|
Friday, June 25, 2004 |
|
Wellington 24 June 2004
Bangun seperti biasa jam 5.30. Jam 7.30 sudah siap berangkat. Rencananya setelah sarapan akan jalan-jalan lagi di tepi pantai sambil nunggu Te Papa Museum dibuka.
Makan pear di tepi pantai cukup menenangkan, meski udara cukup dingin. Beberapa orang lari pagi atau jalan-jalan dengan keluarganya. Sebagian lain berjalan kaki cepat menuju kantor. Beberapa burung camar datang mendekat, mengira akan diberi makanan…hilir mudik sambil mengamati kalau ada cuilan makanan dilemparkan atau terjatuh.
Jam 9 tepat langsung menuju gerbang Te Papa…ternyata jam karet juga…karena baru dibuka jam 10, alasannya karena ada conference. Waktu akhirnya dihabiskan window shopping di gallery shop dan food court.
Te Papa luas sekali. Meski 'cuma' enam lantai, tapi ternyata saya bisa menghabiskan 7 jam di dalamnya. Masuk gratis, kecuali di beberapa pameran di lantai 3. Lantai satu cuma gallery shop, food court dan tempat penitipan barang. Lantai dua, ada information desk dan gallery/diorama terbentuknya daratan NZ dan fauna yang mendiami NZ dari dulu sampai sekarang, baik yang di laut maupun di darat. Dua pulau besar NZ ternyata berasal dari Gondwana, benua purba yang terpecah karena pergeseran lempeng bumi menjadi Benua Afrika, Madagaskar, Semenanjung Arab dan Turki, Semenanjung India, Australia, Papua, NZ, Antartika dan Amerika Selatan.
Berbagai sejarah kepurbakalaan dikemas menarik dengan diorama, bahkan ada simulasi gempa. Pameran fauna laut dan darat di NZ, baik yang asli NZ maupun yang bawaan dari Eropa dan benua lainnya dikemas dengan baik dan menarik. Bahkan untuk anak-anak tersedia discovery room, tempat berinteraksi dengan ilmu pengetahuan tentang fauna lewat video, buku, diagram dan permainan. Arena lainnya di lantai dua ini ada Time Wrap, perjalanan ke masa depan dan masa lampau. Satu paket Time Wrap $15, tapi saya pilih ikut perjalanan masa lampau saja, sambil ingin merasakan 'kursi goyang' dan layar 3 dimensinya. Kecele...ternyata tidak sebagus Keong Mas. Lebih mirip wahana teater simulator di Dufan. Arena lainnya adalah pusat cerita untuk anak-anak dan the Bush City. Pengunjung the Bush City bisa masuk lorong-lorong tanaman dan pergi sesuai dengan petunjuk jalan. Bagi anak-anak mungkin menyenangkan, bagi saya biasa saja.
Lantai tiga merupakan tempat pertemuan, pameran yang tidak gratis, dan beberapa pameran keramik. Lantai empat menyajikan pameran budaya Maori dan Pacific Islands, juga ada pameran adat pernikahan India yang dipersiapkan komunitas India di Wellington. Selain itu ada pameran sejarah NZ yang mencakup sejarah interaksi antara pendatang kulit putih dan Maori. Juga diperlihatkan foto-foto bersejarah, kostum dan rumah adat. Bangsa kulit putih tidak saja datang dari Inggris, tetapi banyak juga yang berasal dari Irlandia, Yunani, Jerman, dll. Yang tampak jelas dari foto-foto tersebut adalah banyaknya pohon-pohon ditebangi dan bukit-bukit yang menjadi latar belakang foto terlihat nyaris atau sudah gundul. Menurut dosen saya, hal ini terjadi saat gold rush, penemuan emas yang menarik banyak pendatang untuk mengadu nasib di tambang-tambang emas. Bukti penggundulan hutan sampai sekarang masih terlihat karena banyak bukit-bukit di NZ hanya ditumbuhi rerumputan untuk ladang penggembalaan dan semak-semak. Pohon yang ada sebagian besar merupakan hasil penanaman kembali yang tampak berjajar seragam, terutama dari jenis pinus. Mungkin itu sebabnya pemerintah NZ menetapkan setiap hutan yang tersisa dan boleh dikata masih asli atau telah pulih dari penebangan menjadi taman nasional.
Yang tak kalah menarik adalah pameran karya ukir Maori. Jenis ukirannya mirip ukiran-ukiran dari Indonesia Timur. Sebagian juga mirip dengan ukiran suku Dayak di Kalimantan. Menurut sejarah, orang Maori datang dari wilayah Asia Tenggara dan mereka berpencar dan kemudian menetap di kepulauan Pacific dan membentuk negara-negara kecil yang sekarang dikenal sebagai Samoa, Tuvalu, Tonga, Nauru, Kiribati dll. Mudahnya akses bagi penduduk dari negara-negara kecil ini ke NZ menyebabkan banyak migrasi pencari kerja dari Pacific ke NZ. Bahkan di beberapa negara seperti Tuvalu, Nauru dan Tonga, lebih dari 50% warga negaranya bertempat tinggal dan bekerja di Auckland, NZ.
Lantai lima menampilkan karya-karya kontemporer baik lukisan, foto, maupun ornamen. Yang menarik adalah karya ornamen yang norak karena menggunakan ornamen dengan warna-warna spotlight, foto-foto yang diciprati cat putih seolah lava meleleh, bahkan tempat tidur dari batu-baru koral dan lampu warna-warni dengan meja-meja berhias alat kelamin laki-laki dan patung wanita. Belum lagi ada pameran lukisan religius dengan gambar Jesus dan cerita-cerita dalam Bible yang digambar dalam sketsa maupun lukisan kontemporer. Untuk pameran foto-foto, disandingkan antara lukisan sketsa dengan foto aslinya. Lantai enam hanya berisi pameran patung, yang seolah hanya mengisi ruang yang tersedia dan tidak menarik.
Kunjungan ke Te Papa sempat dipotong untuk makan siang, lagi-lagi di tempat yang sama, 'Eat Asian' (Asian Food, tapi boleh jadi orang Asia juga...). Meski sudah pernah sakit perut karena terlalu bersemangat makan gulai iga domba.
Sebelum kembali ke Te Papa, saya mampir ke Museum of Wellington City and Sea. Ternyata bagus sekali. Ada pertunjukan film singkat mengenai tragedi tenggelamnya kapal mewah bak Titanic, theatre dengan 'aktor-aktor berukuran kecil' (penggabungan film dan patung-patung yang dipajang) yang bercerita tentang hikayat Maori dan contoh kabin kapal tempat kapten tinggal.
Selain itu ada pameran karikatur, sangat menarik. Yang masih teringat adalah betapa "negara berkembangnya" NZ di tahun 1990-an. Salah satunya tentang landasan pesawat di bandara Welli yang tidak bisa didarati pesawat besar saking pendeknya. Dan hal ini cukup memalukan saat Sang Ratu hendak berkunjung. Belum lagi kereta yang sering terlambat dan fasilitas infrastruktur lainnya yang kalah dibandingkan negara lain. Saya juga jadi teringat pernah membaca buku yang isinya koleksi karikatur di koran. Yang menarik adalah, kalau membaca koran terbitan NZ, banyak sekali berita yang NZ-centris, sampai-sampai ada karikatur yang memperlihatkan bagaimana kalau orang NZ ngobrol mereka selalu bilang "Me..me..me..me", yang secara tidak langsung menunjukkan orang NZ terlalu NZ-centris. Mungkin seperti ini perlu juga dicontoh di Indo karena menunjukkan kebanggaan menjadi bangsa Indo. NZ selalu bangga dengan segala macam Kiwi success story-nya, meski kadang terkesan berlebihan.
Kembali ke Te Papa jam 4 dan keluar lagi jam 7 malam untuk makan malam. Menu kali ini...Kentucky Fried Chicken. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ngidam ingin makan ayam dari resep bapak tua berkumis putih yang ramah. Acara malam hari tidak banyak, hanya membaca koran, kemas-kemas dan pesan shuttle untuk ke terminal Ferry. Sebelum tidur sempat juga baca novel "The Reader".
posted by Leo at 06:14
|
|
|
|
|
|
Home