<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, August 27, 2005

Bukuku

Lebih dari dua minggu yang lalu saya mendapat sambitan sepihak dari Jeng Nana mengenai koleksi buku yang saya miliki. Terus terang saja, koleksi saya termasuk yang jauh dari istimewa, dan karena itulah saya baru menjawab sambitan itu sekarang (sorry ya Jeng...).

Flash back sedikit tentang pengalaman waktu kecil. Waktu itu koleksi buku kami sudah cukup untuk dapat membuka perpustakaan kecil di teras rumah. Koleksinya terdiri dari sastra lama, ensiklopedia sederhana, berbagai hikayat nusantara, komik HC Anderson, dan berbagai majalah (TomTom, Bobo, Kawanku, Ananda, Hai). Kami juga beberapa kali membeli buku-buku bekas di pasar loak Cihapit dan Cikapundung. Salah satunya adalah Little House in the Prairie by Laura Ingalls Wilder. Buku yang istimewa karena memiliki ilustrasi sederhana di lembaran-lembarannya dan karena serial dengan judul sama masih diputar di TVRI.

Saat SD, SMP dan SMA, saya lebih suka meminjam buku ke perpustakaan daripada membeli. Apalagi uang saku tidak banyak. Kebetulan juga, koleksi perpustakaan di SD, SMP dan SMA saya cukup banyak. Buku-buku yang saya pinjam cukup beragam. Yang non fiksi mencakup buku-buku bertopik tumbuhan, hewan, geografi, sejarah (terutama kerajaan dan pahlawan), dan astronomi. Untuk fiksi, saya paling suka cerita detektif, komik Tintin dan Asterix.

Sekarang? Masih sama saja: malas membeli buku, selagi ada perpustakaan atau ada pinjaman dari teman. Dan kalau ditanya buku terbaik yang pernah saya baca, rasanya jawabannya akan sama dengan pertanyaan siapa tokoh idola saya = tidak ada. Sekarang, saya paling banyak mengkoleksi buku-buku yang terkait dengan latar belakang akademik saya, kemudian diikuti oleh buku-buku self-help termasuk buku-buku kuliner, fitness/olah raga, kesehatan, pertamanan, disain interior, kerajinan tangan, keagamaan dan terakhir: fiksi.

Buku fiksi yang terakhir dibaca:
  • The Da Vinci Code (sedang dalam proses), dan Angels and Demons, keduanya karya Dan Brown. Kesan saya: menarik tapi membuat kesal karena bertele-tele; terlalu detil.
  • Totto-Chan: Gadis Kecil di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Kesan saya: sangat menarik karena ceritanya sederhana, rendah hati, terasa dekat dan sekaligus mengingatkan bahwa pendidikan itu berisi kreativitas, pengertian, kesabaran dan kelapangan dada.
  • Satu novel dari Inggris yang saya lupa judulnya. Bukunya tentang penulis luntang-lantung yang terjebak dalam urusan spionase yang konyol.
  • The Reader karya Bernhard Schlink, yang bercerita tentang love affair yang tidak biasa seusai perang dunia kedua. Kesan saya setelah membaca buku ini: cinta sejati itu untuk siapa saja, tapi cinta sejati juga mahal dan terkadang tidak mudah dimengerti.
Buku non fiksi yang terakhir dibaca (mohon dilewat saja, karena tidak menarik):
  • Multivariate data analysis by Hair, Anderson, Tatham, & Black.
  • The ethnographic interview by Spradley.
  • A manual for repertory grid technique by Fransella, Bell, & Bannister.
  • Judgment under uncertainty: heuristics and biases by Kahneman, Slovic & Tversky (Eds.).
  • The construction of group realities, culture, society, and personal construct theory by Kalekin-Fishman & Walker (Eds.)
Meski bukan yang terbaik, inilah buku-buku pilihan saya:
  • Semua seri Agatha Christie (pelik tapi padat)
  • Little House in the Prairie dan Totto-Chan (mengingatkan pada masa kecil)
  • Betty Crocker's New Cookbook: Kitchen Library (praktis dan mudah diikuti)
  • Trilogy Wimbledon: Wimbledon Poisoner, They came from SW 19 dan East of Wimbledon by Nelson Williams (dua yang disebutkan pertama amat sangat lucu)
  • Banish Your Belly: The Ultimate Guide for Achieving a Lean, Strong Body (ehem...)
  • Waki Yamato's Miss Modern (kartun Jepang yang luar biasa lucu)
Sebenarnya banyak juga buku dari penulis tanah air yang pernah saya baca; sebagian besar novel meski saya sering lupa judulnya. Yang teringat malah buku-buku karya angkatan 45, novel-novel karya NH Dini, ditambah "Saman" dan "Larung" karya Ayu Utami, dan "Olenka" karya Budi Dharma. Yang disebutkan terakhir mengingatkan saya pada kegagalan membuat ulasan novel ini untuk tugas sastra di SMA...susah...

Buku-buku koleksi dan pilihan saya termasuk ringan. Saya juga lebih suka bentuk tulisan yang ada gambarnya dibandingkan yang melulu berisi tulisan. Jika ditanya, bentuk tulisan apa yang paling saya suka? Saya dengan pasti menjawab: koran!

posted by Leo at 19:42

Saturday, August 13, 2005

Lamongan, The Series (Finale: It's all about impression)

Dia yang Meninggalkan Kesan untuk Banyak Orang
Saat memasuki rumah-rumah penduduk untuk wawancara, saya sering kali menemukan foto dan gambar yang hampir sama. Foto yang mudah saya kenali adalah foto Gus Dur, Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla (sengaja saya urutkan karena yang disebutkan pertama adalah yang terbanyak). Selain itu ada kalender bergambar Bupati Lamongan saat ini (dengan latar belakang feature Lamongan atau Persela-Persatuan Sepak Bola Lamongan) dan lambang burung Garuda. Saya tidak tahu apa kalender itu gratis atau suatu bentuk penyaluran sumbangan, tapi yang saya tahu banyak penduduk yang membeli dan memasang foto-foto itu sebagai bentuk penghormatan.

Selain tokoh-tokoh pemerintahan, penduduk juga memasang foto-foto pendiri NU, imam/ulama asal Iran (kalau saya tidak salah dengar), dan sebuah foto dari seorang kyai muda berkumis tipis rapi, berpeci dan sedang memegang tasbih. Yang terakhir ini hanya dipasang di satu desa saja, tapi tidak di desa lain. Beberapa kali research assistant saya bertanya kepada para tuan rumah, siapakah kyai muda di foto itu, tapi semua orang yang ditanya menjawab tidak tahu. Lalu kenapa dipasang? Baru setelah saya tanya kepada Kelapa Dusun, didapat informasi bahwa beliau adalah ustad yang disegani tapi meninggal dalam usia muda. Pertanyaan berikutnya, siapa yang menganjurkan memasang foto itu jika semua orang yang ditanya tidak tahu siapa dia? Tapi saya urung bertanya karena orang-orang yang dipajang fotonya itu pasti sudah meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang di desa, entah itu setelah bertemu langsung, melihat foto/gambarnya atau dari sekedar mendengar cerita tentang jasa/kebesarannya.

Kalau saya sendiri, sampai saat ini rasanya tidak ada orang yang memasang foto saya. Yah mungkin saya belum dapat meninggalkan kesan yang berarti. Apalagi pertanyaan-pertanyaan saya sering membuat orang menjadi stress.

Wawancara Berasap
Hampir 90 persen responden saya adalah perokok berat sehingga adalah tidak mungkin untuk meminta para responden saya untuk tidak merokok. Termasuk juga research assistant saya yang menggunakan alasan merokok untuk mengusir kantuk. Beberapa kali saya terpaksa menahan nafas selama mereka menjawab, untuk menghindari asap rokok.

Sampai sekarang saya tidak mengerti mengapa orang mau merokok (sorry to DJ :)). Mungkin di sini sulit sekali mengurangi kebiasaan rokok karena rokok tidak mahal dan jenis rokok lokal yang murah meriah begitu banyak. Satu yang saya syukuri adalah bila di NZ, teman-teman Indo biasanya langsung berhenti merokok atau mengurangi rokok karena harga rokok begitu mahal. Yang termurah harganya lebih dari NZ$ 17 atau hampir Rp.120.000.

Kebiasaan merokok, sepertinya bukan saja terkait dengan masalah ketagihan karena banyak orang awalnya mulai merokok karena alasan kesan yang ditimbulkannya. Ini bisa dilihat dari isi iklan-iklan rokok. Penyetaraan perilaku dengan isi iklan sedikit banyak ada pengaruhnya, meski mungkin untuk para responden, merokok bisa mereka untuk mengurangi rasa grogi dan membuat lebih santai menjawab. Sejak awal, saya sudah bertekad untuk bertoleransi jika memang para responden saya ingin merokok. Saya masih bersyukur bahwa para responden saya masih semangat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

Teh Manis Versus Soft Drink
Berbagai suguhan saat wawancara juga bisa melumerkan suasana wawancara yang serius. Research assistant saya bahkan sering bercanda kepada orang-orang di desa bahwa hampir di setiap rumah dia kekenyangan minum teh manis. Yang terjadi kemudian adalah teh manis diganti total dengan soft drink. Bila dalam sehari saya mewawancarai 4 orang, itu berarti kami akan minum 4 botol soft drink.

Sebenarnya saya jarang sekali minum soft drink, kecuali saat kumpul-kumpul dengan teman-teman Indo di NZ. Saya juga tidak pernah menyimpan persediaan soft drink di kulkas, dan bila teman-teman berkunjung ke flat saya, suguhan minumnya hanya juice atau air putih. Saya memang mengurangi konsumsi soft drink. Mungkin di beberapa tempat, soft drink masih dianggap sebagai simbol status dan bisa digunakan sebagai bentuk penghargaan kepada tamu. Jadi, saya patut bersyukur, alhamdulillah, sudah dihargai. Saatnya untuk sebentar melupakan air putih dan mengajukan pertanyaan kapan saja dan dimana saja, dengan ditemani oleh beberapa botol soft drink. Yang sekarang saya tunggu adalah suguhan air putih dari YNa, apabila nanti sempat berkunjung ke Serang (kapan ya?). Air putih itu bisa menghilangkan pusing.

Rekaman Versus Acara TV dan Musik Hajatan
Sekarang saya masih bekerja keras untuk memindahkan hasil rekaman wawancara ke bentuk tulisan. Sulit, apalagi jika suara yang terdengar lebih didominasi oleh suara kendaraan bermotor, mainan anak-anak, kokokan ayam, kicauan burung, suara anak-anak bermain, telenovela, infotainment dan konser hajatan. Tiga yang disebutkan terakhir itu yang paling mengganggu.

Pernah saat wawancara, keluarga responden saya sedang menonton telenovela India atau Latin dengan suara yang bisa melewati batas tembok ruangan. Alhasil, yang terekam jadinya seperti tangisan sepasang kekasih: "Ini semua memang salahku, hiks, hiks"--- "Tidak, itu salahku, hiks, hiks" (dalam hati saya membatin: ya sudah, tidak usah rebutan siapa yang salah, dibagi rata saja kan beres, jangan mau menang sendiri!) atau saat lainnya terdengar "Siapa kau? Lancang sekali masuk ke rumah ini" --- (Dijawab dengan nada suara bengis dan penuh kebanggaan) "Saya adalah wanita penyamar yang terkenal itu!" Pusing sekali mendengarkan pembicaraan seperti itu, apalagi pola sulih suara telenovela itu sudah begitu khas.

Kali lainnya, seusai maghrib, saya mewawancarai seorang responden di rumahnya. Saat itu suasana sepi dan yang terdengar adalah acara infotainment yang sedang ditonton istri dan anak laki-laki sang responden. Sang responden berbicara begitu pelan dan anehnya saya jadi ikut-ikutan berbicara pelan. Alhasil, yang terdengar adalah sengitnya suara artis pujaan Jeng Nana: Si Miss No Comment--Neng Desi Ratnasari, yang berusaha mati-matian membantah kalau dia akan bercerai. Jadilah rekaman wawancara saya penuh dengan ulasan lengkap kilas balik sejarah pacaran, pernikahan dan perceraian Neng Desi. Pusing dua kali.

Yang paling menganggu adalah suara speaker dari tetangga yang hajatan. Entah di desa atau di kota, sang empunya hajat biasanya menyetel musik keras-keras untuk memberi kesan kemeriahan atau untuk memberi petunjuk jalan pada tamu-tamu yang akan datang. Di desa tempat saya wawancara, speakernya bisa setinggi 2.5 meter yang diletakkan di sisi kiri dan kanan rumah. Tidak kalah dengan konser Padi di Lamongan beberapa minggu yang lalu. Musik yang diputar di hajatan biasanya dangdut, terutama Inul. Terkadang si empunya lupa mengecilkan volume pada saat azan terdengar.

Beberapa kali saya terpaksa melakukan wawancara di rumah-rumah yang bertetangga dengan si empunya hajat. Alhasil, yang terdengar di rekaman adalah suara Inul, Uut Permatasari, sampai Alam dengan "Mbah Dukun"-nya, Basofi dengan "Tidak Semua Laki-laki", Vetty Vera yang takut dipukul bapaknya karena ketahuan jalan berdua dengan pacarnya, dan lagu Jawa yang sedang nge-top "Sri Ojo Minggat" (Sri jangan kabur). Parahnya lagi, saat mendengarkan rekaman, ibu kost sering berkaraoke keroncong serta lagu-lagu milik Ratih Purwasih dan Lilis Karlina. Suara beliau bagus, cuma volume-nya ruarrr biasa keras. Pusing tiga kali, dan kalau sudah begini saya harus pijat telinga.

Tabir Misteri yang Terkuak
Berolah raga pagi merupakan salah satu cara saya untuk tetap santai dalam memulai hari. Tapi kebiasaan saya di pagi hari ini awalnya menimbulkan kecurigaan. Pada hari-hari pertama kost di kota, saya agak-agak dicurigai oleh pemilik rumah karena selalu bangun paling pagi, lalu tidak lama setelah shalat subuh, saya sudah pergi keluar rumah. Apalagi jika malam hari, si Leo ini hanya mengurung diri di kamar. Jam 21.30 sudah sepi. Si Leo ini begitu misterius.

Jadilah suatu pagi ada salah seorang anak ibu kost yang ikut dengan saya; katanya mau beli nasi boran. Saat tahu saya jalan/lari pagi berkeliling alun-alun, besok-besoknya dia tidak pernah lagi beli nasi boran. Tapi ini bukan satu-satunya perubahaan yang terjadi di lingkungan kost. Biasanya setiap pagi para ibu duduk-duduk mengobrol di jalan sambil menunggu penjual sayur. Tapi beberapa hari ini saya melihat mereka mulai mengobrol sambil jalan pagi atau lari-lari kecil. Anak bungsu Ibu kost juga sekarang sering sit-up pagi di teras. Saya tidak tahu apakah ini akibat mereka sering melihat saya pagi-pagi sudah bersimbah keringat sehabis olah raga atau tidak.

Sekarang olah suara pagi hari para ibu sudah mulai diikuti dengan olah raga. Saya juga sekarang sudah tidak dianggap misterius lagi; bahkan tadi malam sudah bisa bergabung bersama-sama tetangga merangkai bendera merah-putih untuk hiasan jalan. Kesan terhadap diri saya sudah berubah. It's all about impression.

posted by Leo at 18:18

Saturday, August 06, 2005

Lamongan, The Series (Part 2: It's all about fitting in)

Ajakan Hidup di Lamongan
Sejak tiga minggu lalu, saya memutuskan untuk pindah dari desa ke kota. Menurut research assistant saya, kepindahan saya itu disebabkan karena saya merasa tidak nyaman sudah dijodoh-jodohkan dengan anak tunggalnya Pak Lurah yang manis. Alasan yang sebelumnya tidak terpikir.

Memang selama tinggal di tempat Pak Lurah, saya kadang-kadang merasa tidak enak bila diajak mengobrol karena arahnya selalu ke arah membentuk keluarga dan membanding-bandingkan kehidupan di kota besar dan Lamongan. Saya juga jadi teringat dengan satu wawancara. Saat itu saya mewawancarai salah seorang responden terkaya di daerah itu. Tiba-tiba neneknya masuk dan saat melihat saya, dia langsung berkomentar "Oo, ini tho yang dijodohkan... Ya cocok." Saat itu saya begitu berkonsentrasi dengan proses wawancara sehingga tidak cepat tanggap.

Tapi bila diajak tinggal di sini, apa saya mau? Belum terpikir. Untuk lima tahun ke depan saja saya belum tahu mau tinggal dimana. Yang ada dalam pikiran adalah menyelesaikan penelitian dengan lancar.

Yes, No, Emm, Sorry?
Rasanya jelas sekali kalau saya ini bukan orang Lamongan. Kemana pun saya pergi, orang-orang yang hanya beradu tatap selalu stare at me. Saya jadi sering salah tingkah. Mungkin juga bau saya agak lain sehingga secara insting mereka langsung bisa mengenali bahwa saya ini alien untuk tanah Lamongan. Mungkin juga disebabkan permintaan saya yang macam-macam seperti begitu menggilan sayur, minta es jeruk tapi dengan sedikit gula dan sedikit es, dll. Mungkin juga karena saya agak-agak panik jika diajak bicara bahasa Jawa.

Suatu pagi, dalam keadaan berkeringat setelah lari pagi, saya mampir membeli nasi boran. Saat menyapa si Mbok, saya mencoba se-natural mungkin berbahasa Jawa, meski hanya sepatah-dua patah ala bahasa Jawa survival untuk jual beli. Tapi setelah ditanya lebih banyak saya mulai bingung dan hilang konsentrasi.
Si Mbok: ngangge endok?
Leo: dadar
Si Mbok: separo?
Leo: yes
Si Mbok: (membelah dadar jadi dua dan menaruh separo ke bungkusan yang saya pesan) ulam? (sambil membuka panci berisi lauk-pauk berbumbu bali)
Leo: yes
Si Mbok: (menambahkan bandeng ke bungkusan) buntut?
Leo: yes
Si Mbok: sambel nggih?
Leo: no
Si Mbok: (diam, melihat ke saya, lalu bertanya lagi) Sambel?
Leo: tempe
Si Mbok: (mencari tempe bumbu bali dan menambahkan ke bungkusan saya, dan menambahkan menyok dan rempeyek) sambel, Mas?
Leo: no
Si Mbok: (diam, menunggu saya) mboten sambel tah?
Leo: no, eh emm...mboten, (buru-buru menambahkan) sampun cekap, pinten?
Saya baru sadar kalau tadi sudah berkomunikasi singkat dalam bahasa Jawa tarzan campur Inggris, dan si Mbok ternyata tune in juga dengan jawaban "yes" saya, meski tidak dengan jawaban "no". Ajaib. Setelah membayar dan hendak pergi, saya melihat pembeli lain memandang saya dengan heran.

Kasus kedua terjadi saat sehabis wawancara dan akan shalat Jum'at. Tuan rumah menawarkan untuk wudhu di rumahnya. Seusai wudhu dan saat meninggalkan kamar mandi, saya bertemu dengan Bapak sang responden yang berdiri di pintu kamarnya dan bersiap berangkat ke masjid.
Bapak: Bade siram, Nak?
Leo: (agak kaget mendengar sapaan orang yang tadi tidak terlihat saat pergi ke kamar mandi) Sorry?
Bapak: (diam, bingung, lalu senyum) Mandi? Siram tah?
Leo: No
Bapak: (senyum, lalu mengangguk) Assalamu'alaikum...
Leo: (sadar sudah salah jawab) ... Wa'alaikum salam...

Love Bug
Ternyata tidak hanya manusia saja yang secara insting mengenali saya bukan orang Lamongan. Serangga-pun tahu saya bukan orang Lamongan dan judul "love bug" mungkin akan lebih tepat jika diungkapkan "bugs love Leo".

Sering saat wawancara, saya tiba-tiba berdiri dan garuk-garuk karena ternyata sudah ada semut yang masuk ke celana panjang, atau serangga-serangga kecil lainnya mulai merambati kaki, lengan atau leher saya. Langung saja research assistant saya bersorak girang "Hayoh sana, mulai goyang lagi." Meski tidak seheboh goyangan Ricky Martin, tapi paling tidak hal ini sudah menimbulkan kekaguman responden saya bahwa saya begitu dicintai fans-fans dunia serangga. Kapan saja dan dimana saja, saya selalu menjadi sasaran, entah nyamuk, semut dan laba-laba. Untuk yang terakhir, saya sering berharap, jika dia merambati rambut, tangan dan kaki saya, moga-moga saya bisa jadi spiderman, atau... paling tidak adiknya spiderman.

Memang agama menganjurkan untuk beramal, apalagi kalau membunuh nyamuk setelah wudhu/mau shalat bisa mengurangi kesempurnaan shalat. Tapi kalau sampai benjol besar, ya mohon maaf, saya perlu minta toleransi juga, meski akhirnya saya agak kebablasan. Serangan serangga-serangga itu sudah membuat saya menjadi agak psycho. Sekarang saya sering menaruh nyamuk dan semut mati di atas mat electric yang saya pasang, biar serangga-serangga itu mengenali bau temannya sendiri yang jadi korban. Hereeeee's Leo! (Layaknya Jack Nicholson dalam "The Shining"... Hereeeee's Johnny!). Mungkin, sekarang serangga-serangga itu harus berpikir dua kali jika ingin menjadikan kaki, lengan dan leher saya untuk latihan panjat tebing.

Local Celebrity
Sesaat, saya bisa menjadi local celebrity di dua desa tempat saya penelitian. Nama saya yang berbau Italia atau, seperti orang-orang di desa bilang seperti nama pemain sepak bola, membuat saya mudah dikenal oleh penduduk desa.

Suatu hari, saya dan research assistant saya hendak shalat zuhur. Saat hendak masuk halaman masjid, terdengar kecipak air dan suara anak-anak kecil riuh rendah berenang di kolam masjid. Saat kami membuka pagar, anak-anak itu berteriak panik, mengira kami penjaga masjid yang biasanya akan mengusir mereka atau menghukum mereka dengan menyuruh mereka menyikati tempat wudhu. Saat mereka melihat kami, mereka berbisik-bisik: "dudu... dudu Pak Mudhin. Iku Leo (bukan, bukan pak imam masjid, itu Leo)". Mereka lalu memanggil nama saya berulang-ulang. Saya dan research assistant saya hanya tertawa geli. Sama halnya jika pagi hari datang ke desa dan bertemu anak-anak sekolah, mereka selalu berbisik/memanggil pelan, Leo... Leo.

Tidak hanya nama saya saja yang terkenal. Metoda penelitian saya juga terkenal dan menjadi pergunjingan orang satu desa. Beberapa malah sempat latihan dari contekan yang dibuat ketua kelompok agar tidak nervous saat wawancara. Saat mendengar berita ini, saya tertawa sekaligus senang karena orang-orang begitu bersemangat.

Untuk mengimbanginya, saya mencoba untuk tidak melupakan nama setiap responden yang saya sudah wawancarai. Saya memang punya kebiasaan cepat nama orang, tapi sekarang berusaha keras mengingat nama orang dan berhasil. Bahkan research assistant saya sampai terheran-heran dengan hasilnya. Saya hafal raut wajah, nama dan alamat rumah setiap responden. Setiap kali bertemu mereka, saya sekarang bisa membalas saapan orang-orang desa yang menyebutkan nama saya, dengan salam yang disertai nama mereka.

Satu nama yang tidak akan pernah saya lupa adalah nama anak Kepala Dusun. Masih sekolah taman kanak-kanak dan cukup tampan, si anak dinamai Sanchesia Ahmad Ferdinandia. Nama yang enak terdengar di telinga. Nama yang terinspirasi oleh pemain sepakbola karena sang Ibu merupakan penggemar berat sepak bola. Ternyata inspirasi nama itu bisa berasal dari mana saja dan siapa saja yang terkesan bisa menggunakannya. Nama si anak itu sudah menjadikan dia local celebrity bagi saya.

posted by Leo at 09:15

Monday, August 01, 2005

Lamongan, The Series (Part 1: It's all about food)

Berikut ini beberapa pengalaman menarik dari sekian banyak yang saya alami selama tinggal di Lamongan lebih dari satu bulan. Kali ini (masih) tentang makanan di Lamongan.
Ayo Makan Dulu
Kata-kata itu sering sekali diucapkan seusai saya melakukan wawancara. Tiba-tiba istri, anak, keponakan sampai menantu dari sang responden satu per satu muncul membawa nasi dalam bakul atau container magic jar, mangkuk sayur asam (kadang-kadang juga disertai semangkuk urap dan sayur bening/bayam), sepiring tempe dan ikan goreng (bandeng, mas dan/atau tawes), dan kadang-kadang ada juga yang membawa kerupuk, rempeyek, perkedel jagung, udang goreng, telur dadar, telur ceplok, telur asin dan nasi goreng ala Lamongan. Ini bisa terjadi jam 10-11 pagi, tengah hari, atau jam 2-3-4-5 siang/sore. Padahal sejak wawancara dimulai, saya sudah disuguhi pisang molen, odading isi kacang hijau, kacang rebus, kacang goreng, singkong goreng, kripik singkong, singkong rebus, buah-buahan (pisang ambon/raja/susu/kepok yang besar-besar, sawo kecik, semangka, salak, leci, apel), ketan, donat, teh manis, kopi manis, susu panas, kopi-susu, es jeruk, es teh, es cendol, berbagai minuman soda dingin, tempe goreng, ubi goreng, tahu goreng dan/atau biskuit. Saya sengaja mencantumkan "dan/atau" karena tidak semua disuguhkan sekaligus, tapi paling tidak sekali wawancara ada 3 suguhan di hadapan. Terkadang, saya juga "dipaksa" untuk membawa pulang. Mereka kadang-kadang sekeluarga ikut makan, kadang-kadang hanya saya dan research assistant saya saja yang "wajib" makan. Saya berusaha menghormati dengan makan sedikit dari setiap yang disuguhkan. Malam harinya biasanya saya tidak makan lagi karena siang harinya sudah kekenyangan.

Saya sering merasa malu karena kunjungan saya sebenarnya mau menimba ilmu dengan mereka, malah saya diberi segala macam suguhan. Saya juga malu karena sudah menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang menurut orang di dua desa: "sulit, membuat pusing dan menyerah". Tapi saya juga kagum dengan orang-orang desa yang begitu menghormati tamu. Pengalaman seperti ini, jika di kota besar, hanya saya temukan bila berkunjung ke rumah teman baik saya di daerah Tebet. Setiap kali berkunjung, Ibu teman saya selalu langsung pergi ke dapur, memasak untuk kami; di samping tentunya, kue-kue, keripik singkong dan teri balado (yang ditaburi cacahan daun mangkokan) selalu tersedia (selain kami juga sering dipanggil "sayang" dan "anak mama" oleh sang Ibu). Saya juga teringat masa kecil saya. Bila saya main ke rumah tetangga selalu disuruh makan, dan saya sering makan berdua dengan teman saya itu di bawah meja makan. Menunya adalah kesukaan saya: nasi-sayur asem kacang merah-tempe goreng dan ikan asin plus sambal.

Untuk kebaikan orang-orang di dua desa yang saya kunjungi, saya berdoa, semoga mereka selalu mendapatkan rejeki dan penghasilan yang mencukupi, usahanya semakin maju dan tidak kekurangan sesuatu apapun.

Menggilan Bakso
Istilah "menggilan" ini saya gunakan untuk menggambarkan orang Lamongan yang tergila-gila bakso. Istilah yang sama juga berlaku untuk orang Jatim yang saya piker merupakan penggemar bakso tulen. Bakso, makanan kenyal nan gurih dan membuat ketagihan. Saat kemarin berkeliling Lamongan, kemanapun kami berbelok, kami menemukan kedai bakso dan es degan (kelapa muda). Pengunjungnya tidak pernah surut.

Hampir semua kedai bakso di Lamongan menyuguhkan bakso yang enak dan hampir semuanya diberi trademark "Cak". Yang pernah saya coba adalah bakso (self proclaimed) "unggulan" Cak Sa'in yang terletak di sebelah burger MicMac di depan SMPN 1. Berdasarkan rekomendasi Nizar, saya juga mencoba bakso "lompongan" yang persis berada di sebelah rumahnya Nizar. Bakso urat gurih dengan porsi yang sesuai untuk ukuran snack. Murah-meriah dan nyam! Selain itu ada bakso "goyang lidah" di dekat kantor Dinas Perikanan dan Peternakan yang mengingatkan saya pada kota santri sekaligus kampung halaman si ratu goyang ngebor: Pasuruan.

Waktu itu saya tinggal dua bulan di Pasuruan dan mendengar ada bakso enak di tengah kota. Namanya bakso "goyang lidah". Berdua dengan teman, kami menempuh jarak yang cukup jauh dari desa ke tengah kota dengan becak. Saat tiba di kedai "goyang lidah", saya menjadi orang asing karena jadi sasaran tatapan semua pengunjung. Saya menjadi satu-satunya orang yang memakai celana panjang dan tidak berpeci (teman saya tidak merasa asing karena berjilbab). Semua pengunjung laki-laki yang sedang menikmati bakso memakai sarung dan kopiah atau kupluk. Meski saya terlihat aneh sendiri, tidak ada yang protes. Bersarung atau tidak, kami semua cinta bakso dan 'sepakat' kalau "goyang lidah" memang enak.

Warung bakso "goyang lidah" di Lamongan pun selalu penuh. Bahkan suatu malam saya melihat ada rombongan dalam satu bis mini turun untuk sekedar makan bakso. Suasana warung yang sempit pun menjadi luar biasa ramai. Saya pun segera menghabiskan bakso saya dan pulang; menyingkir dari serbuan orang Jatim, para pencinta bakso tulen.

Nasi Boran, Mangga, Sayur, dan Teh Manis
Selama tinggal di Lamongan, praktis saya hanya olah raga push-up dan sit-up saja di kamar. Tapi alhamdulillah, setelah sempat mudik ke Bandung untuk mengambil sepatu olah raga, sejak dua minggu terakhir saya bisa berolah raga di luar rumah. Minggu pertama, saya hanya berjalan seputar pusat kota lamongan dan keliling alun-alun setiap pagi. Minggu ini, saya sudah bisa jogging 4 putaran alun-alun tanpa henti plus 1 kali cooling down dengan jalan cepat.

Selama keliling alun-alun itulah saya memperhatikan banyak sekali ibu-ibu dengan bakulnya 'mangkal'. Pagi pertama saya "keluar rumah", saya langsung membeli; ternyata nasi boran yang diceritakan Nizar sebagai makanan khas lamongan. Menunya terdiri dari nasi, urap (daun singkong, taoge, kecipir dan parutan kelapa pedas), "menyok" (seperti combro-tanpa oncom di jero), bakwan tepung (jagungnya sangat jarang), rempeyek/kerupuk nasi dan lauk pilihan seperti telur asin, bandeng goreng, dadar telur (lebih tepatnya dadar tepung karena telurnya tidak jelas), atau ceker ayam-kepala ayam-kepala bandeng-tempe-tahu bumbu bali. Bila teman saya dari Bekasi tidak suka nasi boran, kebalikannya dengan saya yang menganggap nasi boran itu benar-benar 'eco'. Murah meriah dan penjualnya ramah.

Perkecualian adalah satu penjual nasi boran di dekat ujung pertigaan kantor pemda. Si ibu amat jarang dikunjungi pembeli. Saya jadi penasaran dan suatu pagi sengaja membeli ke ibu yang satu itu. Ternyata ibunya judes. Pantas saja tidak ada yang mau beli. Kalaupun ada yang beli, mungkin pembelinya kapok dan lebih memilih ibu-ibu di sebelahnya. Tapi...mungkin juga karena feng shui tempat "ndodok" si ibu itu kurang pas.

Hal lain yang saya amati selama jalan/lari pagi adalah banyaknya pohon mangga di sepanjang jalan Lamongan. Hampir setiap rumah punya pohon mangga (kecuali tempat kost saya). Ide bagus untuk penghijauan dan saat ini pohon-pohon mangga itu sedang semarak dengan rangkaian bunga dan buah. Melihat deretan pohon mangga, saya berkesimpulan bahwa mangga di Lamongan mungkin sudah tidak ada harganya, dan orang Lamongan pasti suka sayur dan buah.

Kesimpulan yang terakhir sebenarnya agak meragukan karena pada hari-hari pertama kost di kota, saya kesulitan mencari sayur. Yang marak adalah kedai yang menjual soto, bakso, nasi goreng, nasi mawut (nasi goreng dengan saos merah, sayuran dan cacahan hati/bakso/empela), mie goreng, pecel bandeng/lele dan tempe penyet (sayurnya hanya 4 irisan ketimun), tahu campur (semacam tahu berkuah soto cingur plus kikil dan kol putih) dan tahu tek (semacam tahu gunting). Tapi setelah survey mendalam berkeliling pusat kota Lamongan, saya bisa menemukan kedai yang lengkap menu sayurannya. Tapi saat memesan pecel dan ayam goreng tanpa nasi, saya menjadi tontonan sang penjual dkk plus orang-orang satu lesehan. Begitu pula saat memesan cap ja-i (pelafalannya bukan cap cay) tanpa nasi. Maaf saudara-saudara, karena saya memegang teguh motto "energy in = energy out" dan sepanjang siang disuruh makan oleh para responden saya, dengan terpaksa saya menampik nasinya.

Lain nasi, lain teh manis. Saya tidak bisa menampik suguhan teh manis dari responden saya; apalagi jika si tuan rumah sudah berkata "mari dihabiskan" sambil memperhatikan saya minum. Salah satu akibat dari suguhan teh manis dan segala macam penganan membuat research assistant saya cepat mengantuk saat wawancara berlangsung. Tak ayal, saya langsung usul agar dia segera ke dokter memeriksakan gula darahnya. Saya sendiri? Insya Alloh belum perlu karena saya bisa menahan diri bila dihadapkan dengan godaan berbagai suguhan dan tetap berolah raga. Memang makan itu perlu, tapi perlu juga pola makan yang seimbang dan tidak berlebih. Kesehatan dimulai dari makanan dan pola makan. It's all about food.

posted by Leo at 18:09

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004