<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Wednesday, May 23, 2007

A Journey Through Middle Earth (Part 3)

Perjalanan saya di NZ sudah mendekati garis akhir dan saya akan segera memulai babak kehidupan baru di Jakarta... di Indonesia Raya...

Indonesia Raya... Indonesia yang ramai dan kaya ... Ini akan menjadi sesuatu yang saya tidak dapatkan di NZ. Penduduk NZ yang sedikit membuat hidup saya seperti menyepi di lingkungan yang tenang, jauh dari keramaian. Berbeda saat saya menjejakkan kaki lagi di Jakarta. Yang pertama dilihat adalah padatnya manusia dan bisingnya suasana, meski waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Keramaian pada jam yang sama di NZ mungkin hanya terdengar di cafe dan bar di pusat kota di akhir pekan, dan asrama mahasiswa di hari Kamis atau Jum'at malam, saat banyak mahasiswa berpesta.

Jarangnya penduduk juga menjadikan semua perjalanan di NZ lebih terukur dalam segi waktu tempuh. Di Jakarta, kondisi macet bisa tiba-tiba terjadi hanya karena penyebab yang sepele. Jarak 22 km di NZ bisa ditempuh dalam 20 menit, sedangkan di Jakarta bisa sampai 150 menit. Selain itu, meski rasio kepemilikan kendaraan bermotor per kapita di NZ lebih tinggi dibandingkan di Jakarta, kualitas udara di NZ lebih terjaga; sesuatu yang akan sangat saya rindukan bila meninggalkan NZ.

Namun banyaknya penduduk di tanah air juga memberikan keuntungan terutama bila ingin membangun jalan atau gedung; semua bisa dilakukan dengan sekejap. Berbeda dengan di NZ, yang menghabiskan waktu lebih dari satu tahun untuk membangun gedung rumah sakit dengan 7 lantai, atau perlu waktu 3 bulan untuk memperbaiki jalan sepanjang 500 meter saja. Bandingkan dengan gedung-gedung apartment dan perkantoran yang menjulang tinggi di Jakarta yang jumlahnya bertambah belasan hanya dalam waktu 2 tahun. Suasana para pekerja bangunan di NZ yang break jam 10 pagi, 12.30 siang dan 3 sore di NZ mungkin tidak bisa ditemukan di Jakarta.

Memang perkerjaan memiliki arti yang lain di NZ. Orang bekerja di NZ itu pada umumnya untuk menikmati hidup, sedang di tanah air, bekerja itu untuk bisa hidup. Saya melihat usaha dari setiap manusia di tanah air begitu keras meski hasilnya mungkin kurang dari cukup. Apa saja yang ditemukan, bisa diberdayakan; mulai dari sampah/barang bekas sampai berjualan merek dan nama. Usaha untuk bertahan hidup tidak hanya terbatas pada manusia, karena kucing kecil pun turut berjuang untuk tetap hidup di sela-sela kardus, sisa-sisa bangunan dan semak-semak taman. Semua membutuhkan perjuangan untuk sekedar, atau lebih dari sekedar, menumpang hidup. Berbeda halnya dengan di NZ. Bekerja tidak perlu ngoyo karena semua sistem sudah tertata rapi, yang memungkinkan orang untuk lebih tenang dalam bekerja.

Namun, betapapun sulitnya kondisi di tanah air, saya menemukan banyak orang tetap bisa bercanda, atau sekedar merebahkan diri, menikmati istirahat di antara himpitan dan hiruk pikuk hidup. Contohnya, saya sering melihat orang yang menikmati sebatang rokok sambil melamun di halte bus, seolah tempat itu begitu sunyi dan tenang. Atau saat melintas beberapa rumah petak kecil, tampak seisi rumah berdesakan dan menghabiskan waktu malam dengan menikmati acara Extravaganza di layar TV 21 inch. Atau saat saya mendapati sesama penumpang angkot: seorang ibu yang membawa anak laki-lakinya yang berumur 3-4 tahun, yang tampak begitu lincah dan cerewet. Baju mereka memang tampak lusuh, tapi mereka tampak tetap ceria. Si anak dengan mata yang berbinar-binar terus bernyanyi lagu "Pelangi" dengan lantang sambil diselingi permintaan kepada ibunya untuk dibelikan segelas es dan sebungkus kacang. Si Ibu pun berjanji, tapi nanti setelah mendapatkan uang. Mereka berdua turun pas di bawah jembatan layang, di pojok lampu lalu lintas. Si Ibu lalu mengeluarkan tamborin kecil dari tasnya dan mereka berdua siap mengawali hari dengan berbagai nyanyian di sela-sela antrian mobil. Pelangi-pelangi, alangkah indahmu... merah kuning hijau, di langit yang biru... pelukismu agung, siapa gerangan... pelangi-pelangi, ciptaan Tuhan...

Melihat mereka, saya bersyukur bahwa saya masih mendapat hidup yang cukup dan sempat melihat lengkungan beberapa pelangi dalam satu hamparan luas tanah-tanah pertanian dan bukit-bukit yang asri di NZ. Saya juga bersyukur bahwa saya masih sempat melihat awan-awan putih yang berarak indah dengan latar belakang langit yang biru bersih di Aotearoa: Land of the Long White Cloud... Namun saya juga bersyukur bahwa ibu dan anak pengamen yang saya temui di angkot masih memperoleh kesempatan untuk bisa berusaha dan bersama menikmati hidup yang sedikit dengan bahagia.

Kebahagiaan yang ditunjukkan ibu dan anak pengamen itu juga menjadi mozaik unik dalam Indonesia yang ramai dan juga kaya. Sangat kontras dengan pemandangan gedung apartmen yang tinggi, mall yang ramai, mobil yang mewah, atau bertebarannya lifestyle & fitness center (not the other way around) yang mahal. Semua bercampur baur dengan keramaian orang yang berdemo, mengamen, berdesakan di bis, atau antri di pusat-pusat pengobatan tradisional/alternatif di Jakarta. Estalase kehidupan yang begitu beragam, dinamis, sekaligus lebih kaya dibandingkan estalase simplistik yang ditampilkan sinetron-sinetron di tv.

Kondisi sebaliknya saya temukan di NZ karena kesenjangan sosial menipis dan negara mampu memberi jaminan sosial kepada penduduknya. Saya juga salut dengan orang-orang NZ yang cenderung hidup sederhana, meski mereka cukup mampu untuk sering berwisata dan berinvestasi. Dari segi penampilan, mereka mungkin tampak lebih "kampung" dibandingkan dengan orang-orang Jakarta, tapi mereka begitu menikmati hidup dan tidak terlalu terpengaruh dengan tekanan trend. Saya sendiri sering merasa malu melihat mudahnya saya dicekoki slogan iklan, trend dan televisi.

Bila bicara tentang tv dan musik, saya mungkin akan merindukan banyak acara tv dan musik yang biasa saya nikmati di NZ. Serial tv-nya bagus-bagus, meski ada juga serial tv semacam sinetron yang berputar-putar tanpa akhir. Film-filmnya juga terpilih, tidak hanya sebatas film-film "box office" dari Chuck Norris, Cindy Rotrock, Steven Seagal dan Van Damme seperti banyak diputar oleh tv-tv di tanah air. Selain itu banyak acara bermuatan informasi dan feature yang tidak melulu bercerita tentang kasus kriminal, hantu dan gossip. Beberapa yang saya suka adalah acara advokasi konsumen dan features tentang kehidupan binatang, berbagai hasil penelitian tentang perkembangan manusia, penemuan dan innovasi, sejarah atau tempat-tempat wisata (seperti Intrepid Journey). Acara-acara serupa mungkin juga ada di tanah air, tapi jam tayangnya lebih banyak di saat orang sibuk bekerja. Untuk musik, saya akan merindukan satu radio easy listening yang "setia" menemani saya membahas data dan menuliskan hasilnya dari mulai jam 8 pagi sampai dengan jam 5 sore. Namun saya tidak perlu berkecil hati karena saya bisa mendengarkan petikan gitar yang luar biasa indah dan suara pengamen yang merdu di bis yang melantunkan satu lagu yang sering diputar di radio kesayangan saya: Love will keep us alive dari the Eagles.

Satu saja yang tidak akan saya rindukan dari NZ: makanannya. Bukan berarti tidak enak, tapi tidak banyak pilihan yang berkesan di NZ. Saya juga tidak rindu NZ dalam urusan warung atau tempat membeli makanan. Di tanah air, saya mudah mendapatkan apa saja dalam jarak dekat dan sejak pagi hingga malam. Di NZ, semua terbatas jarak dan waktu. Jam 5 sore, sebagian besar toko sudah tutup. Kalaupun ada makanan yang saya rindukan, semuanya merupakan buatan sahabat-sahabat saya di Lincoln seperti pastel, asinan, sayur asem-asem udang, maccaroni panggang-pedas dan masakan Turki. Makanan-makanan ini begitu berkesan, bukan hanya karena enak, tapi juga karena dimasak dengan rasa persahabatan. Acara berkumpul dan berbagi makanan selama di NZ sudah membuat saya dan sahabat-sahabat saya semakin rukun dan dekat.

Bila makanan dari sahabat sudah membuat rindu, tentu sahabat-sahabat saya juga lebih membuat rindu karena mereka adalah keluarga saya selama di NZ. Sering saling membantu, atau hanya sekedar berbagi cerita, yang semuanya bisa mengurangi rasa rindu dengan tanah air. Dan perpindahan memang selalu terasa berat karena seolah harus meninggalkan teman dan keluarga. Namun tentu harapannya, persahabatan akan terus berlanjut. Kalaulah ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Kalaulah ada umurku panjang, bolehlah kita berjumpa lagi...

Akhirnya saya tutup kesan perjalanan saya di NZ dan kesan akan babak baru kehidupan saya di tanah air dengan mengutip ucapan seorang anak laki-laki di pesawat "Mah, ade senang pulang ke Indonesia karena bisa ngomong Indonesia lagi... capek pakai bahasa Inggris terus..."

posted by Leo at 11:27

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004