<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Thursday, November 29, 2007

Going Down Under

Tanggal 21 November, saya kembali berkemas dan siap untuk pergi meninggalkan Jakarta. Waktu seperti mendesak karena saya berangkat hampir 6 jam sebelum jadwal keberangkatan pesawat. Semula ingin menghindari macet, namun ternyata perjalanan ke bandara cukup lancar dan dalam waktu 1.5 jam saya sudah tiba di bandara. Namun untuk check-in saya masih harus menunggu 1.5 jam.

Saat menunggu dan memperhatikan suasana di dalam bandara Soekarno-Hatta, saya melihat banyak fasilitas yang tidak bekerja. Papan jadwal penerbangan yang tertempel besar di dinding hanya bergerak teratur setiap beberapa menit, namun tidak ada informasi yang tertera. Kursi yang tersedia untuk calon penumpang yang hendak check-in sangat terbatas. Lampu ruangan tampak redup karena beberapa lampu tampak padam. Ruangan yang berdinding tinggi pun terkesan “dingin”, meski pendingin udara hanya semilir terasa.

Pukul 6 sore, saya bergegas mengantri untuk check-in. Saya beruntung karena bawaan saya tetap lolos meski melebihi ketentuan bagasi. Sesampainya di dalam, saya masih harus menunggu 1.5 jam lagi karena gate baru akan dibuka 45 menit sebelum keberangkatan. Bosan juga menunggu karena hanya ada dua kafe yang tersedia. Selebihnya toko/kios souvenir, yang dua di antaranya masih dengan lampu yang tampak kedip-kedip minta diganti. Mencari hotspot malas, dan tidak yakin fasilitas seperti ini sudah ada. Akhirnya saya hanya duduk, berusaha menikmati sebatang coklat, dan mengamati relung-relung disain ruangan bandara. Suasana terasa dingin dan suram.

Pukul 8, saya sudah berada di ruang tunggu, dan 30 menit kemudian dipindahkan ke gate yang lain. Saya hanya ikut saja dan tidak tertarik untuk mengetahui alasannya. Namun saya tertarik dengan seekor kucing berekor pendek keriting yang datang berjalan santai di lorong yang menghubungkan gate dengan pesawat. Calon penumpang?

Pesawat berangkat terlambat 15 menit dan saya disambut pramugari dan pramugara senior di pintu pesawat. Tidak ada pramugari yang ramah dan semampai, tapi kuat, yang membantu penumpang mengatur barang bawaan di kabin. Semua penumpang memasukkan dan mengatur barang bawaannya sendiri dan duduk. Saya duduk di tepi jendela; di sebelah saya orang Korea. Tidak ada pembagian handuk panas; tapi diganti dengan pembagian sebotol aqua ukuran medium. Tidak ada layar tv di kursi penumpang... oh I miss Singapore Airlines :P Tapi 1 jam kemudian, saya terhibur dengan suguhan dinner ala Qantas: ikan, nasi, sayur rebus, puding gula merah+ubi jalar, potongan buah, kerupuk udang dan 1 sachet sambal pedas ABC. Indonesia sekali :-). Saya pun tertidur setelah kenyang, sampai akhirnya dibangunkan dengan sarapan pagi, 2 jam sebelum mendarat di Sidney.

Kesulitan utama dalam perjalanan jauh dengan pesawat adalah mengatur waktu shalat. Saat dibangunkan pagi hari, saya sudah melihat matahari ada di atas awan. Dan saya pun buru-buru shalat subuh. Telat nih. Tapi setelah shalat, saya melihat di layar tv tertera informasi bahwa saat itu masih jam 2 pagi. Wow. Jam 2 pagi, dan di luar pesawat langit sudah terang benderang. Namun setelah pesawat mengurangi ketinggian dan melewati batas awan, baru tampak suasana menjelang subuh, masih gelap. Saya memutuskan untuk tidak perlu shalat lagi.

Saat mendarat di Sidney airport, saya mendapati suasana dan disain bandara yang mirip dengan Christchurch Airport. Perbedaannya hanya dari segi banyaknya pemeriksaan. Semua barang elektronik perlu dipisah, termasuk flashdisk. Saya hanya transit 1 jam dan siap berangkat lagi. Saat menunggu, saya mencari simcard vodafone, tapi ternyata saya lupa membawanya. Ingin berinternet gratis, tapi semua port penuh. Akhirnya hanya duduk menikmati acara anak-anak di tv. Satu saat saya tersenyum sendiri karena mendapati merek kursi yang saya duduki: Sebel Mebel.

Perjalanan Sidney-Christchurch tidak terlalu lama dan saya tiba sore hari. Saat mengantri aplikasi visitor permit juga tidak lama, dan kali ini saya tidak lagi disambut anjing yang biasanya begitu enerjik menciumi tas setiap pengunjung. Sebelumnya anjing-anjing ini didayagunakan untuk mendeteksi penumpang yang membawa makanan segar dalam ransel/tas tangan. Maklum, NZ memiliki aturan bea cukai yang paling ketat di dunia dalam hal produk-produk pertanian. Sekarang, semua pemeriksaan dilakukan langsung oleh manusia/custom officer.

Saat pintu keluar terbuka, teman yang menjemput sudah menunggu, senang bertemu teman lama. Cuaca saat itu begitu terik dan hangat, tapi yang membuat saya merasa senang yaitu saya bisa menikmati segarnya udara lagi. Saat saya ceritakan tentang pensiunnya anjing di bandara, teman mengira mungkin hal itu disebabkan NZ saat ini sedang giat berpromosi dan menerima mahasiswa, pengusaha dan wisatawan asal Timur Tengah. Dan memang banyak hal sudah berubah/disesuaikan untuk menjadikan NZ lebih menyenangkan untuk semua orang. (Bersambung)

posted by Leo at 09:59

Tuesday, November 20, 2007

Two in One

Bright Eyes
Sang by Art Garfunkel

Is it a kind of dream,
Floating out on the tide,
Following the river of death downstream?
Oh, is it a dream?

There's a fog along the horizon,
A strange glow in the sky.
And nobody seems to know where you go.
And what does it mean?
Oh, is it a dream?

Bright eyes,
Burning like fire.
Bright eyes,
How can you close and fail?
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale?
Bright eyes.

Is it a kind of shadow,
Reaching into the night,
Wandering over the hills unseen?
Or is it a dream?

There's a high wind in the trees,
A cold sound in the air.
And nobody ever knows when you go.
And where do you start,
Oh, into the dark?

Lagu ini merupakan salah satu lagu favorit saya. Awalnya, saya hanya menikmati kesyahduan suara Art Garfunkel yang mengalun di sela-sela musik sederhana yang indah. Lagu yang enak didengar saat sedang sendiri, atau saat beristirahat menghilangkan penat. Namun lama kelamaan, saya penasaran dengan cerita di balik lagu ini.

Membaca liriknya, saya menduga lagu ini tentang kematian. Dari internet saya juga baru tahu kalau lagu ini merupakan theme song dari film animasi berjudul ”Watership Down”. Film tentang perjalanan seekor kelinci mencari rumah baru namun kemudian mati.

Pencarian lebih lanjut tentang lagu ini membawa saya pada ulasan lain. Lagu ini diciptakan oleh Mike Batt untuk mengenang kepergian ayahnya yang meninggal karena kanker. Ternyata lagu ini cukup populer untuk dirilis ulang oleh beberapa penyanyi. Dan yang mengejutkan lagi, lagu ini menduduki tangga pertama chart di UK pada tanggal yang sama saat saya berulang tahun di rumah karena terkena sakit cacar air. Saya ingat karena saat itu merupakan sekali seumur hidup saya merayakan ulang tahun dengan beristirahat sakit dan hanya mandi bedak :P

Kembali ke arti lagu Bright Eyes, satu pernyataan muncul kembali dalam ingatan saya. Suatu kali saya mendengar orang berbicara dalam percakapan di tv (saya lupa siapa yang berbicara, atau berceramah, atau berdialog di film/acara tv) bahwa dalam hidup hanya ada satu hal saja yang pasti: setiap manusia pada akhirnya akan meninggal dunia. Yang lain, meskipun itu baik, buruk, senang, ataupun susah dalam kehidupan, semuanya tidak pasti. Namun justru untuk satu hal yang pasti, manusia seringkali bertanya-tanya: apakah ini mimpi? Apakah ini sudah kejadian? Mungkin karena kematian itu pasti, banyak hal yang tidak pasti justru menjadi terlalu menarik untuk diperhatikan.

Bagi saya sendiri, kematian itu justru harus penuh persiapan. Memang saya tidak tahu berapa panjang rahmat umur yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada saya, namun saya mencoba untuk tidak lengah. Ada bagian dari hidup saya yang sedikit ini, sudah lama saya siapkan untuk menjadi bekal melihat lorong-lorong gelap yang mungkin nanti saya temukan. Mata hati saya juga sebisa mungkin untuk terlatih dalam menyerahkan akhir dari segala usaha yang sudah saya jalankan, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kepada Sang Khalik. Semuanya memberi saya kekuatan untuk menjalani hidup dengan berani, sekaligus berendah hati bila kelak saya harus mencari kehidupan yang baru. Semoga...

***

When will I See You Again
Sang by Three Degrees

Hoowoo, Haaaa
Haaaa, Hoowoo
Precious moments

When will I see you again?
When will we share precious moments?
Will I have to wait forever?
Or will I have to suffer and cry the whole night through?

When will I see you again?
When will our hearts beat together?
Are we in love or just friends?
Is this my beginning or is this the end?

When will I see you again?
(When will I see you again?)
When will I see you again?

Haaaa, Hoowoo
Precious moments

Are we in love or just friends?
Is this my beginning or is this the end?
When will I see you again?
(When will I see you again?)
When will I see you again?
(When will I see you again?)
When will I see you again?
(When will I see you again?)
When will I see you again?

Lagu ini saya dengarkan saat saya ‘bolos’ kerja selama 1 jam pagi tadi, dan sibuk memilah-milah ransel di salah satu pertokoan. Begitu asyiknya saya mendengarkan lagu ini sampai-sampai penjaga toko heran melihat saya yang saat itu mematut diri di depan kaca dengan ransel baru di punggung sambil berkomat-kamit menggumam lirik lagu ini. Beruntung saya bukan dianggap orang gila, karena mana mungkin orang gila bisa berpenampilan keren :P Kalau hanya agak gila, ya mungkin juga… Maklum, jika sedang ada sesuatu yang nggilani, terkadang perasaan juga jadi ikut nggilani. Tapi saya harus absen dulu beberapa saat, dan dituntut untuk berkonsentrasi (tanpa perlu membengkokan sendok). Insya Alloh jika semua lancar, saya bisa menyelesaikan “S” yang satu ini, sebelum kembali menyerbu es teler di warung-warung seputar Jakarta:). Cheers...

When will I see you again? When will I see you again? When…will I see you again?

posted by Leo at 13:18

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004