<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Monday, September 26, 2005

Rindu Rumah

Saat pulang ke tanah air, saya amat merasa kehilangan tempat berteduh; kehilangan rumah. Saya memang tidak punya rumah di tanah air atau, tepatnya, di dunia ini. Saya masih termasuk warga yang menumpang dimana pun saya berada; di tanah air menyewa, di NZ juga menyewa. Memang ada rumah peninggalan orang tua, tapi letaknya berjauhan dengan tempat saya beraktivitas.

Selama penelitian, hilir mudik ke sana kemari, saya tampak seperti orang bingung. Begitulah kesan orang-orang yang saya temui. Saya memang orang yang tidak mudah kerasan menumpang di rumah orang. Kebiasaan ini bertambah parah sejak saya pindah kota untuk sekolah dan berpisah dengan orang tua. Saya terbiasa hidup sendiri, kemana-mana sendiri, dan mengatur semuanya sendiri.

Itulah sebabnya, saya hanya sempat 5 bulan kost setelah pulang dari US. Saya lebih memilih mengontrak satu rumah, meskipun itu jauh dari Jakarta. Perlu satu jam perjalanan ke Jakarta dan dua jam pulang kembali. Rumah sederhana yang memiliki dua kamar, dengan halaman yang cukup di sisi depan, kiri dan belakang. Rumah itu hanya saya isi dengan perabotan seadanya, asalkan tamu dapat duduk, dan saya dapat tidur-masak-mandi, menyimpan makanan dan baju, serta sedikit olah raga. Halaman rumah pun saya tanami sedikit saja, termasuk melati, mawar hutan, soka, sutra bombay, hamparan tanaman arachis (groundcover yang satu keluarga dengan kacang tanah) untuk menggantikan rumput, dan sebatang pohon papaya, selain tanaman daun katuk, suji dan semak teh-tehan yang sudah ada sebelum saya pindah ke rumah itu.

Mengontrak satu rumah sudah memberikan keleluasaan. Saya bisa memasak sesuai dengan selera, berolah raga dan tentu saja beristirahat dengan lebih santai. Pembantu pun hanya datang dua kali seminggu dan bekerja paling lama 3 jam dalam sehari. Selebihnya, semua pekerjaan saya tangani sendiri. Saya betah sekali tinggal di rumah itu.

Saat pertama ke NZ dan meninggalkan rumah kontrakan kesayangan, saya agak limbung. Saya kost di rumah milik satu keluarga Amerika. Sebenarnya saya merasa kerasan tinggal bersama mereka, meskipun mereka memelihara kucing (yang saya sempat ajari untuk mengetuk pintu kalau lapar dan berhasil!). Saya juga bisa masak apa saja dengan bebas. Tapi ada rasa kehilangan yang besar, kehilangan suasana rumah kontrakan itu. Begitu pula saat harus berbagi dengan 3 roommates di flat. Perlu beberapa minggu untuk menyesuaikan diri. Tetap ada rasa limbung dan kehilangan. Lagi-lagi yang membantu saya untuk kerasan di rumah itu adalah kebebasan memasak sendiri.

Tidak ada suasana di NZ yang sebanding dengan suasana di rumah kontrakan saya yang sederhana. Sekarang, rumah kontrakan saya sudah lenyap dan disulap menjadi rumah tingkat. Saya merasa menyesal tidak pernah mengambil foto rumah kontrakan saya. Yang tersisa cuma kenangan-kenangan indah saat tinggal di sana.

Dan sejak itu saya hanya bisa berangan-angan, suatu saat bisa memiliki rumah yang sejuk dan mudah dirawat. Tidak ingin rumah mewah yang berlekuk-lekuk dan berjeruji besi. Tidak ingin perabotan antik yang saya sendiri tidak mampu mengangkat dan memeliharanya. Saya hanya ingin isi rumah yang minimalis tapi optimal dalam memenuhi kebutuhan dasar. Rumah yang memiliki ruang dalam yang luas meski ukuran rumah tidak selalu harus besar. Selain itu, halamannya cukup simpel, mudah dirawat, juga asri. Tapi tentu saja, untuk mewujudkan semua angan-angan disain rumah seperti itu, saya harus tahu dimana saya akan tinggal. Dimana? Satu pertanyaan besar yang semakin membuat saya limbung. Apalagi jika memikirkan kemacetan lalu lintas. Dimana kelak saya akan tinggal?

Saya semakin rindu rumah...tapi rumah yang mana?

posted by Leo at 13:43

Sunday, September 18, 2005

Melamun

Bagian I

Suddenly the world seems such a perfect place
Suddenly it moves with such a perfect grace
Suddenly my life doesn't seem such a waste
It all revolves around you*

"Awas, jangan melamun...kita sedang di jalan yang ramai, perhatikan kiri dan kanan."
Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Peringatan instruktur saya menyadarkan saya bahwa saya sudah menyetir sambil melamun, sampai lupa apa dulu yang harus dilakukan bila mobil berhenti mendadak. Saat ini saya sedang berusaha meng-upgrade salah satu ketidaksempurnaan saya: tidak bisa menyetir mobil. Dan entah mengapa, sudah dua hari ini komentar instruktur saya tetap sama: "Awas, jangan nyetir sambil melamun!"

Ingin rasanya membantah kalau saya tidak sedang melamun, melainkan memikirkan gerak mobil dan merasakan cara mengemudi yang pas. Tapi apa dikata, pandangan saya tidak bisa menipu. Pandangan kosong, seperti melayang ke depan, dalam arus awan-awan pikiran yang mengayun lembut dalam alunan syair lagu "Come What May" yang dinyanyikan oleh Ewan McGregor dan Nicole Kidman. Saya memang sedang rindu.

Seberapa sering saya melamun? Rasanya sering. Meski itu hanya dalam hitungan detik. Misalnya, dalam suatu percakapan, tiba-tiba selama beberapa detik, pikiran saya bisa melayang dalam dunia yang lain, ingatan yang lain, urusan yang lain, untuk kemudian kembali lagi dalam arus percakapan. Ini terjadi bila saya merasakan suatu keinginan, niatan yang kuat, tapi juga mencemaskan bahwa keinginan dan niatan itu tidak bisa tercapai. Dan hanya dengan cara beberapa detik melamun, "what-if" yang ada dalam pikiran saya bisa terwujud.

Bagian II

Seberapa sering orang lain melamun? Saya tidak tahu. Tapi saya jadi tergelitik untuk melamun lagi sebentar. Kali ini tentang orang lain; tentang perubahan dalam masyarakat yang saat ini terjadi. Bila saya ibaratkan bahwa masyarakat ini sebagai diri saya yang sedang belajar mengemudi mobil, beberapa menit melamun dalam arus jalan yang ramai tentu akan sangat berbahaya. Saya seharusnya sadar bahwa saya sedang belajar. Jadi, apabila saya sudah diberi tahu kondisi jalan yang ramai, sudah seharusnya saya dapat memperkirakan perubahan suasana dan dampaknya bagi cara saya membawa mobil. Tapi saya terlalu terlena, bahwa ada orang di sebelah yang siap mengawasi dan menjaga saya, sehingga saya sempat melamun.

Sama halnya bila masyarakat terlalu terlena bahwa dunia ini begitu statis, tidak ada perubahan, tidak ada naik turun, tidak ada penyesuaian. Sebenarnya kita telah belajar bahwa orang di dunia ini tidak sama; yang belajar, menemukan jalan dan menempuh jalan yang berbeda-beda, meski semua berasal dari satu akar. Jadi bila ada yang membangun jalan baru, tentu hal itu seharusnya dapat diperkirakan. Tapi kita sering beberapa detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad melamun. Terlena bahwa ada yang menjaga kita dan kalau ada masalah, kita masih punya rujukan. Jika kita punya rujukan dan pernah diberi tahu, tentulah sikap kita akan lebih arif dalam menghadapi perubahan; meski yang terlihat adalah reaksi seperti kebakaran jenggot.

Sama halnya dengan perubahan ekonomi yang terjadi saat ini. Jika kita pernah membaca koran dan mendengarkan berita--bukan membaca tabloid gossip dan mendengarkan berita kriminal--tentu kita sudah lebih kaya akan berbagai sudut pandang tentang sebab akibat dari perubahan ekonomi yang terjadi saat ini. Juga beberapa dari kita pernah belajar betapa sulitnya memadukan angka, huruf dan simbol dalam rumus ekonomi dan matematika; apalagi memindahkannya menjadi roda yang siap berputar di jalan dalam waktu singkat. Kita seharusnya bisa memperhitungkan perubahan yang terjadi dan berpikir pemecahannya. Bukan terus melamun, lalu sekaget-kagetnya berteriak ketika tersadar bahwa perubahan itu sudah di depan mata. Sudahkah kita sendiri berhitung dan mengurangi melamun?

Semua perubahan di dunia ini bukan mendadak, tapi kita masih sering melamun sehingga sering kaget dan merasa bahwa semua harus diselesaikan dengan sulap dan jenggot baru. Lha kok jadi berat ya lamunan saya?

Bagian III seadanya

Membosankan. Bosan, itulah sebabnya mengapa saya melamun yang berat-berat seperti bagian kedua tulisan ini. Tapi saya juga patut disalahkan karena sudah berani melamun bagian yang pertama. Dan hal ini pasti akan membuat susah, membuat rindu semakin rindu.

Baiklah, saya akan ubah menu nyanyian saya hari ini, sehingga pikiran saya tidak melulu menikmati lamunan yang dicampur jus rindu. Saya ubah dengan lagu MP3 "I finally found someone" dari Bryan Adams dan Barbra Straisand...lho? Wah bakalan semakin rindu. Ya sudah, sekarang lebih baik matikan komputer saja. Stop. Melamun lagi. Stop.

*Come What May by Ewan McGregor & Nicole Kidman

posted by Leo at 04:09

Friday, September 09, 2005

Musikku

Dear Dek Isna: ini saya jawab janjinya dulu tentang koleksi/selera musik saya. Semoga Dek Isna lekas pulih. Koleksi musik yang saya tulis di sini termasuk koleksi MP3, CD dan kaset.

Selera saya sedikit banyak bisa dilihat dalam beberapa tulisan sebelumnya seperti: "Inspired by Moulin Rouge" (Oktober 2004), "When The Universe is Calling You" (Desember 2004), "I'm Getting Married" (Januari 2005) "Evry Sha La La La" (Januari 2005), "Kembar" (Februari 2005), "Mengapa Tidak Tidur Siang" (Maret 2005), "Saya Rindu" (Maret, 2005), "Bandung" (April 2005), "Time Flies Like an Arrow, Fruit Flies Like a Banana" (May 2005), dan "Please, Stop Him!" (Juni 2005).

Selera musik saya sebenarnya terus berkembang sesuai dengan pengaruh yang saya terima. Perkecualian adalah untuk pengaruh dangdut, metal, house music dan rap yang sampai sekarang sulit sekali saya terima. Suasana hati dan lirik juga ikut berperan menentukan jenis lagu yang saya suka. Tapi perkembangan selera musik saya sekarang sepertinya agak terpatok pada musik-musik easy listening, meski saya masih rela melompat ke genre musik-musik yang lain asalkan komposisinya baik dan liriknya menarik.

Tentang koleksi, saya termasuk pencinta musik yang tidak mau rugi. Saya lebih suka memiliki CD/kaset campuran atau "the best of". Ini karena tidak setiap album individu memiliki lagu-lagu dengan kualitas yang sama, dan oleh karena itu saya rela menunggu sampai kaset campuran atau "the best of"-nya keluar. Perkecualiannya yaitu untuk penyanyi favorit saya. Berikut sekedar berbagi informasi mengenai selera musik saya.

Album yang terakhir saya dengarkan:
Gie (bagus, terutama Badai Selatan/Agus Wisman dan Nurlela/Deny Wong Pitoe)
From Us to U (lumayan, yang bagus terutama Apanya Dong/Serious dan Cinta/Rosa)
Best of Naif (bagus, serasa hidup sentosa di era 60-70an, dan tetap merinding mendengarkan syair "bila ku mati, kau juga mati"...hiii)
The Very Best of Crowded House (bagus, lagu lawas yang masih terdengar up-to-date)

Pilihan album kompilasi dari koleksi saya:
Grammy Nominees 2002 (solid compilation), 1998 (girl power), 1997 (the toughest competition)
The Best of Me David Foster (mendengarkannya membuat terus bermimpi jadi penyanyi)
No. 1 Hits Vo. 1 (kompilasi yang tidak pelit menampilkan lagu Indonesia terbaik)
Memories Vol. 1 (kumpulan lagu lawas yang pas dengan selera mendayu-dayu)

Pilihan album "the best of / greatest hits" dari koleksi saya:
Simon & Garfunkel's Greatest Hits 1972 (simply the best collaboration)
Elton John Greatest Hits 1974 (alunan piano yang melompat-lompat prima, tidak perduli lagu riang atau sedih)
The Carpenters Singles 1969-1973 (introducing love with a perfect alto voice and sweet music)

Pilihan album individu/group (termasuk soundtrack dan tribute) dari koleksi saya:
Natalie Cole: Unforgettable (lagu-lagu cinta yang terdengar semakin abadi)
Josh Groban: Closer (membuat ingin menyanyi dengan suara tinggi lepas dan tangan terbentang dalam bahasa Italia dan Perancis, dengan full orchestra di alam terbuka)
Seal: self-titled (suara keren dengan lagu-lagu berirama pop yang mantap)
Cold Play: A Rush of Blood to the Head (kemuraman dan kemalasan yang berirama)
Moulin Rouge (Giuchi, giuchi ya ya da da: musik asal tempel yang enak didengar)

Lagu koleksi yang membawa warna baru dalam hidup saya:
Selamat datang cinta (Harvey Malaiholo; lagu pertama yang membawa saya tampil nge-band dan lepas dari bayang-bayang paduan suara)
Still of the night (Boys II Men; lagu yang paling sering dinyanyikan saat dulu tampil ber-acapella)
I'll be there (Michael Jackson; lagu yang membawa oleh-oleh plakat)

Lagu koleksi yang membuat saya jatuh cinta:
It might be you (Steven Bishops), You (Basil Valdes), Your song (Elton John), I will always love you (Whitney Houston), Makin aku cinta (Anang & KD), When you say you love me (Josh Groban), I only wanna be with you (Hootie & the Blow Fish), That's all (Michael Buble), When I see you smile (Bad English), I hate you then I love you (Celine Dion & Luciano Pavarotti).

Lagu koleksi yang membuat saya berkaca diri:
Al I'tiroof (Hadad Alwi), Damai bersamamu (Chrisye), Aku ingin pulang (Ebiet G Ade), Superman (Five for Fighting), Bunda (Melly Goeslaw), Live to tell (Madonna), Do you know where you're going to? (Diana Ross), Landslide (Stevie Nicks/Dixie Chicks), Hidup itu indah + Air & Api (Naif).

Lagu koleksi kemuraman dan penghiburan saya (wah...ternyata banyak sekali...hiks):
Seperti yang kau minta (Chrisye), How do you mend a broken heart + Home (Michael Buble), Mi mancherai + Remember when it rain (Josh Groban), Bridge over troubled water + Bookends (Simon & Garfunkel), I'll never love this way again (Dionne Warwick), In my place (Cold Play), Foolish game (Jewel), Maaf (Vina Panduwinata), Awal yang indah (Tere), Neither one of us wants to be the first to say goodbye (Gladys Knight & The Pips), One day I'll fly away (Randy Crawford), I can't make you love me (Bonnie Raitt), Your song (Ray Charles), Cinta putih + Semoga (Kla), Pupus (Dewa).

Lagu koleksi yang paling sering saya dengarkan: Drops of Jupiter (Train), Oceano (Josh Groban), Your song (Ewan McGregor), Overjoyed (Stevie Wonder), Your song + Rocket man (Elton John), Man on the moon (R.E.M), Come what may (Ewan McGregor & Nicole Kidman), Sunny came home (Shawn Calvin), Rembulan (Vina Panduwinata), Forever more (James Engram), One of us (Joan Osborne).

Wah rasanya tidak akan selesai jika menulis semua lagu-lagu kesukaan saya. Harus stop di sini. Tapi memang begitulah, saya lebih cinta musik dibandingkan buku...

posted by Leo at 04:42

Monday, September 05, 2005

Out of Lamongan

Tidak terasa hampir dua setengah bulan saya tinggal di Lamongan. Saya sudah semakin akrab dengan suasana kota dan penduduknya, juga sudah terbiasa dengan hawa panas. Kulit saya pun sudah tidak pucat lagi, sehingga para responden saya berpendapat bahwa saya lebih ganteng dibandingkan waktu pertama kali datang. Berbagai komentar dari orang-orang yang saya temui tentang enaknya hidup di desa dan kota kecil semakin hari semakin sering saya dengar. Saya semakin kerasan.

Tapi sudah saatnya saya undur diri dari Lamongan. Penelitian saya sudah selesai dan menghasilkan 1,92 giga byte rekaman (sudah di-zip) ditambah 20 kilogram kertas-kertas kuisioner. Di satu sisi, saya merasa sangat lega karena penelitian bisa berjalan lancar dan saya mendapat banyak teman-teman baru. Di sisi lain, saya cemas memikirkan banyaknya analisa yang harus saya lakukan, serta cemas memikirkan bahwa saya harus berpindah lagi.

Meninggalkan Lamongan berarti saya akan meninggalkan 'surga' soto dan ikan bandeng. Soto dan produksi bandeng sudah mendongkrak taraf hidup penduduk Lamongan, dan menjadikan antrian jemaah haji asal Lamongan sudah memenuhi kuota sampai 5 tahun mendatang, Alhamdulillah. Produksi padinya juga mendongkrak Lamongan menjadi lumbung padi nomor dua di Jawa Timur. Akan sangat mungkin juga bahwa di masa mendatang Lamongan menjadi produsen udang windu air tawar terbesar dengan semakin maraknya budidaya padi yang dicampur udang windu. Semoga.

Meninggalkan Lamongan juga berarti saya akan meninggalkan orang-orang yang biasa saya temui dan makanan-makanan yang lezat. Saya akan kehilangan suara tetangga sebelah yang sudah mulai memasak sarapan pagi saat saya bangun subuh. Saya juga tidak bisa lagi melihat bapak gelandangan tua berbaju batik korpri yang rajin mengumpulkan sampah di sekitar alun-alun dan membakarnya saat saya lari pagi. Saya juga tidak akan lagi melihat jejeran mbok-mbok penjual nasi boran, dan membeli nasi boran di langganan saya. Tapi saya juga senang melihat akhir-akhir ini mbok penjual nasi boran yang judes sudah mulai mendapat langganan.

Saya juga akan kehilangan rutinitas dijemput research assistant saya dan berangkat ke lapang bersama-sama, dan membicarakan pengalaman-pengalaman menarik selama wawancara. Saya akan kehilangan keramahan para responden saya, berikut reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan saya dan, tentu saja, berbagai jenis suguhan yang mereka sediakan. Selain itu, saya tentu tidak akan lupa dengan keramahan keluarga pak Lurah tempat saya kost selama satu bulan, juga anaknya, juga lagu-lagu Koes Plus kegemaran pak Lurah. Saya juga tidak bisa lagi menikmati bakso lompongan, bakso goyang lidah, bakso bakwan Lamongan dan tahu tek. Saya juga tidak akan lagi dibuatkan sambel uleg satu cobek, atau dibungkuskan pecel tanpa nasi oleh ibu pemilik warteg langganan. Saya juga tidak akan pernah melihat lagi ibu pemilik restoran prasmanan yang gemar berdiskusi dengan pelanggannya tentang gossip-gossip di infotainment. Saya juga tidak akan lagi terlihat duduk manis seusai magrib di warnet, memeriksa email dan blog. Saya juga akan kehilangan dokter kulit yang ramah dan telaten (dokter kulit di Jakarta masih kalah telaten!) tapi seperti memiliki telepati, beliau hanya memandang saya penuh-penuh dan lalu langsung tahu masalah saya.

Hidup di kota kecil seperti Lamongan, membuat saya merasa dekat dengan orang-orang yang saya temui dan mereka bisa cepat ingat aya. Pemilik kios langganan fotokopi sekarang sudah hafal dengan nama lengkap saya, sehingga bisa langsung menuliskan nama saya di kwitansi tanpa perlu diminta. Penjaga rental komputer, tempat saya biasanya print, juga hafal nama saya. Lain lagi dengan pengalaman periksa kesehatan ke dokter. Saya sempat heran saat saya periksa gigi dan sang dokter langsung menyapa saya dengan "O... ini tho mahasiswa Selandia Baru yang sedang penelitian dan dapat gangguan bla bla bla". Padahal kami belum pernah berjumpa sebelumnya. Usut punya usut ternyata si ibu dokter itu istrinya dokter umum yang pernah saya kunjungi; dan hanya dengan melihat nama saya, dia sudah berani menebak. Satu yang mungkin agak kurang akrab dengan saya adalah para tukang becak. Mereka terkadang kapok menawari saya karena kemana saja saya lebih sering berjalan kaki.

Sayang memang, selama tinggal di Lamongan, saya tidak sempat berkunjung ke wisata bahari kebanggaan Lamongan. Alasannya lebih karena angkutannya sulit dan saya tidak begitu menyukai pantai. Tapi saya sempat bepergian mengunjungi teman-teman dan mendapat pengalaman baru. Seperti saat mengunjungi rumah dodY, saya bisa mengobrol ngalor-ngidul dengan beliau dan kakaknya hampir tidak pernah putus. Thanks to dodY yang membantu mencarikan souvenir meski beliau sibuk sekali berlatih Yosokai dan sedang pusing tujuh keliling dengan urusan skripsi. Atau saat mengunjungi rumah research assistant, saya melihat betapa praktis-nya hidup sekeluarga yang anaknya laki-laki semua. Saat mengunjungi DJ di Malang, saya sempat diajak mencicipi bakso Cak Man yang enak tenan, juga melihat rumah barunya. Terus terang saya salut untuk DJ yang sudah mantap berkeluarga, dan terkesan dengan keramahan keluarganya. Semoga DJ sukses merintis usahanya.

Saya juga sempat mengunjungi Wisa di kampung halamannya, Tulungagung dan bertemu dengan semua saudara kandung dan keluarganya dalam suasana yang santai dan ramah. Di sana, saya disuguhi pepes larva tawon dan gulai ikan lele, makanan yang belum pernah saya coba (saya sebelumnya tidak suka lele). Awalnya agak takut mencoba, tapi setelah dipaksa, saya coba juga dan ternyata... wah enak tenan! Tapi saya sudah berjanji hanya mau makan tawon dan lele kalau dimasak seperti itu. Selain itu tidak mau hehehe... Saya juga terkesan dengan akrabnya Wisa dengan semua keponakannya; juga betapa genit dan galaknya keponakannya yang bungsu, terutama dengan caranya mlerok/melirik.

Pengalaman tinggal di Lamongan dan berkunjung ke rumah teman-teman akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.

posted by Leo at 03:23

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004