Berbagai suguhan saat wawancara juga bisa melumerkan suasana wawancara yang serius. Research assistant saya bahkan sering bercanda kepada orang-orang di desa bahwa hampir di setiap rumah dia kekenyangan minum teh manis. Yang terjadi kemudian adalah teh manis diganti total dengan soft drink. Bila dalam sehari saya mewawancarai 4 orang, itu berarti kami akan minum 4 botol soft drink.
Sebenarnya saya jarang sekali minum soft drink, kecuali saat kumpul-kumpul dengan teman-teman Indo di NZ. Saya juga tidak pernah menyimpan persediaan soft drink di kulkas, dan bila teman-teman berkunjung ke flat saya, suguhan minumnya hanya juice atau air putih. Saya memang mengurangi konsumsi soft drink. Mungkin di beberapa tempat, soft drink masih dianggap sebagai simbol status dan bisa digunakan sebagai bentuk penghargaan kepada tamu. Jadi, saya patut bersyukur, alhamdulillah, sudah dihargai. Saatnya untuk sebentar melupakan air putih dan mengajukan pertanyaan kapan saja dan dimana saja, dengan ditemani oleh beberapa botol soft drink. Yang sekarang saya tunggu adalah suguhan air putih dari YNa, apabila nanti sempat berkunjung ke Serang (kapan ya?). Air putih itu bisa menghilangkan pusing.
Sekarang saya masih bekerja keras untuk memindahkan hasil rekaman wawancara ke bentuk tulisan. Sulit, apalagi jika suara yang terdengar lebih didominasi oleh suara kendaraan bermotor, mainan anak-anak, kokokan ayam, kicauan burung, suara anak-anak bermain, telenovela, infotainment dan konser hajatan. Tiga yang disebutkan terakhir itu yang paling mengganggu.
Pernah saat wawancara, keluarga responden saya sedang menonton telenovela India atau Latin dengan suara yang bisa melewati batas tembok ruangan. Alhasil, yang terekam jadinya seperti tangisan sepasang kekasih: "Ini semua memang salahku, hiks, hiks"--- "Tidak, itu salahku, hiks, hiks" (dalam hati saya membatin: ya sudah, tidak usah rebutan siapa yang salah, dibagi rata saja kan beres, jangan mau menang sendiri!) atau saat lainnya terdengar "Siapa kau? Lancang sekali masuk ke rumah ini" --- (Dijawab dengan nada suara bengis dan penuh kebanggaan) "Saya adalah wanita penyamar yang terkenal itu!" Pusing sekali mendengarkan pembicaraan seperti itu, apalagi pola sulih suara telenovela itu sudah begitu khas.
Kali lainnya, seusai maghrib, saya mewawancarai seorang responden di rumahnya. Saat itu suasana sepi dan yang terdengar adalah acara infotainment yang sedang ditonton istri dan anak laki-laki sang responden. Sang responden berbicara begitu pelan dan anehnya saya jadi ikut-ikutan berbicara pelan. Alhasil, yang terdengar adalah sengitnya suara artis pujaan Jeng Nana:
Si Miss No Comment--Neng Desi Ratnasari, yang berusaha mati-matian membantah kalau dia akan bercerai. Jadilah rekaman wawancara saya penuh dengan ulasan lengkap kilas balik sejarah pacaran, pernikahan dan perceraian Neng Desi. Pusing dua kali.
Yang paling menganggu adalah suara speaker dari tetangga yang hajatan. Entah di desa atau di kota, sang empunya hajat biasanya menyetel musik keras-keras untuk memberi kesan kemeriahan atau untuk memberi petunjuk jalan pada tamu-tamu yang akan datang. Di desa tempat saya wawancara, speakernya bisa setinggi 2.5 meter yang diletakkan di sisi kiri dan kanan rumah. Tidak kalah dengan konser Padi di Lamongan beberapa minggu yang lalu. Musik yang diputar di hajatan biasanya dangdut, terutama Inul. Terkadang si empunya lupa mengecilkan volume pada saat azan terdengar.
Beberapa kali saya terpaksa melakukan wawancara di rumah-rumah yang bertetangga dengan si empunya hajat. Alhasil, yang terdengar di rekaman adalah suara Inul, Uut Permatasari, sampai Alam dengan "Mbah Dukun"-nya, Basofi dengan "Tidak Semua Laki-laki", Vetty Vera yang takut dipukul bapaknya karena ketahuan jalan berdua dengan pacarnya, dan lagu Jawa yang sedang nge-top "Sri Ojo Minggat" (Sri jangan kabur). Parahnya lagi, saat mendengarkan rekaman, ibu kost sering berkaraoke keroncong serta lagu-lagu milik Ratih Purwasih dan Lilis Karlina. Suara beliau bagus, cuma volume-nya ruarrr biasa keras. Pusing tiga kali, dan kalau sudah begini saya harus pijat telinga.
Tabir Misteri yang Terkuak
Berolah raga pagi merupakan salah satu cara saya untuk tetap santai dalam memulai hari. Tapi kebiasaan saya di pagi hari ini awalnya menimbulkan kecurigaan. Pada hari-hari pertama kost di kota, saya agak-agak dicurigai oleh pemilik rumah karena selalu bangun paling pagi, lalu tidak lama setelah shalat subuh, saya sudah pergi keluar rumah. Apalagi jika malam hari, si Leo ini hanya mengurung diri di kamar. Jam 21.30 sudah sepi. Si Leo ini begitu misterius.
Jadilah suatu pagi ada salah seorang anak ibu kost yang ikut dengan saya; katanya mau beli nasi boran. Saat tahu saya jalan/lari pagi berkeliling alun-alun, besok-besoknya dia tidak pernah lagi beli nasi boran. Tapi ini bukan satu-satunya perubahaan yang terjadi di lingkungan kost. Biasanya setiap pagi para ibu duduk-duduk mengobrol di jalan sambil menunggu penjual sayur. Tapi beberapa hari ini saya melihat mereka mulai mengobrol sambil jalan pagi atau lari-lari kecil. Anak bungsu Ibu kost juga sekarang sering sit-up pagi di teras. Saya tidak tahu apakah ini akibat mereka sering melihat saya pagi-pagi sudah bersimbah keringat sehabis olah raga atau tidak.
Sekarang olah suara pagi hari para ibu sudah mulai diikuti dengan olah raga. Saya juga sekarang sudah tidak dianggap misterius lagi; bahkan tadi malam sudah bisa bergabung bersama-sama tetangga merangkai bendera merah-putih untuk hiasan jalan. Kesan terhadap diri saya sudah berubah. It's all about impression.
Home