<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, September 30, 2007

Diminishing Happiness

Berkurangnya kebahagiaan merupakan fenomena yang saya alami dalam perkembangan hidup saya. Hal ini baru saya sadari saat teman baik bertanya-tanya mengapa dulu saat masih kecil, mendapat sepasang sepatu baru menjadi pengalaman yang luar biasa menyenangkan. Sekarang, barang baru yang diperoleh belum tentu memberikan kebahagiaan. Mungkin hanya sesaat, tapi setelah itu biasa-biasa saja.

Saya juga ingat saat menghadiahkan sepatu balet untuk keponakan nomor empat; dia tampak begitu gembira dan memakai terus sepatu itu sepanjang hari, sambil mengulurkan tangan ke atas dan ke samping, menjentikkan jari, berusaha menirukan gerakan-gerakan balet, meski dia tidak pernah ikut kursus balet. Sepatu itu baru dilepas saat dia mandi atau tidur. Setelah mandi dia terus memandangi sepatu itu, kemudian setelah berpakaian, mengambil lap dan mengusap sepatunya yang sebenarnya masih bebas dari debu dan memakainya lagi, lalu memandangi kakinya yang bersepatu. Malam itu, dia menaruh sepatunya di boks dan meletakkan boksnya di meja di samping tempat tidur. Sepanjang hari itu, tidak sedetikpun dia merengek atau menangis. Pengalaman seharian memperhatikan keponakan membuat saya yakin, ada sesuatu sudah hilang dalam hidup saya.

Dulu hidup saya boleh dikata pas-pasan, terkadang kurang. Bila Ibu bisa menyediakan menu ayam goreng atau daging empal dalam satu atau dua hari dalam seminggu, itu sudah menjadi semacam treat, istimewa. Meraih ranking satu di kelas belum tentu mendatangkan sepatu atau tas baru. Membeli sepatu baru atau tas baru, hanya mungkin bila sepatu atau tas yang ada sudah rusak. Membeli baju baru mungkin hanya tiga kali dalam setahun. Salah satunya seragam sekolah, satu lainnya saat lebaran, dan lainnya saat Ibu mendapat rejeki. Keadaan ini menjadikan saya selalu menanti dan akhirnya merasa luar biasa senang bila akhirnya mendapat barang baru atau hadiah. Tidak pernah ada hadiah yang saya sia-siakan. Saat yang bersamaan, saya juga merasa harus memelihara barang yang sudah diterima, dan rasa setia terhadap apa yang saya miliki pun tumbuh. Ini berkat ajaran Ibu yang meminta anak-anaknya untuk selalu menerima dan memelihara apa yang diberikan.

Ibu juga punya cara tersendiri dalam memberikan penghargaan untuk anak-anaknya. Beliau tidak memberi sesuatu yang sekaligus besar; cukup sesuatu yang kecil namun yang merupakan kesukaan anak-anaknya. Bila saya juara kelas, Ibu memasak sop sosis atau membuat bolu kesukaan saya. Atau Ibu menghibur saya yang gagal menjadi juara melukis atau menyanyi, dengan mengajak saya mampir ke warung bakso, atau membeli es puter dan dimakan sambil kami berjalan menuju rumah. Hal-hal kecil yang sudah membuat setiap pemberian begitu berharga.

Rasa bahagia mendapatkan barang baru, sekecil apapun masih saya rasakan sampai saat kuliah dan di tahun-tahun pertama saya bekerja. Namun rasa itu semakin berkurang saat hidup saya semakin mapan. Semakin banyak barang baru yang disposable. Bila mendapat hadiah, belum tentu saya merasa puas dan menyukainya. Bila berbelanja, pasti ada barang yang sebenarnya tidak terlalu saya butuhkan, dan akhirnya harus diberikan kepada orang lain atau bahkan dibuang setelah barang itu dipajang tanpa dipakai.

Dalam hidup yang semakin mapan, saya selalu merasa ada yang kurang dari sisi material. Semakin mudahnya mendapat informasi dan derasnya desakan informasi terutama yang konsumtif sudah membuat terlalu banyak keinginan yang mengisi pikiran saya. Alhasil bila satu keinginan sudah terwujud, selalu muncul keinginan baru yang sering menurunkan derajat kebahagiaan dari pencapaian sebelumnya. Hal ini mungkin lumrah dalam konteks mengusahakan kemajuan hidup, namun bila tidak ada penyeimbang, bisa berakibat buruk karena hidup seolah dibatasi hal-hal materialistis. Kebahagiaan bisa dibeli, tapi tidak tahan lama dan disposable.

Saya pikir, ada dua hal yang bisa menjadi penyeimbang, dan sekaligus dapat mencegah kebahagiaan saya terus-menerus digerogoti. Semuanya sebenarnya sudah diajarkan Ibu saat saya kecil: menerima dan selalu bersyukur dengan apa yang diterima, serta bersedekah untuk orang lain. Sedekah tidak saja dilakukan saat saya sudah mampu menjadi tangan yang di atas, namun juga saat masih hidup pas-pasan. Saya teringat Ibu yang dulu berusaha sebisanya untuk membantu tetangga, kerabat atau kenalan yang lebih kurang beruntung dibandingkan kami. Bantuan yang sedikit ternyata bisa sangat berharga untuk orang lain yang membutuhkan.

Bersedekah sudah memberikan kebahagiaan yang sangat mungkin untuk bisa mengisi berkurangnya kebahagiaan dari sisi material dalam kehidupan. Setiap ucapan terima kasih, anggukan kepala atau respon apapun yang diterima dari bersedekah selalu membuat ada bagian dari sel-sel hati saya yang tumbuh baru, seperti mendapat siraman air segar dan sinar matahari yang hangat.

Di bulan Ramadhan ini, saya kembali diingatkan untuk mengeluarkan zakat dan terus rajin bersedekah. Dan saya setuju dengan berbagai spanduk di jalan yang bertuliskan: "zakat itu membahagiakan" karena memang zakat dan sedekah bisa membersihkan kebahagiaan yang saya peroleh: kebahagiaan yang dulu tampak semakin lusuh dan pudar untuk bisa kembali tumbuh menjadi kebahagiaan yang utuh.

posted by Leo at 11:56

Monday, September 03, 2007

Enam (puluh) Jam di Pondok Indah

Judul di atas (dipaksakan) untuk memberi kesan sebuah perjuangan melawan musuh. Sejatinya memang demikian (wah…sudah tertular untuk memakai kata ‘sejatinya’). Enam puluh jam lamanya saya harus berjuang melawan kutu perut (terjemahan yang tidak enak di dengar untuk stomach bugs).

Awalnya hanya dari sepiring rujak yang disodorkan sebagai dessert saat makan siang bersama. Buah berwarna-warni dan rasa pedas-manis begitu menggoda, dan lekas dinikmati habis sambil mengobrol. Sore harinya saya masih menemani teman untuk mencoba gym langganan saya. Lalu berlanjut makan soto gading. Tentu saya tidak lupa untuk memberi perasan jeruk dan sedikit sambal pada soto panas yang nikmat itu. Tawaran es hanya saya tanggapi dengan memesan teh tawar panas. Malam harinya saya berkeringat deras, tapi masih menganggap hal itu biasa karena di rumah hanya ada ac alami. Malam itu saya tidur nyenyak sekali.

Rabu pagi hari, jam 4.30 saya bangun seperti biasa. Namun badan terasa tidak biasa. Badan tidak bertenaga, dan terasa ringan sekali. Rencana berenang hari itu batal. Saya merebahkan diri lagi beberapa menit, sebelum mandi pagi, shalat, sarapan dan bersiap ke kantor. Sampai di kantor, badan terasa semakin ringan. Tidak seperti biasanya, pagi itu saya tidak meraih tombol untuk menyalakan komputer, melainkan lemari penyimpanan barang dan menarik keluar kasur lipat yang memang disediakan bila ada yang sakit di kantor. Saya pun langsung jatuh tertidur selama sekitar satu jam. Saya terbangun saat teman-teman mulai datang. Karena masih merasa tidak bertenaga, saya memutuskan pulang.

Sore harinya saya ke dokter, tes darah dan mendapat obat. Verdict: gejala thypus ringan. Obat yang diberikan masih belum membantu. Perut saya terasa semakin penuh, meskipun nafsu makan hilang. Namun saya masih bersyukur karena saya masih bisa tidur dengan nyenyak.

Kamis pagi, kutu-kutu di dalam perut saya memberi serangan mendadak dan mereka menyerang dengan menggunakan papan luncur air, atau seperti itu terdengarnya. Tidak lama kemudian, serangannya mulai berdampak hebat. Sehari itu, saya tidak berhenti B.A.B, tidak nafsu makan dan merasakan perut saya melilit seperti sedang diperas habis. Saya masih mencoba melawan dengan makanan, minuman dan obat yang dianjurkan dokter. Namun setelah seharian berjuang, akhirnya saya pun “menyerah” di pos gawat darurat rumah sakit PI. Jam menunjukkan 21.45 malam, dan rasanya saya harus menghabiskan akhir pekan lebih panjang di sana.

Tiga hari kemudian, saya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Kalaupun pergi, biasanya untuk menunaikan “kewajiban” B.A.B yang alhamdulillah semakin berkurang. Di hari pertama di sana, saya merasa bahwa tempat tidur saya adanya di toilet karena saya berada di sana lebih lama dibandingkan dengan di bilik tidur saya. Di hari kedua semua semakin membaik dan saya sudah mulai merasa pegal dan bosan, namun saya bertahan agar bisa kembali sehat. Di hari ketiga, saya “dilepaskan” jam 3 sore, setelah botol infus ke-11 habis. Ingin rasanya untuk sebentar menghilangkan rasa bosan dengan menengok Carrefour, tapi setelah terlalu lama berbaring, badan terasa belum kuat berdiri tegak agak lama. Saya memutuskan kembali ke rumah, membersihkan badan dan duduk menonton tv.

Ada beberapa pengalaman yang saya ambil sebagai pelajaran dari "liburan" saya di akhir pekan kemarin. Saya merasa diingatkan untuk slow down karena hari-hari sudah akan menjelang puasa. Badan dibersihkan dari penyakit agar saat berpuasa nanti bisa tetap sehat dan lengkap menunaikan ibadah. Saya juga diingatkan untuk tidak terlalu berlebihan makan berbagai sayuran dan buah-buahan, meskipun saya sedang membalas rindu dengan mereka. Lima macam buah-buahan yang biasanya saya makan sebagai snack dalam satu minggu, dan berbagai lalaban yang melengkapi menu harian, sementara ini distop. Saran dokter hanya makan sedikit sayur dan pisang kepok bakar sampai perut bisa menyesuaikan diri kembali dengan makanan berserat. Tidak ada makanan pedas dan asam. Saya juga diistirahatkan dari berbagai kegiatan karena mungkin saya terlalu senang untuk menyibukkan diri sendiri. Otomatis, akhir pekan kemarin saya terbebas dari berbagai rencana, juga dari olah raga rutin, internet, tv, bahkan kegiatan rutin di akhir pekan seperti mencuci baju, memasak, bersih-bersih rumah dan menyetrika.... Ada suasana yang berbeda :).

Saya juga dapat pengalaman dan kesan unik, terutama tentang “teman-teman liburan akhir pekan bersama”. Satu di antaranya WNA yang sudah sakit tua, tidak punya keluarga di sini dan tidak punya harta benda lagi. Pengobatannya ditolong satu keluarga dan sebuah yayasan di sini. Begitu ada berita dia bisa pulang ke negaranya, suaranya yang semula terdengar memelas langsung berubah gembira. Kasihan. Bisa kembali ke tempat asal dan berkumpul dengan orang-orang yang mungkin masih mengenal menjadi suatu impian bagi bapak tua itu. Saya melihat, mungkin bapak tua ini orang yang baik karena saat dia jauh dan susah pun masih punya teman yang bersedia mengulurkan tangan.

Saat bapak tua itu pergi kembali ke negaranya, dua “teman” lain masuk. Mereka berdua pak haji dengan belasan anak dan cucu, bergabung “liburan” karena kolesterol dan darah tinggi. Sempat saya tidak bisa tidur karena salah satu dari mereka sempat sesak nafas di malam hari dan suster pun berbondong-bondong datang. Belum lagi dia terus bertanya jam berapa dan mengabsen nama anaknya satu per satu. Saya sempat takut tidur sendiri, padahal di kamar itu saya jelas-jelas tidak sendiri.

Saya jadi berpikir kalau amal dan ibadah mungkin cukup untuk bisa menyelamatkan kita dari ancaman maut neraka, tapi belum tentu kita bisa lolos dari ancaman maut dunia: lemak, LDL dan asam urat.... Rasanya ceramah di Masjid perlu lebih spesifik: tidak saja menganjurkan “makanlah sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang”, tapi juga ditambah anjuran “perhatikanlah apa yang kamu makan”. Anjuran ini juga berlaku untuk saya yang sudah terlalu menggilani buah dan sayur:D.

Dua “teman” saya ini juga punya kerabat banyak. Bila jam kunjungan, wah ramai sekali. Pernah saya merasa malu karena setelah setengah jam di toilet dan keluar, saya menemukan hampir 20 orang berdesak-desakan di kamar kami. Ada anak-anak yang keluar masuk tanpa henti sampai orang-orang dewasa yang terdiam seksama mendengarkan cerita, dan beberapa lainnya yang saling menyapa “lama sudah tidak ketemu, e...ketemunya di sini” lalu mengobrol. Suasana saat itu seperti sedang di standing party. Bedanya, tema “pesta” kali ini adalah “bangsal pasien” dengan dekorasi tirai selerekan berwarna kuning, “kursi” putih berselimut kusut dan “pepohonan” infus.

Saya juga kaget dan malu saat salah satu dari tamu menyapa dengan suara nyaring berlogat khas “nah, nyang ini sakit apaan?” Saya menjawab sopan “sakit perut, bu”. “Sendiri aja?” Saya sempat heran: kok tanya begini. “Iya, bu”. Tiba-tiba “Neng.... tuh si emas sendiri... bisa lu temenin tu, kesian daripade ndiri...” Saya kaget lalu buru-buru masuk bilik saya, tutup tirai, naik tempat tidur, ambil selimut dan diam. Tiba-tiba ada tangan menyingkap dari balik tirai. Seorang Ibu tua berjilbab hitam mirip Mpok Nori, dengan alis ditebalkan, muncul mengamati saya yang sendiri di balik selimut. Si Ibu lalu tersenyum simpul dan menghilang, sambil dikomentari yang lain “gimane? lumayan kan, meski nggak selepel ame lu...”

Beruntung suster datang, mengecek tekanan darah.... tapi... ada singkapan tirai lagi, dan tirai terbuka lebih lebar... kali ini si “Mpok Nori” berdiri lebih jelas karena tirai yang terbuka. Dia hanya berdiri “mengamati saya” dari pinggir tempat tidur sambil tersenyum-senyum... Saya berusaha mengobrol dengan suster, sambil terus berharap agar si “Mpok Nori” segera pergi. Eh, pas rombongan itu pulang, dan saya masih dihitung detak nadi, si “Mpok Nori” yang beranjak mendekati pintu masih saja terus memandangi saya sampai akhirnya.... Dia melambai tangannya ke arah saya (daghhhh...) dan tersenyum lebih lebar... (Ting!!!) tampaklah kilauan gigi emasnya.... Gleg.... Saya tersedak karena kaget bercampur geli.... Ya ampun... Ada-ada saja....

Yah, akhir pekan kali ini memang benar-benar berbeda...

posted by Leo at 16:22

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004