<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, August 06, 2005

Lamongan, The Series (Part 2: It's all about fitting in)

Ajakan Hidup di Lamongan
Sejak tiga minggu lalu, saya memutuskan untuk pindah dari desa ke kota. Menurut research assistant saya, kepindahan saya itu disebabkan karena saya merasa tidak nyaman sudah dijodoh-jodohkan dengan anak tunggalnya Pak Lurah yang manis. Alasan yang sebelumnya tidak terpikir.

Memang selama tinggal di tempat Pak Lurah, saya kadang-kadang merasa tidak enak bila diajak mengobrol karena arahnya selalu ke arah membentuk keluarga dan membanding-bandingkan kehidupan di kota besar dan Lamongan. Saya juga jadi teringat dengan satu wawancara. Saat itu saya mewawancarai salah seorang responden terkaya di daerah itu. Tiba-tiba neneknya masuk dan saat melihat saya, dia langsung berkomentar "Oo, ini tho yang dijodohkan... Ya cocok." Saat itu saya begitu berkonsentrasi dengan proses wawancara sehingga tidak cepat tanggap.

Tapi bila diajak tinggal di sini, apa saya mau? Belum terpikir. Untuk lima tahun ke depan saja saya belum tahu mau tinggal dimana. Yang ada dalam pikiran adalah menyelesaikan penelitian dengan lancar.

Yes, No, Emm, Sorry?
Rasanya jelas sekali kalau saya ini bukan orang Lamongan. Kemana pun saya pergi, orang-orang yang hanya beradu tatap selalu stare at me. Saya jadi sering salah tingkah. Mungkin juga bau saya agak lain sehingga secara insting mereka langsung bisa mengenali bahwa saya ini alien untuk tanah Lamongan. Mungkin juga disebabkan permintaan saya yang macam-macam seperti begitu menggilan sayur, minta es jeruk tapi dengan sedikit gula dan sedikit es, dll. Mungkin juga karena saya agak-agak panik jika diajak bicara bahasa Jawa.

Suatu pagi, dalam keadaan berkeringat setelah lari pagi, saya mampir membeli nasi boran. Saat menyapa si Mbok, saya mencoba se-natural mungkin berbahasa Jawa, meski hanya sepatah-dua patah ala bahasa Jawa survival untuk jual beli. Tapi setelah ditanya lebih banyak saya mulai bingung dan hilang konsentrasi.
Si Mbok: ngangge endok?
Leo: dadar
Si Mbok: separo?
Leo: yes
Si Mbok: (membelah dadar jadi dua dan menaruh separo ke bungkusan yang saya pesan) ulam? (sambil membuka panci berisi lauk-pauk berbumbu bali)
Leo: yes
Si Mbok: (menambahkan bandeng ke bungkusan) buntut?
Leo: yes
Si Mbok: sambel nggih?
Leo: no
Si Mbok: (diam, melihat ke saya, lalu bertanya lagi) Sambel?
Leo: tempe
Si Mbok: (mencari tempe bumbu bali dan menambahkan ke bungkusan saya, dan menambahkan menyok dan rempeyek) sambel, Mas?
Leo: no
Si Mbok: (diam, menunggu saya) mboten sambel tah?
Leo: no, eh emm...mboten, (buru-buru menambahkan) sampun cekap, pinten?
Saya baru sadar kalau tadi sudah berkomunikasi singkat dalam bahasa Jawa tarzan campur Inggris, dan si Mbok ternyata tune in juga dengan jawaban "yes" saya, meski tidak dengan jawaban "no". Ajaib. Setelah membayar dan hendak pergi, saya melihat pembeli lain memandang saya dengan heran.

Kasus kedua terjadi saat sehabis wawancara dan akan shalat Jum'at. Tuan rumah menawarkan untuk wudhu di rumahnya. Seusai wudhu dan saat meninggalkan kamar mandi, saya bertemu dengan Bapak sang responden yang berdiri di pintu kamarnya dan bersiap berangkat ke masjid.
Bapak: Bade siram, Nak?
Leo: (agak kaget mendengar sapaan orang yang tadi tidak terlihat saat pergi ke kamar mandi) Sorry?
Bapak: (diam, bingung, lalu senyum) Mandi? Siram tah?
Leo: No
Bapak: (senyum, lalu mengangguk) Assalamu'alaikum...
Leo: (sadar sudah salah jawab) ... Wa'alaikum salam...

Love Bug
Ternyata tidak hanya manusia saja yang secara insting mengenali saya bukan orang Lamongan. Serangga-pun tahu saya bukan orang Lamongan dan judul "love bug" mungkin akan lebih tepat jika diungkapkan "bugs love Leo".

Sering saat wawancara, saya tiba-tiba berdiri dan garuk-garuk karena ternyata sudah ada semut yang masuk ke celana panjang, atau serangga-serangga kecil lainnya mulai merambati kaki, lengan atau leher saya. Langung saja research assistant saya bersorak girang "Hayoh sana, mulai goyang lagi." Meski tidak seheboh goyangan Ricky Martin, tapi paling tidak hal ini sudah menimbulkan kekaguman responden saya bahwa saya begitu dicintai fans-fans dunia serangga. Kapan saja dan dimana saja, saya selalu menjadi sasaran, entah nyamuk, semut dan laba-laba. Untuk yang terakhir, saya sering berharap, jika dia merambati rambut, tangan dan kaki saya, moga-moga saya bisa jadi spiderman, atau... paling tidak adiknya spiderman.

Memang agama menganjurkan untuk beramal, apalagi kalau membunuh nyamuk setelah wudhu/mau shalat bisa mengurangi kesempurnaan shalat. Tapi kalau sampai benjol besar, ya mohon maaf, saya perlu minta toleransi juga, meski akhirnya saya agak kebablasan. Serangan serangga-serangga itu sudah membuat saya menjadi agak psycho. Sekarang saya sering menaruh nyamuk dan semut mati di atas mat electric yang saya pasang, biar serangga-serangga itu mengenali bau temannya sendiri yang jadi korban. Hereeeee's Leo! (Layaknya Jack Nicholson dalam "The Shining"... Hereeeee's Johnny!). Mungkin, sekarang serangga-serangga itu harus berpikir dua kali jika ingin menjadikan kaki, lengan dan leher saya untuk latihan panjat tebing.

Local Celebrity
Sesaat, saya bisa menjadi local celebrity di dua desa tempat saya penelitian. Nama saya yang berbau Italia atau, seperti orang-orang di desa bilang seperti nama pemain sepak bola, membuat saya mudah dikenal oleh penduduk desa.

Suatu hari, saya dan research assistant saya hendak shalat zuhur. Saat hendak masuk halaman masjid, terdengar kecipak air dan suara anak-anak kecil riuh rendah berenang di kolam masjid. Saat kami membuka pagar, anak-anak itu berteriak panik, mengira kami penjaga masjid yang biasanya akan mengusir mereka atau menghukum mereka dengan menyuruh mereka menyikati tempat wudhu. Saat mereka melihat kami, mereka berbisik-bisik: "dudu... dudu Pak Mudhin. Iku Leo (bukan, bukan pak imam masjid, itu Leo)". Mereka lalu memanggil nama saya berulang-ulang. Saya dan research assistant saya hanya tertawa geli. Sama halnya jika pagi hari datang ke desa dan bertemu anak-anak sekolah, mereka selalu berbisik/memanggil pelan, Leo... Leo.

Tidak hanya nama saya saja yang terkenal. Metoda penelitian saya juga terkenal dan menjadi pergunjingan orang satu desa. Beberapa malah sempat latihan dari contekan yang dibuat ketua kelompok agar tidak nervous saat wawancara. Saat mendengar berita ini, saya tertawa sekaligus senang karena orang-orang begitu bersemangat.

Untuk mengimbanginya, saya mencoba untuk tidak melupakan nama setiap responden yang saya sudah wawancarai. Saya memang punya kebiasaan cepat nama orang, tapi sekarang berusaha keras mengingat nama orang dan berhasil. Bahkan research assistant saya sampai terheran-heran dengan hasilnya. Saya hafal raut wajah, nama dan alamat rumah setiap responden. Setiap kali bertemu mereka, saya sekarang bisa membalas saapan orang-orang desa yang menyebutkan nama saya, dengan salam yang disertai nama mereka.

Satu nama yang tidak akan pernah saya lupa adalah nama anak Kepala Dusun. Masih sekolah taman kanak-kanak dan cukup tampan, si anak dinamai Sanchesia Ahmad Ferdinandia. Nama yang enak terdengar di telinga. Nama yang terinspirasi oleh pemain sepakbola karena sang Ibu merupakan penggemar berat sepak bola. Ternyata inspirasi nama itu bisa berasal dari mana saja dan siapa saja yang terkesan bisa menggunakannya. Nama si anak itu sudah menjadikan dia local celebrity bagi saya.

posted by Leo at 09:15

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004