudah memecah belah pilihan individu. Yang menjadi ketidakberuntungan saya sebagai penonton adalah hampir semua stasiun tv memiliki acara seragam dalam satu slot waktu. Sudah membeo, acara-acara tersebut masih sering jauh dari menarik.
Alokasi acara unggulan pun tidak seimbang. Ada satu hari dalam seminggu, semua stasiun tv menyiarkan semua acara unggulannya. Pada satu hari lain, semua acara tv begitu membosankan. Sebuah survey di US membuktikan bahwa orang cenderung meluangkan waktu untuk menonton tv pada hari-hari tertentu. Oleh karena itu, slot Thursday night menjadi unggulan dalam seminggu, sebaliknya dengan Sabtu dan Senin malam (Sabtu malam banyak yang dugem, Senin malam banyak yang kelelahan dalam memerangi "I don't like Monday" syndrome). Acara hari minggu lebih banyak diisi acara keluarga. Di NZ, serupa juga. Tuesday night adalah malam 'terpadat' dengan acara-acara unggulan. Mungkin asumsinya, orang sudah lelah bekerja di awal minggu, dan lebih baik sit back and relax on Tuesday night supaya Rabu s/d Jumat tetap punya semangat bekerja. Meski demikian, padatnya acara unggulan membuat pusing.
Seringkali terpikir, lebih enak punya satu stasiun tv. Mungkin dulu karena tidak ada pilihan, acara satu-satunya menjadi tampak paling bagus. Sekarang, penonton bisa membandingkan dan memilih, tapi sekaligus juga bingung. Penonton seperti saya boleh dikata cukup tamak karena banyak keinginan begitu ditawari berbagai pilihan. Hasilnya, saya saya sering pindah-pindah channels. Mau apalagi? Kalau masih boleh memilih, saya lebih suka penawaran dunia modern yang memungkinkan saya membuat menu acara sendiri. Mungkin karena saya banyak berkhayal sekaligus begitu cinta dengan televisi, saya memimpikan ada satu paket penawaran tv kabel yang bukan berisi gabungan stasiun tv, melainkan gabungan acara-acara unggulan (boleh-lah dengan beberapa selipan acara 'biasa'). Ini akan menjadi paket Pay per View yang benar-benar optimal...Mungkinkah?
posted by Leo at 12:20
|
|
|
|
|
|
Home