<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, January 23, 2005

Children Say the Darnest Thing

Saya terkadang iri dengan anak-anak yang tampil di acara ini. Mereka bisa bebas berpendapat dan orang-orang memaklumi perkataan mereka. Misalnya, ada anak yang ditanya: "Apa yang ayah kamu pesankan agar kamu tidak menjawab pertanyaan saya dengan benar?" Jawabannya: "Bahwa Ibu saya sudah berumur 50 tahun..." Raut wajah sang ibu, yang sudah berdadan all-out, langsung berubah mendengar jawaban anaknya. Tapi sang Ibu tetap saja tertawa seperti reaksi penonton lainnya.

Lain halnya dengan orang dewasa. Di satu sisi, kita memiliki kebebasan untuk berpendapat--sama dengan anak-anak itu, tapi di lain pihak, norma sosial menginginkan kita berpendapat tidak saja secara jujur tapi juga dengan cara yang sopan. Tapi tidak semua orang pandai bersopan santun. Selain itu, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda untuk definisi jujur dan sopan. Cara yang sopan juga sering muncul dalam bentuk basa-basi yang malah terkesan kurang jujur.

Saya termasuk yang tidak bisa berbasa basi dan berusaha selalu memberikan jawaban jujur dengan cara yang sopan. Kalau tidak berani berbicara apa adanya, saya juga bisa memilih untuk diam. Respon orang terhadap pendapat saya pun berbeda-beda. Ada yang bisa menerima dengan lapang, meski komentar saya datar; ada yang tersinggung mendengar komentar saya yang justru positif dan jujur. Yang terakhir ini cukup aneh. Tapi saya sendiri pernah bersikap seperti itu. Ada rasa curiga bahwa orang yang memuji tidak selamanya ikhlas. Saya mungkin tidak perlu begitu paranoid, tapi ada resiko bahwa orang lain memiliki harapan tertentu terhadap komentar saya, yang saya tidak bisa duga. Pernah dengar komentar seperti ini "Sebagai teman baik, seharusnya kamu..." Kata 'seharusnya' mengandung resiko yang begitu berat dan biasanya terlontar untuk menunjukkan betapa jauhnya jawaban, komentar, pujian yang kita lontarkan dari spektrum 'acceptable' yang dimiliki si penanya.

Tapi tidak perlu kecewa bila kata 'seharusnya' muncul karena seperti halnya anak-anak di acara tv itu, saya juga masih terus belajar. Mungkin anak-anak itu bisa bebas berkomentar di tv; tapi di rumah, mereka kembali mendengar nasihat: "Tidak baik Nak bicara seperti itu; seharusnya... sebaiknya..." (kata-kata sudah diperlunak karena dalam kenyataan: tonasi dan kata-katanya bisa beragam). Yang diperlukan adalah selalu ingat untuk tanggap situasi saat akan mengemukakan pendapat. Juga berusaha sabar dengan pendapat orang.

Children say the darnest things. Saya sering dibuat maklum, tertawa tapi sekaligus tersedak bila mendengar komentar anak-anak. Ini termasuk kejadian baru-baru ini saat saya mendengarkan komentar seorang anak kecil yang begitu blunt. Misalnya: "Kenapa sih Ma, Oom Leo itu sering ketawa padahal nggak ada yang lucu?" Ingin rasanya langsung melotot ke anak itu tapi saya tetap tertawa sedikit saja dengan komentarnya. Atau: "Kalau Oom Leo dikasih fries-nya, nanti saya nggak kebagian dan jadi kelaparan" Saya tetap tersenyum-kecut-sambil membatin: siapa yang minta, saya bisa beli sendiri kok. Tapi saya juga mencoba tidak serta merta terbang ke langit ketujuh saat keponakan-keponakan saya bilang:
  • "Oom kok cakep?" (muka saya merona merah dadu dan saya tersenyum lebar)
  • "Hidungnya Oom mancung ya" (saya memaafkan jerawat di hidung)
  • "Oom pintar amat buat rumah-rumahan dari bantal" (saya buatkan mereka benteng dan panser dari bantal)
  • "Oom pintar nyanyi ya" (lalalili dalam gerak dan tarian)
  • "Oom kok banyak uangnya" (saya langsung telepon layanan antar hoka-hoka bento atau KFC), atau
  • "Oom kok banyak bulu di kakinya?" (glek)

posted by Leo at 01:53

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004