<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Wednesday, August 15, 2007

Lebih Jauh Ke Utara

Kali ini saya mendapat kesempatan untuk bepergian ke Gorontalo, tempat paling utara yang pernah saya kunjungi di tanah air. Meskipun saya harus berangkat jam 3.30 pagi, namun saya tetap bersemangat karena kunjungan ke daerah baru biasanya memberi kesan dan pengalaman baru. Suasana Jakarta di pagi itu masih sepi dan hanya beberapa mobil yang lewat. Taksi yang saya tumpangi melaju cepat dan sampai di bandara 40 menit kemudian.

Ternyata suasana di bandara sudah ramai dengan orang-orang berdialek Makassar, Manado dan Ambon. Antrian check-in juga padat, dan diwarnai dengan orang-orang yang mencoba memotong antrian. Beruntung para petugas bersikap tegas dan hanya melayani calon penumpang yang antri. Para penyelonong pun dibuat kecewa. Suasana bandara di pagi itu juga lebih segar karena hanya sedikit orang yang merokok dan mereka terkonsentrasi di booth khusus yang disediakan untuk perokok.

Di dalam pesawat, saya sempat mengamati barang-barang yang dibawa para penumpang ke dalam kabin. Barang-barangnya sangat beragam dalam ukuran, menandakan kalau pembatasan barang yang boleh dibawa ke dalam kabin tidak berlaku. Saya juga kagum dengan para pramugari yang terkadang lebih kuat mengangkat barang dibandingkan para bapak meskipun para pramugari itu jauh lebih ramping :D.

Keberangkatan pesawat terlambat 30 menit. Namun keterlambatan itu justru membuat awal perjalanan begitu berkesan. Dari balik jendela pesawat saya bisa menikmati puncak-puncak gunung di Jawa yang menjulang di atas hamparan awan saat matahari baru muncul. Mulai dari Gunung Salak, Gede-Pangrango, Ciremai, Sundoro-Sumbing, Merapi-Merbabu, Lawu sampai beberapa gunung di Jawa Timur yang sudah mulai dijauhi pesawat. Saya teringat dengan mantan guru bahasa Inggris saya asal Philadephia yang begitu percaya bahwa perjalanannya akan selalu menyenangkan bila dia bisa melihat gunung-gunung di Jawa dari balik jendela pesawat. Dan saya juga percaya bahwa perjalanan kali ini akan menyenangkan. Saya juga melihat danau-danau mungil, mungkin bendungan dan Rawa Pening. Dan saat hamparan awan terkuak, saya bisa melihat hamparan daratan seperti melihat dasar akuarium.

Dua jam kemudian saya tiba di Makassar untuk transit. Tidak lama, hanya 20 menit. Saat kembali naik ke pesawat, saya melihat di luar ada pesawat Fokker 100 milik Merpati, mungkin tujuan ke Tual atau Irian. Yang menarik yaitu banyak calon penumpangnya begitu hendak masuk ke pesawat, berhenti di tangga dan difoto. Beberapa bahkan menggunakan kamera video untuk merekam saat-saat naik pesawat. Pemandangan menarik :). Lebih dari satu jam kemudian saya tiba di Gorontalo. Bandaranya kecil dan masih direnovasi, tapi suasana penjemputan begitu ramai.

Sebelum berangkat, saya sudah mencari referensi mengenai transportasi dan penginapan di Gorontalo. Saya juga tahu kalau bandaranya terletak 33 km dari kota Gorontalo. Jadi saya sudah siap dengan kondisi yang akan saya temui. Taksi yang tersedia hanya satu: Dian Taksi, sedangkan yang lainnya merupakan taksi plat hitam dengan mobil-mobil jenis Kuda dan Avanza. Jika naik taksi di sana, harus berbagi dengan penumpang lain jika ingin berhemat.

Kota Gorontalo sebenarnya kecil namun sangat luas dengan bagian-bagian pemukiman yang terserak saling berjauhan. Suasana dalam kotanya cukup rapi dan tidak terlalu sulit untuk mengingat jalan-jalannya. Suhu udara di Gorontalo mungkin sama dengan Jakarta; namun hawa yang saya rasakan tetap segar karena letak kota yang menghadap teluk dan adanya gulungan awan yang sering muncul dan menghalangi sinar matahari langsung. Saya merasa senang karena bisa sejenak terbebas dari sesaknya udara di Jakarta. Selain itu, orang-orang Gorontalo sangat ramah, dan ini membuat perjalanan saya makin menyenangkan.

Hotel yang direkomendasikan ternyata sudah penuh dan saya terpaksa mencari hotel lain. Beruntung supir taksi berbaik hati mengantar mencari hotel, dan alhamdulillah hotelnya bagus karena baru direnovasi. Yang juga membuat saya senang, di dalam kamar hotel terdapat guling! Jarang sekali ada hotel yang menyediakan guling :P Hal yang unik lainnya yaitu jendela di kamar hotel hanya ditutupi tirai tipis yang diikat. Untung pemandangan ke luar cuma atap rumah-rumah.

Di hotel, saya beristirahat sambil makan siang. Saya mendengar dan pernah membaca kalau di Gorontalo ada kebiasaan tidur siang, antara jam 1-2 siang. Jadi saya menunda jadwal kunjungan saya sampai setelah jam 2. Sambil beristirahat, saya melihat-lihat channel tv yang tersedia. Saya sempat melongo saat menemukan channel tv dengan film India tapi sulih suaranya berbahasa Jawa... mungkin saluran tv dari Malang atau Surabaya. Saya pernah membaca kalau semua penduduk Gorontalo bisa menikmati tv kabel dan memang betul, dimana-dimana orang bisa mengakses jaringan tv internasional. TV kabel di sana bisa diakses dengan harga murah. Dalam hal ini penduduk Jakarta sudah kalah bersaing.

Bentor atau becak motor merupakan sarana angkutan utama jika hendak bepergian di dalam kota Gorontalo, selain kendaraan pribadi. Taksi sebagian besar hanya melayani rute kota ke bandara. Bentor merupakan gabungan motor bebek yang ditempelkan ke becak; jadi motor di belakang mendorong becak di depan. Awalnya bahan baku bentor didatangkan dari Jawa, khususnya becak, tapi sekarang sudah diproduksi di Gorontalo. Disain bentor cukup nyaman karena dudukannya dibuat lebih cozy dibandingkan becak (tepiannya berbusa), lebih bersih dan ada penutup yang bisa ditarik dari atas ke depan penumpang (tidak lagi berupa tirai plastik), sehingga penumpang bisa menggunakannya untuk menghindari debu, asap dan hujan. Atap bentor juga lebih panjang ke belakang sehingga melindungi pengendara.

Keberadaan bentor di kota Gorontalo sudah mencapai sekitar 30 ribu buah dan sudah menggeser peran angkot sampai ke pinggiran kota. Sebenarnya menarik juga bila di komplek-komplek perumahan di Jakarta, ojek digantikan dengan bentor. Namun disain bentor hanya memungkikan penggunaannya di jalan datar. Bila bentor dipakai ke daerah perbukitan, seperti ke arah kantor DPRD dan Gubernur Propinsi Gorontalo, bisa-bisa terguling karena beban di depan lebih besar.

Seusai kunjungan kerja, saya menyempatkan melihat-lihat sisi kota. Sayang, sudah terlalu sore, sehingga saya tidak bisa melihat makam keramat dan benteng. Namun saya masih bisa makan jagung bakar di pantai "Tangga 2000". Dinamai demikian bukan karena memiliki tangga yang berjumlah 2000, tapi karena dibangun pada tahun 2000. Pantai ini merupakan pusat tongkrongan anak muda setiap malam Kamis dan malam Minggu. Saya makan jagung ditemani obrolan pengendara bentor dan pemilik warung yang bersemangat bercerita mengenai sejarah pelabuhan dan perbedaan bahasa dan dialek antara orang Gorontalo dan Manado. Jagung bakar yang disajikan memiliki tambahan berupa semacam serundeng yang dibuat dari cacahan bunga pisang yang dicampur kelapa parut dan udang kecil. Enak:).

Sebelum kembali ke hotel, saya mampir beli pia khas Gorontalo. Pia-nya keras, tapi memiliki rasa kacang hijau yang berbeda dibandingkan bakpia. Saat hendak makan malam, saya minta rekomendasi resepsionis tentang tempat makan yang menyajikan menu seafood. "Seafood, Pak? Atau Sari Laut? Kalau Sari Laut bisa memilih di depan, ada Mas Joko, ada Mas Bambang..." Saya agak bingung, tapi langsung mengerti karena ternyata nama-nama yang disebutnya adalah warung-warung tenda seafood "Sari Laut Asli Surabaya" di sekitar hotel. Setelah melihat-lihat, ternyata tidak ada yang berlabel "Mas Joko". Adanyanya Mas Bambang, Mas Her dan Mas Zadi. Saya memilih yang terakhir karena terletak di samping hotel dan paling ramai. Harga ikannya murah dan masih segar. Satu ikan kakap merah segar, dibakar, lengkap dengan nasi, lalap dan sambal yang luar biasa pedas :P, hanya Rp. 12 ribu. Mana ada di Jakarta harga seafood semurah ini. Saya sempat penasaran mengapa tidak ada warung yang memakai brand 'Bandung" seperti di kota-kota besar lainnya. Bukankah "Bandung" merupakan semacam "jaminan" promosi makanan enak? :D

Pengalaman berkunjung ke Gorontalo merupakan pengalaman singkat yang menarik. Keramahan penduduk Gorontalo juga menambah kesan tersendiri. Bahkan kenalan yang bertemu di bandara mengatakan sudah betah tinggal di Gorontalo, dan berandai-andai bisa membawa keluarganya pindah ke Gorontalo. Sama halnya dengan dua turis asal Australia. Mereka menghabiskan satu minggu berkeliling di propinsi baru ini, dan merasa senang karena daerahnya rapi dan orang-orangnya ramah.

posted by Leo at 09:03

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004