<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, March 27, 2005

Mengapa Tidak Tidur Siang?

Saat libur, saat istirahat. Teman-teman di flat pun tampak tidur lebih lama. Siang tadi, saat pukul 2 siang, suasana begitu tenang seakan flat kosong. Saya tetap menulis, sambil menonton tv. Saya ingin tidur siang, beristirahat, tapi tidak bisa.

Kebiasaan tidur siang hanya berlaku sampai saya kelas 3 SD. Saat saya kelas 4 SD, Ibu memutuskan untuk tidak memiliki pembantu dan kami serumah pun mulai berbagi tugas. Sejak itu saya melupakan kebiasaan tidur siang. Saya terus aktif mulai matahari terbit sampai terbenam, dan malam hari adalah waktu istirahat termasuk tidur.

Pola hidup ini berlanjut. Meski saya juga merasa mengantuk saat bekerja, khususnya antara jam 10-11 dan jam 14-15, saya tetap tidak bisa tidur di siang hari. Lain dengan dua teman saya yang asyik di cubicle-nya, menyetel lagu klasik dengan volume rendah dan tertidur; kadang-kadang dengan dengkuran halus, yang justru membuat rasa kantuk saya hilang. Pengecualian bila saya sakit, dan bila saya naik kendaraan dalam perjalanan jauh, saya baru bisa tidur siang.

Beberapa penelitian menunjukkan kegunaan tidur siang. Menurut Dr. James B. Maas, seorang psikolog dari Cornell University dan penunis buku "Power Sleep", terdapat dua jenis tidur siang. Jenis yang pertama yaitu "reviving nap", yang berlangsung cukup singkat dan bertujuan untuk menyegarkan otak; sedang jenis yang kedua merupakan tidur siang "bayar hutang" karena kurang tidur di malam hari.

Dr. Maas mengungkapkan, tidur siang hanya bisa menyegarkan otak bila berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Efek yang didapat terutama berupa peningkatan konsentrasi. Pekerja yang tidur siang sekitar 10-20 menit sehari, di samping tidur malam yang cukup (8 jam), biasanya akan lebih produktif, jarang melakukan kesalahan dan memiliki frekuensi gangguan kesehatan lebih rendah. Hasil penelitian NASA terhadap para pilot juga menunjukkan efek yang hampir sama.

Tiga teman baik saya juga ternyata penyuka reviving nap. Saat kuliah, seorang teman bisa tertidur 10 menit tapi kemudian bisa menjawab pertanyaan dosen dengan lancar; seolah dalam 10 menit itu dia bermimpi bermain-main dengan rumus yang ditulis dosen di papan tulis. Ada juga yang di tengah rapat, tiba-tiba dengan tenang menundukkan kepala, tanpa suara, tertidur selama 5-10 menit; tapi saat terbangun masih bisa berpendapat dan bergurau. Satu teman lain bila menyetir mobil siang hari, dalam beberapa jam selalu minta berhenti. Langsung setelah mobil menepi dan berhenti, dia membuka jendela dan tertidur; seperti orang dihipnotis, tidak bergerak. Sekitar 15 menit kemudian, dia terbangun dan bisa kembali menyetir dengan tenang, bahkan lebih lama. Alangkah beruntungnya mereka, bisa tidur siang, sangat singkat, tapi nyenyak dan bisa kembali segar.

Bila di jaman dahulu banyak orang terbiasa tidur siang, sekarang orang berusaha menghindari tidur siang. Kopi dan snack siang biasanya diadakan untuk menjaga pekerja bisa beristirahat sejenak dan tetap produktif. Namun hasilnya justru sering berkebalikan, karena otak tidak memiliki jeda untuk beristirahat dan orang menjadi mudah gemuk dan mendapatkan efek negatif dari kafein.

Meski efeknya cukup baik, reviving nap hanya efektif bila seseorang juga cukup tidur di malam hari. Bila tidur malam kurang, seseorang cenderung akan tidur siang lebih lama, yang menurut banyak ahli, justru dapat mengganggu jam biologis dan membuat sulit bangun pagi. Dr. Maas menganjurkan tidur siang antara 15-30 menit, sebagai tambahan dari tidur malam yang cukup. Bila bekerja, selalu pasang alarm agar tidur siang tidak berlebihan, dan untuk menghindari kesan etos kerja yang buruk.

Sekarang saya sudah tahu efek baik dari tidur siang; sudah pula memiliki niat dan semangat untuk tidur siang, apalagi saat liburan seperti ini. Tapi mengapa tetap tidak bisa tidur siang? Ah, sudahlah... Meski tidak bisa tidur siang, paling tidak sudah ada tulisan baru untuk blog. Selain itu, saya masih tetap menikmati indahnya pemandangan orang tidur siang... Begitu lelap dengan nafas yang teratur... sambil mendengarkan lagu In My Dreams dari Reo Speedwagon.


In My Dreams (Reo Speedwagon)

There was a time some time ago
When every sunrise meant a sunny day, oh a sunny day
But now when the morning light shines in
It only disturbs the dreamland where I lay, oh where I lay
I used to thank the lord when I'd wake
For life and love and the golden sky above me
But now I pray the stars will go on shinin', you see in my dreams you love me

Daybreak is a joyful time
Just listen to the songbird harmonies, oh the harmonies
But I wish the dawn would never come
I wish there was silence in the trees, oh the trees
If only I could stay asleep, at least I could pretend you're thinkin' of me
'Cause nighttime is the one time I am happy, you see in my dreams

Chorus:
We climb and climb and at the top we fly
Let the world go on below us, we are lost in time
And I don't know really what it means
All I know is that you love me, in my dreams

(Solo)
I keep hopin' one day I'll awaken, and somehow she'll be lying by my side
And as I wonder if the dawn is really breakin'
She touches me and suddenly I'm alive

Oho, in my dreams
Sumber inspirasi: Science Times

posted by Leo at 18:59

Thursday, March 24, 2005

Dokter

Sebenarnya dulu saya pernah bercita-cita menjadi dokter, tapi langsung banting setir setelah menyadari betapa sulitnya pelajaran kimia. Alhasil, semua keluarga kecewa. Maaf, seribu maaf, saya hanya bisa sakit saja...

Meski 'hobby' sakit, saya bersyukur karena bisa menemukan dokter-dokter yang murah hati. Tapi tidak mudah untuk 'menemukan' mereka karena saya harus melalui belasan uji coba yang menghasilkan kekecewaan dan ongkos mahal. Seringkali, meski seorang dokter terkenal, dia belum tentu punya waktu untuk berempati dengan pasiennya. Teman saya di Bogor punya pengalaman menarik. Saat hamil dua bulan untuk anak pertama, dia mengeluh ke dokter kandungan: "Dok, gimana caranya supaya nggak mudah mual dan muntah?" Sang dokter yang laris dan terkenal itupun menjawab santai "Ah, itu sih biasa... Bulan-bulan segitu kan memang lagi mabok-maboknya..." Teman saya geram... Untung komentar sang dokter tidak membuat teman saya tambah mual dan ingin muntah saat itu juga...

Penampilan dokter yang tampan atau cantik memang perlu, apalagi bila mereka terkenal. Tapi penampilan hati lebih penting, karena pasien membutuhkan empati. Contohnya, sewaktu kecil, saya selalu takut bila melihat dr. Roost yang tinggi besar dan selalu tampak menyeramkan dengan jarum suntiknya; atau dr. Fadjar yang tampak dingin dengan kacamata tebalnya dan sering memberi beberapa 'amplop' kecil dari kertas kue yang isinya puyer-puyer pahit. Tapi dr. Roost yang Belanda tulen, dan dr. Fadjar, yang Jawa tulen selalu bertutur kata lembut dengan anak-anak. Diagnosa dan obat-obatannya juga manjur. Lain dengan dr. Nani, yang sepertinya merupakan tipe dokter ideal. dr. Nani selalu dapat membuat semua pasiennya merasa tenang bila bertemu. Dia bisa menjadi pendengar yang baik dan pandai bergurau. Dengan pribadi yang menyenangkan dan dandanan yang trendy, tidak heran bila dr. Nani bisa menerima 200-an lebih pasien setiap hari, dan banyak di antaranya berasal dari luar kota. Seringkali, rasa sakit akan berkurang hanya dengan senyuman, anggukan pengertian dan pandangan penuh perhatian.

Seorang dokter juga perlu meluangkan cukup waktu untuk memberi penjelasan lengkap tentang diagnosa dan prosedur perawatan. Ini yang dilakukan dokter umum dan dokter gigi langganan saya dulu di Jakarta. Perawatan dan konsultasi yang mereka berikan tidak memakai stop watch.

Di lain pihak, sebagai pasien, saya sering lupa bahwa tanggung jawab dokter itu sangat berat. Jangkauan keputusannya sering lebih berat dibandingkan batas kemampuannya membantu orang lain menjadi sehat. Dokter juga manusia biasa. Terkadang, perbuatan baik dokter juga disalahartikan. Saya teringat dokter gigi saya sewaktu mahasiswa. Karena ayu, baik hati dan masih single, beliau sempat menjadi sasaran teror salah seorang istri pasien. Sempat saat saya diperiksa, tiba-tiba ada sepasang suami istri memaksa masuk. Sang suami langsung menyapa "Selamat pagi dok, kenalkan ini istri saya..." Lalu "Jeng, dokter ini minggu depan mau menikah... Benar kan, dok? Suaminya dokter juga di rumah sakit ini... Benar kan, dok?" Sang dokter cuma mengiyakan sambil menahan geli. Sang istri tampak tersipu dan serba salah. Saya merasa kasihan dengan sang dokter karena perbuatan baik dan sikap ramahnya sudah disalahartikan.

Saya kembali menerawang impian menjadi dokter yang gagal terwujud. Sambil melihat perjuangan para dokter di serial tv ER, saya berpikir: bila guru, kusir, pelaut, petani, tukang becak, kopral dan presiden pernah dibuatkan lagu, mengapa belum pernah ada yang membuat lagu untuk dokter? Dokter betul-an lho... Lewat google, saya hanya menemukan lagu 'dokter suster'-nya Jamrud dan 'dokter cinta'-nya Evie Tamala; juga beberapa baris lirik dalam lagu 'cita-citaku' dari boneka Susan...

posted by Leo at 11:10

Saturday, March 19, 2005

Sehat itu Mahal

Ungkapan ini sering dipakai untuk mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan. Orang-orang yang terlanjur sakit juga sering mengucapkannya sebagai bentuk penyesalan setelah jatuh sakit. Saya termasuk di kategori yang terakhir.

Sebenarnya saya cukup hati-hati dalam menjaga kesehatan seperti makan, tidur, kerja dan olah raga teratur. Tidak lupa juga suntik vaksin flu, supaya bebas batuk dan pilek selama musim dingin. Tapi sebagai manusia biasa, saya sering lalai dan akhirnya saya jatuh sakit.

Berawal dari minum susu. Saya membiasakan minum susu, meski lactose intolerant. Tidak enak rasanya bila di NZ yang susu sapi berlimpah ruah dan murah, saya tidak ikut minum susu. Susu juga sumber kalsium yang bagus bagi saya yang gemar olah raga. Tapi perut masih tidak bisa berkompromi meski saya sudah memilih susu yang rendah lemak, 99 percent fat free.

Sepulang naik bukit dan berendam Jum'at lalu, saya diajak teman flat memetik peach tidak jauh dari flat. Kebunnya cukup luas dan buah-buahnya banyak sekali memenuhi ranting-ranting pohon yang tingginya hanya sekitar 1.2 - 1.8 m. Saya semakin bersemangat karena bisa makan gratis peach di kebun, dan hanya membayar $3.5 per kilo bila dibawa pulang. Banyak peach ranum yang rontok dan disia-siakan pemiliknya. Kalau di Indo, yang rontok-pun dipungut, dijadikan selai, manisan atau dodol. Bahkan kalau buah mangga ranum yang bekas digigit kelelawar-pun diambil untuk diberikan pada ibu-ibu hamil; katanya supaya anaknya pilihan, tampan atau cantik. Di sini dibiarkan. What a waste...pikir saya sambil memetik sebutir peach merah ranum dan langsung mengigitnya. Teman bilang, cuci dulu... saya bilang, insya Alloh tidak ada efek negatif-nya. Rasanya manis, segar, banyak airnya, nikmat selagi matahari terik dan udara panas.

Minggu pagi, saya merasa pening, tapi saya biarkan. Gigi geraham bagian belakang bawah juga terasa ngilu, saya biarkan. Minggu siang, saya memenuhi undangan teman untuk makan siang dengan menu coto Makassar. Saat semangat makan coto yang gurih, pedas dan panas, saya tersedak, mendadak agak oleng. Saya pikir, ini akibat terlalu bersemangat makan coto sekaligus mengobrol.

Senin pagi, saya sudah berada di ruang dokter, diambil darah dan diberi resep obat. Diagnosa sementara: radang usus. Beberapa jam sepulang dari dokter, saya merasa pening luar biasa; muka terasa membeku karena sakit gigi. Melihat di cermin, gusi di belakang gigi geraham saya memerah. Saat saya pegang, seperti ada gigi baru mau tumbuh. Apakah geraham bungsu? Saya pun sibuk mencari jadwal dokter gigi. Semua dokter yang murah dan bagus sudah fully booked sampai minggu depan. Saya akhirnya dapat jadwal hari Rabu dari dokter di desa. Ternyata banyak sekali orang sakit gigi di dunia ini. Saya pun harus bersahabat dengan panadol selama dua hari untuk meredakan sakit.

Selasa, kembali ke dokter, mendengarkan interpretasi test darah. Alhamdulillah, normal. Diagnosa akhir, semua karena makanan dan asam lambung yang berlebih. Rekomendasi: kurangi susu, kurangi makanan pedas dan selalu mencuci buah bersih-bersih sebelum memakannya. Meski obat yang diberikan dokter sangat manjur untuk mengurangi asam lambung, saya masih merasa tersengal bila bernafas; seperti ada yang menghalangi di dada. Dokter memeriksa paru dan jantung; hasilnya semua normal. Dia menyimpulkan mungkin otot dada agak terganggu saat perut terganggu. Malamnya, saya memutuskan untuk memakai cara turun-temurun. Bermodalkan uang Rp. 100 (ternyata ini hikmahnya ada koin rupiah terselip di saku ransel) dan balsam, saya membuat dua jalur kerokan di dada kanan. Rasa tersengal itu langsung hilang dalam satu jam. Betapa manjurnya kerokan!

Rabu pagi, jadwal dokter gigi. Ruangannya apik, serba kayu; tapi peralatannya kuno, lebih kuno dibandingkan klinik milik teman baik saya di Jatinegara. Diagnosa: ada gigi yang mau tumbuh atau akar yang tertinggal; harus roentgen. Dua kali difoto, kali ini bukan dengan senyum Monalisa, tapi menganga dan meringis. Hasil roentgen: ada dua akar gigi geraham tertinggal, satu di rahang bawah, satu di rahang atas. Yang di bawah sudah menyebabkan radang dan dianjurkan dicabut. Yang di atas bisa menunggu.

Saya terbayang mahalnya biaya suntik, cabut dan obat, apalagi bisa tidak ditanggung asuransi. Tapi setelah membayangkan rasa sakit, saya memutuskan dicabut sekarang. Saat melihat jarum yang panjang melengkung, saya memejam mata dan menarik nafas dalam. Tiga kali disuntik, sakit! Lima menit kemudian, saya merasa bibir saya menjadi setebal bibir Titi DJ dan wajah menjadi setebal make-up Tata Dado. Dokter-pun mulai mengerahkan tenaga mencabut akar yang tertinggal. 10 menit, berhasil. Dua akar gigi yang besar-besar. Saya tidak merasa apa-apa. Dokter lalu menjahit gusi saya. Sebagai bekal pulang, saya diberi dokter selembar penjelasan pantangan selama perawatan, resep antibiotic, 2 butir parasetamol dan kapas tebal untuk pengganjal gigi. Saya dipesankan bahwa anestesi tetap bekerja dalam 2 jam, meskipun kenyataannya 4 jam. Saya harus duduk tegak, tidak boleh tiduran, minum harus lewat sedotan, makan hanya boleh yang cair dan lembek.

Di office, saya cuma bisa mengangguk dan tersenyum, untung masih bisa mengetik, dan tengok blog sekali-kali. Saya juga sibuk memeriksa polis asuransi, terutama bagian dental; lalu mencari referensi dari internet tentang jenis perawatan yang saya dapatkan. Alhamdulillah, sekitar 70-80 persen biaya akan diganti asuransi. Jika tidak, wah... tapi saya masih bersyukur bisa kembali sehat. Sehat itu mahal, apalagi jika sudah terlanjur sakit.

posted by Leo at 02:28

Sunday, March 13, 2005

Dompet

Pertama kali saya memiliki dompet yaitu saat kelas tiga SMA. Isinya pun sebagian besar bukan uang; hanya kartu pelajar, kartu berobat, kartu perpustakaan, foto dan kertas-kertas yang tidak perlu. Saat kuliah, dompet semakin menjadi penting, meski uang saya juga tetap tidak banyak dan dompetnya tetap yang sama dengan yang saya miliki sejak SMA.

Dompet yang sekarang saya miliki sudah berumur hampir 5 tahun. Saya beli dengan harga cukup murah. Kulit hitam polos dengan kondisi yang masih bagus. Mungkin dompet saya awet karena saya jarang mengisinya. Saya hanya mengisi dompet paling banyak $20 dan tidak akan mengisi lagi sampai jumlah tersebut habis. Isi dompet lainnya: ID, credit card, kartu anggota YHA dan dvd, receipt pertama kali buka rekening, secarik kertas kecil yang memuat daftar telepon orang-orang dekat dan foto. Isi yang beragam memberi kesan dompet saya padat, tapi tebalnya cuma 1 cm.

Lain halnya dengan dompet teman saya. Jika dia mengeluarkan dompetnya, semua orang akan dibuat heran. Saya lirik, di dalamnya tidak ada NZ$, tapi 50-ribuan Rupiah dalam jumlah besar. Saya sampai berpikir bahwa saya tidak sedang berada di NZ saat melihat Rupiah begitu banyak. Selain itu, saya melihat sembulan kertas putih, kuning, biru, merah jambu yang saya duga adalah kwitansi, struk atm, berbagai kartu nama dan sejenisnya. Ada juga tersembul foto anak dan istrinya tapi masih tenggelam di antara kerta-kertas itu. Ketebalannya saya perkirakan 5 cm. Saat dia mau memasukkan dompetnya, perlu sedikit usaha untuk melipat dan mendorongnya masuk ke saku celana belakang.

Dalam saku, memang dompetnya cukup menambah "bobot", tapi saya pikir justru berbahaya karena jika duduk, posisi menjadi tidak seimbang. Selain itu, dompet tebal mudah mengundang copet... atau... mungkin malah menghindarkan dari copet karena sangat sulit mengambilnya tanpa membuat isinya langsung berserakan.

Saat saya tanya mengapa isinya tidak dirampingkan, jawabannya:
"Kalau uang, takut hilang kalau ditinggal di rumah ...". Saya mengerti ketakutan akan kehilangan uang, tapi bukankah rupiah-rupiah itu bisa ditukar dan disimpan di bank?
"Juga, banyak kwitansi dan kartu penting... lagipula cukup handy kalau sewaktu-waktu perlu mencatat, tinggal ambil kwitansi bekas dan menulis di belakangnya." Praktis, tapi tidak praktis. Saya juga termasuk pengumpul kwitansi, tapi hanya untuk merekam pengeluaran dalam sebulan. Setelah sebulan, kwitansi yang tidak penting bisa saya buang. Saya hanya menyimpan kwitansi pembelian barang yang bisa dikembalikan dalam box khusus di flat.

Saya semakin bingung karena hari ini saya melihat beberapa pria seumur menenteng dompet di telapak tangannya, tampak tebal dan penuh. Anak-anak remaja juga cenderung punya dompet tebal. Mungkin uang jajannya banyak. Dompet tebal dan segala isinya; apakah ini trend?

posted by Leo at 01:12

Tuesday, March 08, 2005

Saya Rindu

Membaca puisi yang ditulis Fannie dan Nizar membuat saya rindu. Kali ini rindu bisa berkumpul kembali dengan teman-teman lama, mengisi waktu luang dengan bernyanyi.

Beruntung saya bertemu dengan Mas Ochay dan Yeni, dua sejoli yang jadi penggerak band/vocal group/acapella saat kuliah. Menyanyi menjadi kegiatan kami di hari Sabtu atau Minggu. Latihannya bisa di halaman depan ruang kuliah atau di asrama tempat tinggal Mas Ochay. Tidak peduli berapa banyak orang yang lalu lalang, kami tetap asyik menyanyi. Tidak peduli dengan jenis musik yang menjadi trend, kami tetap mencoba lagu-lagu yang kami sukai. Kami pun tidak segan-segan latihan di saat musim ujian atau hujan deras, terutama bila dalam beberapa hari lagi kami harus tampil. Semuanya membuat kami harus pandai-pandai membagi waktu, dan memang tidak sia-sia. Kami bisa tampil ceria dan menghibur, serta masing-masing dari kami lulus dengan baik.

Mas Ochay sangat berbakat dalam membuat aransemen musik dan vokal, sekaligus memiliki suara bass yang prima; sedang Yeni adalah soprano handal. Lalu ada Wawan yang bersuara tenor II dan Eko yang memiliki suara falceto tenor yang lebih sempurna dan tinggi dibandingkan suara saya. Selain itu ada Elis dan Cathy yang mantap bersuara alto. Saya sendiri kebagian menjadi lead vocal dan tenor. Saat nge-band atau lomba vocal group, anggota bertambah dengan Maya, Ita, Elsa, Clara, Pudji, Mbak Mia, Mbak Dini, Josh, Ade, Bang Syech dan another Eko di drum.

Lagu-lagu yang pernah kami nyanyikan cukup beragam, di antaranya: Kla (Tentang kita, Belahan jiwa, Pasir putih), Katara Singer (Ceria, Sahabat), Andre Hehanusa (Kkeb, Kuta Bali), Utha (Esok masih ada), Boys 2 Men (In the still of the night, Yesterday, Water runs dry, Hard to say goodbye), Color Me Bad (Close to heaven), Carpenters (We've only just begun, Masquerade), Kenny Loggins (Pooh corner), Extreme (More than words), Manhattan Transfer (A nightingale sang in Berkeley Square, The offbeat of avenues), The Radios (She goes nana), Freiheit (Keeping the dream alive), My Fair Lady's soundtrack (On the street where you live), dan banyak lagi.

Banyak sekali kenangan suka. Kenangan duka cukup sedikit, terutama saat sebagian personel terkena radang tenggorokan tapi tetap tampil sesuai janji dan berusaha keras mempertahankan suara saat menyanyi acapella "Tears on my pillow... pain in my heart caused by you uuuu...".

Meski masih kelas kampus, kami cukup puas dan bangga. Komentar paling berkesan yang kami terima adalah dari ibu-bapak tetangga asrama Mas Ochay yang suatu saat diundang menghadir HUT asrama. Komentar mereka "bagus sekali...seperti di tv..." Saat itu kami menyanyikan Masquerade, She goes nana, Water runs dry (acapella) dan On the street where you live (acapella). Ah... masa-masa indah... bersama dengan teman-teman se-hobby.

(bass) bumbumbumbum
(tenor, sopran, alto) syurup syubidu
(bass) bumbumbum
(tenor, sopran, alto) syurup syubidu
(bass) bumbumbum
(tenor, sopran, alto) syurup syubidu
(bass) bumbumbum
(tenor, sopran, alto) syurup syubiwa...
(saya) "In the still... of the night... I held you... held you tight... Oh I love... love you so... promise I never... let you go... in the still of the night..."

posted by Leo at 01:25

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004