<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Thursday, June 30, 2005

Jejakkan Kaki Lagi di Tanah Air

Berangkat saat suhu udara 2 derajat Celcius, saya ditegur teman yang mengantar ke bandara. "Nanti cepat sakit lho, cuma pakai kemeja. Atau sudah kebal ya karena lama tinggal di sini." Memang saya lebih suka hawa dingin dibandingkan panas, dan sudah bersiap dengan pakaian tropis untuk suhu udara Jakarta.

Perjalanan 14 jam ternyata cukup melelahkan. Sepanjang jalan saya tidak dapat tidur. Waktupun dihabiskan untuk membaca semua majalah dan koran yang disediakan. Selain itu saya juga menonton film-film yang tidak sempat saya tonton di bioskop. Berkebalikan dengan teman sebangku yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan tidur, dan hanya bangun bila makan atau minta red wine berkali-kali. Tiba di Jakarta hampir tengah malam dan disambut dengan hujan deras dan udara lembab. Sangat berbeda, tapi saya tetap semangat.

Hari-hari di Jakarta berlalu dengan cepat dan saya tidak sabar untuk merasakan suasana Jakarta yang jauh lebih sumpek tapi dinamis dibandingkan NZ. Pagi pertama di Jakarta dihabiskan untuk menikmati suasana di dalam kereta jabotabek yang padat dan sesak, jalanan yang macet dan penuh asap, warung-warung makan yang bertebaran dengan menu yang mengundang selera, sampai suasana mall yang padat merayap. Yang terakhir merupakan sedikit suasana yang hampir sama dengan di NZ, yang lainnya berbeda karena perbedaan populasi penduduk (total penduduk NZ hanya sekitar 55 persen penduduk Jakarta di malam hari, dengan luas negara lebih dari dua kali luas pulau Sumatra plus di pulau-pulau sekitar Sumatra).

Tentu saya mengeluh dengan suasana macet dan sesaknya udara, tapi saya berbesar hati bahwa rekan-rekan di tanah air masih dapat bertahan dengan suasana yang serba terbatas. Memang ada kisah sedih, ironi dan menyayat hati, tapi saya melihat mata-mata redup itu masih memiliki angan-angan untuk dapat meraih sedikit kebahagiaan hidup. Meski sebagian masih kurang ramah, saya melihat masih banyak yang dapat tersenyum dan bercanda; di dalam kereta jabotabek, di terminal, di perempatan jalan, di jalan-jalan kampung yang sempit dan berliku-liku, di bantaran kali, di pasar, dan di mall.

Mengapa mall selalu saya sebut? Itu karena saya melihat semakin banyak mall bertebaran, mulai dari hypermart, pusat grosir, townsquare, dan bermacam penamaan lainnya. Dan meski mengundang banyak kritikan, tapi saya percaya bahwa para pengkritik juga pernah menjejakkan kaki di mall-mall baru itu, makan bersama keluarga atau teman-teman, atau sekedar melepaskan lelah, mengurangi kebosanan. Atau mencari kesejukan setelah berpanas-panas di jalan dan mencari toilet yang bersih, seperti saya ini. Ini bagian kisah ironi yang selalu menjadi bagian dari kehidupan metropolitan. Ironi yang tidak saja melata di jalan, di mall, tapi juga di rumah.

Dulu saya berpikir, jika punya rumah, saya akan lebih sering memasak. Tapi apa daya. Meski dulu sempat masak sendiri saat mengontrak rumah, tapi masih kalah sering dibandingkan saat saya di NZ. Kemudahan mendapatkan berbagai makanan di jalan bahkan hanya dengan menunggu penjaja di depan rumah sudah membuat saya malas. Saya jadi kurang makan sayuran dan buah. Saat mengamati saudara-saudara sendiri yang memiliki rumah, rasanya menyediakan masakan untuk keluarga menjadi prioritas kesekian setelah kegiatan keagamaan, kemasyarakatan, pekerjaan, persahabatan dan banyak lagi. Belum lagi macetnya jalan membuat memasak sendiri menjadi lebih mahal.

Saya jadi rindu kompor, kukusan dan oven. Rindu memasak sesuka hati meski rasanya belum sekelas warung tenda. Tapi mengapa pula dibuat pusing sendiri. Hidup yang masih menumpang akan tambah mudah bila mendapatkan makanan siap saji yang tersedia begitu mudah dan kompetitif (bila tidak dapat dikatakan murah). Selagi 'mampu'. Lagipula untuk apa rindu kompor bila saya sudah kegerahan luar biasa. Yang diperlukan adalah berbaur sesuai dengan kebiasaan hidup sekitar dan menikmatinya. Salah? Mungkin. Benar? Mungkin. Ironi? Ya, tak perlu dipikir. Dijalani saja.

posted by Leo at 17:38

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004