<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, August 07, 2004

Film Festival

Dua minggu tanpa terasa berlalu. Keinginan untuk menulis lagi untuk blog baru terlaksana sekarang. Semula ingin memberikan ulasan tentang film-film yang ikut dipertontonkan pada International Film Festival; tapi karena tidak ada waktu untuk menonton akhirnya saya cuma mengumpulkan resensinya saja (akan diupload kemudian).

Kekecewaan terbayar. Ada film festival tandingan, dekat lagipula gratis. Film-film-nya cukup beragam, meski tidak semuanya baru. Beberapa film yang berhasil saya tonton, karena kecocokan waktu, di antaranya City of God, My Life as a Dog, Rabbit Proof Fence dan Bad Boy Bubby. Secara kebetulan semuanya terkait dengan anak-anak dan proses perkembangan mereka menjadi dewasa. Keempat film tersebut memberikan dimensi yang berbeda bagaimana anak-anak menyikapi lingkungan dan mengolahnya sebagai masukan untuk pilihan tingkah laku dan kepribadian mereka.

Film City of God (2003) menggambarkan bagaimana anak-anak seolah tumbuh tercerai berai dari masyarakat yang sudah lepas kendali. Film yang didasarkan atas kisah nyata ini memberi gambaran bagaimana anak-anak belajar dari lingkungan yang brutal untuk menjadi lebih brutal. Kekerasan, kekuasaan dan kekayaan adalah cita-cita mereka. Dari sedikit yang beruntung adalah Rocket, seorang anak yang bisa memilah-milah berbagai kejadian dan kebiasaan buruk di sekitarnya menjadi pelajaran untuk tidak ikut arus dan tetap tumbuh ‘normal’. Dia menjadi satu mukjizat dari legenda hitam di satu kawasan kumuh di Rio de Janeiro, Brazil.

Dalam My Life as a Dog (1985), seorang anak laki-laki, Ingemar (diperankan dengan sangat natural oleh Anton Glanzelius), sedang tersudutkan oleh kehidupan yang sedang menanjak dewasa. Ancaman hilangnya kasih sayang ibu yang sangat dia cintai dan hilangnya kebersamaan dengan keluarga begitu nyata. Jika Ingemar mengibaratkan dirinya sebagai anjing, dia hanya ingin berteriak bila sedih dan tak perduli dengan semua kejadian di sekelilingnya. Namun dalam ‘kesendirian’-nya, Ingemar terpaksa belajar dan memahami kesedihan, kehilangan, kematian, dan hidup baru. Transformasi pendewasaan Ingemar digambarkan dengan alur cerita anak-anak yang polos dan penuh harap.

Lain halnya dengan Rabbit Proof Fence (2002) yang menggambarkan betapa kurang beruntungnya anak-anak dari kelompok minoritas yang dianggap berpenyakit hanya karena berbeda ras dan warna kulit; dan oleh karena itu mereka diambil dari keluarga mereka untuk dimasukkan dalam laboratorium pemutihan ras. Film ini didasarkan fakta sejarah Australia di awal abad ke-20, saat tiga anak suku Aborigin, Molly, Daisy dan Gracie Craig, berjuang untuk kembali ke keluarga mereka. Meskipun lemah dalam segala hal, tapi keyakinan dan daya hidup mereka lebih besar dari cita-cita muluk Pemerintah Australia saat itu. Kebijakan pemisahan anak-anak aborigin dari keluarganya untuk ‘diputihkan’ berlangsung dari awal abad ke-20 sampai tahun 1970.

Film terakhir, Bad Boy Bubby (1993), tidak saya tonton sampai tuntas karena begitu ‘mengganggu’-nya. Pesan yang paling jelas saya tangkap dari film ini adalah kegagalan seorang anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, termasuk dalam pemikiran dan tingkah laku. Dia hanya tumbuh untuk meniru ibunya, menuruti ibunya dan percaya bahwa dunia luar lebih buruk dari semua kata-kata dan perlakuan ibunya. Seorang anak yang ‘sukarela’ dimanipulasi kehidupannya selama 31 tahun, tanpa pernah bertanya mengapa sinar matahari yang melewati satu-satunya jendela di rumahnya bisa begitu terik suatu waktu dan hilang di lain waktu. Seorang anak yang begitu bebas dari manipulasi menjadi tak terkendali dengan euphoria keingintahuannya. Seorang anak yang menurut saya telah membunuh esensi pribadinya sendiri. Kesan absurd film ini saya rasakan sejak menit-menit pertama. Saya merasa ada konflik antara perasaan ingin menolak tema film ini tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata, dan perasaan bahwa saya pernah mendengar atau membaca berita dengan kejadian yang sama.

Empat film, empat tema, empat dimensi kehidupan dan perkembangan anak-anak yang berbeda.

posted by Leo at 06:27

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004