<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Thursday, March 24, 2005

Dokter

Sebenarnya dulu saya pernah bercita-cita menjadi dokter, tapi langsung banting setir setelah menyadari betapa sulitnya pelajaran kimia. Alhasil, semua keluarga kecewa. Maaf, seribu maaf, saya hanya bisa sakit saja...

Meski 'hobby' sakit, saya bersyukur karena bisa menemukan dokter-dokter yang murah hati. Tapi tidak mudah untuk 'menemukan' mereka karena saya harus melalui belasan uji coba yang menghasilkan kekecewaan dan ongkos mahal. Seringkali, meski seorang dokter terkenal, dia belum tentu punya waktu untuk berempati dengan pasiennya. Teman saya di Bogor punya pengalaman menarik. Saat hamil dua bulan untuk anak pertama, dia mengeluh ke dokter kandungan: "Dok, gimana caranya supaya nggak mudah mual dan muntah?" Sang dokter yang laris dan terkenal itupun menjawab santai "Ah, itu sih biasa... Bulan-bulan segitu kan memang lagi mabok-maboknya..." Teman saya geram... Untung komentar sang dokter tidak membuat teman saya tambah mual dan ingin muntah saat itu juga...

Penampilan dokter yang tampan atau cantik memang perlu, apalagi bila mereka terkenal. Tapi penampilan hati lebih penting, karena pasien membutuhkan empati. Contohnya, sewaktu kecil, saya selalu takut bila melihat dr. Roost yang tinggi besar dan selalu tampak menyeramkan dengan jarum suntiknya; atau dr. Fadjar yang tampak dingin dengan kacamata tebalnya dan sering memberi beberapa 'amplop' kecil dari kertas kue yang isinya puyer-puyer pahit. Tapi dr. Roost yang Belanda tulen, dan dr. Fadjar, yang Jawa tulen selalu bertutur kata lembut dengan anak-anak. Diagnosa dan obat-obatannya juga manjur. Lain dengan dr. Nani, yang sepertinya merupakan tipe dokter ideal. dr. Nani selalu dapat membuat semua pasiennya merasa tenang bila bertemu. Dia bisa menjadi pendengar yang baik dan pandai bergurau. Dengan pribadi yang menyenangkan dan dandanan yang trendy, tidak heran bila dr. Nani bisa menerima 200-an lebih pasien setiap hari, dan banyak di antaranya berasal dari luar kota. Seringkali, rasa sakit akan berkurang hanya dengan senyuman, anggukan pengertian dan pandangan penuh perhatian.

Seorang dokter juga perlu meluangkan cukup waktu untuk memberi penjelasan lengkap tentang diagnosa dan prosedur perawatan. Ini yang dilakukan dokter umum dan dokter gigi langganan saya dulu di Jakarta. Perawatan dan konsultasi yang mereka berikan tidak memakai stop watch.

Di lain pihak, sebagai pasien, saya sering lupa bahwa tanggung jawab dokter itu sangat berat. Jangkauan keputusannya sering lebih berat dibandingkan batas kemampuannya membantu orang lain menjadi sehat. Dokter juga manusia biasa. Terkadang, perbuatan baik dokter juga disalahartikan. Saya teringat dokter gigi saya sewaktu mahasiswa. Karena ayu, baik hati dan masih single, beliau sempat menjadi sasaran teror salah seorang istri pasien. Sempat saat saya diperiksa, tiba-tiba ada sepasang suami istri memaksa masuk. Sang suami langsung menyapa "Selamat pagi dok, kenalkan ini istri saya..." Lalu "Jeng, dokter ini minggu depan mau menikah... Benar kan, dok? Suaminya dokter juga di rumah sakit ini... Benar kan, dok?" Sang dokter cuma mengiyakan sambil menahan geli. Sang istri tampak tersipu dan serba salah. Saya merasa kasihan dengan sang dokter karena perbuatan baik dan sikap ramahnya sudah disalahartikan.

Saya kembali menerawang impian menjadi dokter yang gagal terwujud. Sambil melihat perjuangan para dokter di serial tv ER, saya berpikir: bila guru, kusir, pelaut, petani, tukang becak, kopral dan presiden pernah dibuatkan lagu, mengapa belum pernah ada yang membuat lagu untuk dokter? Dokter betul-an lho... Lewat google, saya hanya menemukan lagu 'dokter suster'-nya Jamrud dan 'dokter cinta'-nya Evie Tamala; juga beberapa baris lirik dalam lagu 'cita-citaku' dari boneka Susan...

posted by Leo at 11:10

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004