<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Sunday, April 24, 2005

Bandung

"Dodi, ayo mandi!" Begitu teriak sepupu memanggil adik bungsunya. "Nggak mau, air-nya seperti air es," jawab Dodi sambil bersembunyi. Kala itu Dodi masih berumur 6 tahun, dan suhu pagi di Bandung masih sekitar 12-15 derajat celcius. Dodi dan dua kakaknya tinggal di rumah kami selama liburan sekolah. Tiap hari Dodi dan kakaknya baru mandi pukul 11 siang. Setelah mandi, mereka masih memakai baju hangat. Almarhumah Nenek juga dulu tidak betah bila harus berlibur lama di rumah kami. Rematiknya bisa kambuh. Jadwal mandi pagi Nenek-pun sama dengan ketiga sepupu saya, pukul 11 siang. Setelah mandi, Nenek biasanya luluran, melapis kebaya dengan baju hangat, menempelkan koyo cap cabe dan menghirup mentol. Hanya almarhum Kakek saja yang berani mandi pagi. Biasanya setelah mandi Beliau duduk di teras, menghisap cerutu dengan ditemani segelas kopi dan penganan seperti serabi, singkong dan pisang goreng.

Bandung jaman dulu merupakan kota yang cantik berhawa segar dan dingin. Pohon-pohon damar masih rapi berjajar di berbagai jalan seputar kota Bandung, tidak hanya di jalan H. Juanda. Pohon angsana, mahoni, flamboyan, saman, waru (dadap) dan bungur juga masih subur tersebar, membuat kota tampak hijau, dengan sesekali diselingi lampu-lampu toko, rumah, sekolah dan kantor. Taman-taman kota Bandung pun masih semarak dengan bunga-bunga kana, sepatu, soka, tagetes, mawar, gardenia dan melati yang semuanya membuat Bandung dijuluki Paris van Java.

Ukuran kota yang dibatasi cekungan danau purba membuat segala sudut Bandung mudah dijangkau. Jalur angkutan kota saat itu masih terbatas menghubungkan antara stasiun kereta, Cicaheum, Kebun Kelapa, Ledeng, Ciroyom, Dago, Cimahi dan Banjaran. Area Gedung Sate masih terbuka untuk umum, dengan halaman berumput yang luas, tempat saya berlatih pramuka atau piknik bersama sekolah setiap hari Sabtu terakhir setiap bulan. Saya teringat dulu masih bisa menikmati keheningan menyantap jagung bakar, gorengan, bajigur dan bandrek di jalan Supratman, dan makanan-makanan lezat lainnya di seputar Bandung. Semuanya hanya dengan bermodalkan ongkos becak, tanpa harus berdesakan dan mengantri.

Tapi semuanya cepat berubah. Tata kota Bandung sekarang seperti lukisan Picasso palsu yang bahkan sulit menemukan namanya sendiri. Sebuah ironi karena Bandung memiliki sekaligus menyia-nyiakan ITB dan Unpar, sekolah ternama dalam tata kota dan arsitektur. Tugu dan billboard menggantikan pohon. Lampu warna warni menggantikan bunga-bunga. Kendaraan semakin banyak, yang memuncak pada banjir angkot yang jalurnya tumpang tindih. Bangunan tua digusur, digantikan supermarket, bahkan halaman rumahpun disewakan untuk tempat parkir. Sekolah saya juga semakin memperluas tempat parkir. Sebagian lapangan sepak bola menjadi areal parkir. Areal atletik, tempat saya dulu berlatih lompat jauh dan lompat tinggi-pun sudah menjadi jalan tembus. Bahkan mobil-mobil milik orang tua teman-teman saya pun bisa melalui lapangan voli dan basket untuk jalan keluar. Sekolah menjadi sesak, jalan-jalan pun semakin sesak, pertokoan pun semakin sesak. Pedagang kaki lima menjadi raja di jalan. Sampahpun merampas warna-warna semarak segarnya kota. Suhu udara pun merambat naik. Sekarang, suhu pagi di Bandung sudah merambat ke angka 19 dan awal dua puluhan.

Tapi Bandung tetap menyimpan daya tarik tersendiri. Orang-orang tetap memujanya, menengok bahkan menghabiskan rizky dan berkontribusi membangun estalase materialisme Bandung, Paris van Java yang semoga tidak hanya meninggalkan kenangan berbelanja.

Bandung Lembang puseur kaendahan (Bandung dan Lembang pusat keindahan)
Diriung ku gunung-gunung (dikelilingi gunung-gunung)
Gunung sasakala Sunda (gunung di tanah Sunda)
Sunda jaya nu baheula (Sunda yang berjaya dahulu kala)

Panjugjugan...Paniisan (Tempat orang-orang berkunjung, mencari kesejukan)
Pangbebeurah nu keur susah (Tempat penghiburan bagi orang-orang yang sedang susah)
Panyinglar sungkawa manah (Yang hatinya sedang berduka lara)
Musnah ku hawana gunung (Sirna dengan kesejukan hawa pegunungan)

(Kawih Bandung Lembang, terjemahan bebas)

posted by Leo at 04:28

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004