<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, May 20, 2006

Kebangkitan Bangsa indomie

Sebagai pencinta mie instant, dan tanpa ada maksud untuk mengiklankan merek tertentu, saya terkadang berpikir bahwa saya terlahir dari bangsa indomie, atau awalnya supermi, lalu sekarang mie sedap. Teringat dulu, saya dan kakak begitu terpaku melihat Ira Maya Sopha yang bergaun Cinderella begitu nikmat menyantap semangkuk supermi di tv. Belum lagi jingle iklan supermi yang terdengar begitu dekat dengan kami, anak-anak jaman 80-an yang gemar mengkoleksi kaset dari hampir semua penyanyi cilik dan sanggar cerita. Sejak iklan itu muncul, Ibu selalu menyediakan sekardus supermi atau mie instant lainnya di rak dapur bagian bawah, bersanding dengan gentong berisi beras.

Sebagai bangsa Indomie, saya memiliki banyak kebanggan sudah begitu dekat dengan mie instant. Pertama: dimana-mana, kapan saja dan untuk siapa saja, mie instant tersedia; melebihi jangkauan minuman ringan yang bermoto sama. Saat pagi hari, saat sore hari, saat hari hujan, saat hari panas, saat belajar, saat bermain, saat senang, saat susah, saat ada anggota keluarga lengkap, saat ada tamu yang datang mendadak, saat ada rejeki, saat ada bencana, di gunung-hutan dan tepi pantai, mie instant tetap tersedia. Saat pertama kali pergi ke luar negeri, saya juga tidak lupa mengisi koper saya dengan beberapa bungkus indomie, untuk berjaga-jaga jika tidak bisa memasak atau menemukan makanan halal, selain untuk mengobati rasa kangen dengan 'selera tanah air'. Mie instant sudah membuat hidup bisa sedikit tersambung kembali.

Jika rasa lapar menyerang, mie instant seperti menyediakan solusi yang jitu: segera, mudah, murah, dan tentu saja meriah alias mampu menyaingi kemeriahan orkes keroncong di lambung. Untuk hal yang satu ini, saya juga boleh berbangga karena adanya mie instant membuat saya jauh dari sifat pemarah. Bandingkan dengan salah seorang teman yang sering marah-marah jika lapar, tapi gengsi makan mie instant, sehingga dia terpaksa terus menekuk muka dan mengomel selama berjam-jam memasak di dapur.

Kebanggaan yang ketiga yaitu hanya mie instant, di antara sedikit produk makanan Indonesia, yang sudah merambah supermarket di berbagai negara. Di Amerika, berbagai mie instant tanah air tersedia, terutama produk Indofood dan ABC. Sekarang mungkin sudah ditambah dengan mie sedap, yang juga tersedia di NZ. Bila dulu saya mengira mie instant itu tersedia karena ada populasi masyarakat Indonesia, sekarang saya tidak heran lagi bila melihat bule menggotong sekardus indomie goreng keluar dari salah satu Asian shop di Christchurch. Saya juga sudah terbiasa bila menerima email dari teman Indo yang akan datang dan bertanya: "Di sana bisa beli indomie, nggak?" atau "Di sana ada indomie, nggak?" Terus terang, saya terkadang iri melihat banyaknya produk makanan dari Thailand, Malaysia, India dan Singapore yang sudah mendunia. Bahkan merasa malu kalau membandingkan daun salam, karena daun salam dari Indonesia begitu keriput dan hitam, sedangkan daun salam produk Malaysia atau Thailand berwarna terang, datar dan tampak lebih bersih. Ini belum bicara kemasan. Hanya mie instant yang bisa bersaing dari mutu dan kemasan.

Saya juga bangga sudah menjadi bagian dari bangsa indomie karena teman-teman saya, mulai dari belajar di rumah, sampai kuliah jauh dari orang tua, dan sampai bekerja pun masih berhubungan dengan yang namanya mie instant. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus teman se-angkatan, serta kakak dan adik angkatan sudah menggantungkan hidup di berbagai perusahaan mie instant di seluruh penjuru tanah air. Beberapa di antaranya bahkan sudah merintis jalan menjadi konglomerat lokal dengan memproduksi mie instant lokal, atau merintis jaringan usaha mulai mie sampai bakso. Ini belum termasuk para pekerja, distributor dan pemilik warung-warung mie rebus yang berhasil mengirimkan anak-anaknya mengenyam pendidikan tinggi, yang kemudian kembali mengkonsumsi mie instant dan bekerja di perusahaan mie instant. Semua seperti membentuk siklus, rantai yang bergulung--meski sedikit keriting, sambung-menyambung menjadi satu, itulah indomie, itulah mie instant.

Namun terkadang, saya juga khawatir sudah menjadi bangsa indomie. Dari segi kesehatan, terlalu banyak mengkonsumsi MSG, seperti yang terkandung dalam bumbu mie instant, bisa mengikis dinding lambung. Dari segi kebiasaan, konsumsi yang berlebihan akan menimbulkan ketergantungan; sesuatu yang kurang baik, terutama bagi wanita karena bisa membuat kreativitas memasak jadi terbatas ;-).

Saya juga khawatir kalau mie instant sudah terkontaminasi dengan bumbu-bumbu politik. Atau sebaliknya yang terjadi? Politik yang sudah terkontaminasi dengan bumbu-bumbu mie instant, atau tepatnya terkontaminasi dengan segala sesuatu yang instant. Ada yang pernah bilang bahwa negara akan baik-baik saja jika tidak ada perut yang lapar. Tapi ini bukan berarti jika mie instant bisa menyediakan solusi yang praktis dan cepat untuk mengatasi rasa lapar, maka kebijakan yang instant juga bisa menyediakan solusi yang praktis dan cepat untuk mengatasi... rasa lapar.

Namun ada kekhawatiran yang jauh lebih berat. Sebagai bangsa indomie, mungkin orang-orangnya memiliki mental instant. Mental pun diatur oleh kromosom instant; atau mungkin juga akibat pergaulan dan lingkungan. Hal ini terasa jelas bila membaca koran dan mendapati banyak orang yang bersikap aji mumpung, berpikir pendek dan hanya mencari sensasi; berpikiran dan berharap sesuatu yang instant.

Saya secara pribadi juga sering menganggap bahwa reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu masih bersifat instant. Hanya bisa mengungkapkan koreksi, namun masih enggan berjalan bersama untuk merunut satu-per satu apa yang ingin dikoreksi. Banyak yang masih bersifat pasif dalam bertindak, namun aktif dalam berbicara; meluangkan lebih banyak waktu untuk berdebat dibandingkan bertindak. Banyak yang lebih suka melihat ke belakang, dibandingkan melihat ke depan; padahal sering melihat kebelakang belum tentu bisa bersikap hati-hati, karena lebih banyak hal tak terduga ada di depan. Banyak juga yang berharap bahwa orang lain bisa melakukan untuk mereka, dan menginginkan hasil yang segera, mudah, murah, dan meriah alias instant.

Saya sendiri, sebagai bangsa indomie, sadar bahwa saya memiliki sedikit sifat "instant" bawaan di salah satu gen saya. Juga sadar bahwa saya sudah terkontaminasi oleh pergaulan dan lingkungan. Tapi saya ingin kembali menjadi bangsa indomie yang seperti sebungkus indomie yang baru saya beli kemarin. Kemasannya berwarna cerah, mengkilap dan tertutup rapat. Tanggal kadaluarsanya jelas tertera, juga kandungan gizi dan prosedur penyiapannya. Semua tertata dengan baik. Bila bungkusnya baik, saya tentu ingin isinya juga baik, sesuai dengan apa yang tertera di bungkus. Setelah dimasak dan disantap, saya tentu ingin mendapatkan kesan yang tidak hanya berupa rasa kenyang, tapi juga keterikatan yang membuat saya ingin mencoba lagi di lain kesempatan.

Begitulah bangsa indomie yang saya inginkan untuk kembali. Bangsa yang tidak hanya bagus di kemasannya, atau bagus di isinya--karena bagus isi tidak akan pernah terlihat jika bungkusnya tidak menarik. Perlu ada suatu kesatuan yang utuh. Apa yang diamanatkan pada bungkus, bisa terlaksana lewat isi. Selain itu tanggal kadaluarsanya jelas, tidak mengawang-awang atau bermimpi di siang bolong, realistis. Jika sudah kadaluarsa, jangan dipakai, jangan dilihat lagi, saatnya dibuang karena barang kadaluarsa tidak baik untuk kesehatan bangsa di masa mendatang. Kalaupun isinya bisa memberi rasa nikmat dan kenyang sesaat setelah disantap, adalah manfaat/dampak jangka panjangnya yang lebih dibutuhkan sehingga lebih banyak mie yang bisa dikonsumsi. Dan bila bangsa ini sudah kehabisan indomie, masih banyak pilihan untuk menjadi bangsa mie instant lainnya. Misalnya bangsa supermi yang mungkin menunjukkan bangsa yang super/kompetitif serta, tentu saja, tetap kenyal dan fleksible (kerinting dan bisa lurus setelah dimasak) dalam menghadapi tantangan di masa datang.

Namun, untuk saat ini, saya hanya bisa berharap menjadi bagian dari bangsa indomie yang teruji luar dan dalam...

posted by Leo at 07:21

Monday, May 15, 2006

Miauw

Begitulah rayuan lirih si ginger cat, yang sekarang dinamai teman Turki "BB" (blondie bride). Kucing ini dicurigai sebagai peninggalan keluarga dari Malaysia yang tidak membawanya pulang tahun lalu. Dia bersama "George", kucing abu-abu, sering berkeliaran di komplek flat hanya untuk mendapat snack dari para penghuni flat. Jadi tidak heran kalau mereka berdua gemuk sekali.

Bulan Desember tahun lalu, BB tiba-tiba menghilang, hanya George saja yang masih tampak berkeliaran, ditambah seekor landak yang sering berlagak kaku kalau kepergok. Penghuni flat mengira BB dibawa pergi pemiliknya atau melahirkan. Tapi pada awal bulan Maret lalu, BB kembali berkeliaran dari satu jendela flat ke jendela flat yang lain, mengemis makanan. Dia tampak begitu kurus dan hanya kelebatan bulunya saja yang masih membuat dia dikenali para penghuni flat. Semua mengira dia sudah ditinggalkan pemiliknya karena sudah tidak terlihat lagi kalung di lehernya.

Teman satu flat dari China kasihan melihat dia dan mengadopsi dia secara diam-diam karena sebenarnya dilarang memelihara hewan di dalam flat. BB diberi kalung berwarna merah-putih sebagai tanda bahwa dia ada yang memelihara. Teman saya ini sayang sekali sama BB sampai membelikan mainan khusus agar BB dapat latihan menggaruk dan membelikan makanan pabrikan. Pernah suatu kali sepulang dari belanja mingguan, kami menemukan BB sedang dikejar-kejar oleh teman saya yang membawa hair dryer. Ternyata BB yang tidak suka air baru saja dimandikan dan hendak dikeringkan. Setiap kali ada pemeriksaan, semua mangkuk dan boks makanan kucing disembunyikan di kamarnya, dan BB juga dengan tenang hanya diam di kamar saja.

Awalnya, tidak semua penghuni flat suka ada kucing berdiam di dalam flat. Tapi suara "miauw" ditambah pandangan mata bulat tanpa dosa dan kibasan ekor yang bergerak lembut sudah membuat teman yang suka mengusir BB sekarang malah sering memperhatikan BB. Terkadang kami membuat BB bingung, sehingga mata dan kepalanya terus bergerak mengikuti gerakan-gerakan tangan kami; suatu yang menjadi hiburan bagi kami. Selain itu, BB cukup terlatih. Jika perlu buang air, BB akan segera menghampiri pintu depan dan mengeong, minta dibukakan sehingga dia bisa buang air di luar.

Satu saja yang kami kurang suka yaitu BB suka bermimik judes dan menunjukkan bahwa kucing memang hewan snobbish, hanya mendekat bila ada perlu. Sekarang BB juga cenderung memilih-milih makanan. Dulu makanan sisa tidak diindahkan bila ada makanan dari boks; tapi sekarang, makanan sisa malah dilahap dan makanan boks dibiarkan. Tapi mungkin kucing juga punya rasa bosan. Kalau di tanah air, kucing bisa makan apa saja yang diberi; bahkan kucing tetangga suka sekali pisang goreng.

Saat melihat episode serial "Medium", saya baru tahu kalau kondisi anjing yang berumur 12 tahun itu sama dengan manusia yang berumur 84 tahun. Sempat terpikir, apakah BB ditinggalkan pemiliknya karena sudah tua? Juga jadi teringat anjing pembimbing saya di Ithaca, yang begitu penurut dan disiplin. Anjing itu mantan juara se-negara bagian, tapi langsung dijual pemiliknya karena sudah tua dan tidak juara lagi. Beruntung dia masih mendapatkan tuan baru yang baik hati. Saya tidak berani membayangkan bila hal seperti ini terjadi untuk manusia. Sudah berjasa, lalu suatu saat disia-siakan.

Saya tidak tahu sampai kapan BB akan tetap berada di flat kami. Mungkin teman dari China masih tetap akan rajin memelihara BB. Mungkin juga dia akan dititipkan kepada Cleaning Lady yang sampai saat ini sudah mengkoleksi 10 kucing. Atau akan diserahkan ke lembaga yang menampung hewan-hewan yang terlantar. Tapi pilihan yang terakhir biasanya punya resiko karena bila BB memiliki masalah seperti penyakit, dia akan "ditidurkan" untuk jangka waktu selamanya.

Hewan yang sudah lama dipelihara akan sulit untuk mandiri bila ditinggalkan. Naluri bertahan hidup tanpa sokongan sudah sangat minim. Untung BB masih bisa bertahan, meski sempat menghilang 3 bulan. Sekarang BB sudah menjadi penghuni kelima di flat kami; dan di musim yang sudah semakin dingin ini, paling tidak dia masih punya tempat berteduh. Purrr...


BB dengan tampang judes

posted by Leo at 03:24

Monday, May 08, 2006

Masakan Rumah Versus Jajan

Bila saya teringat Almarhumah Ibu, saya juga teringat masakan Beliau. Tidak saja masakannya, tapi juga bagaimana Beliau memperkenalkan saya dengan nikmatnya bekerja di dapur. Jika saja dulu Ibu membiarkan saya hanya sibuk belajar, saya mungkin tidak akan pernah kenal dengan periuk nasi (ya, periuk, karena dulu kami suka makan nasi liwet), cobek dan wajan. Selalu saja ada panggilan untuk minta bantuan mengambil bahan makanan, membeli bumbu di warung, atau mencuci perangkat memasak. Beliau selalu berpesan bahwa tidak ada pantangan bagi laki-laki untuk masuk dapur dan memasak karena kalau nanti punya keluarga, pasti sewaktu-waktu dibutuhkan. Jadilah saya ikut bereksperimentasi di dapur. Dampaknya terasa sampai sekarang: saya kurang suka jajan makanan.

Sejak SD sampai SMA, jika sedang di rumah dan rasa lapar menyerang, terkadang saya dan kakak tidak perlu menunggu lama untuk langsung membongkar lemari, mencari apa saja yang bisa dimasak. Bisa jadi di sela-sela belajar malam hari, kami berhenti hanya untuk membuat nasi goreng, mie goreng atau makanan gorengan. Dan Ibu tidak pernah lupa meninggalkan bahan-bahan makanan siap masak di lemari, baik itu pisang, singkong, ubi, terigu, gula merah, kacang hijau, ketan hitam, kelapa, bumbu, dll. Selalu ada yang bisa diolah, meski jumlahnya terkadang sedikit dan tidak cukup untuk membuat satu resep lengkap. Hasilnya? Masih bisa membuat kami lebih memilih makan di rumah dibandingkan jajan. Dan ini yang membuat saya hampir tidak punya tempat favorit untuk makan di luar. Kalaupun jajan, biasanya kami membeli lotek di tetangga, bakso malang Mas Combat (si penjual selalu pakai topi serdadu) atau bakso yamin Mang Wawan yang lewat di depan rumah.

Saat harus pindah kota untuk sekolah, saya terpaksa membeli makanan di warung. Saya suka sekali sarapan nasi, sayur tahu buncis dan tumis caisim. Tempe goreng juga tidak pernah ketinggalan. Kalau makan siang atau malam, menunya standar; perbedaannya cuma sering kehabisan jika tidak cepat-cepat beli makanan di warung yang rasa makanannya lebih enak. Selama kuliah yang sering teringat adalah masakan Ibu di rumah. Kalau pulang kampung, biasanya Ibu langsung menyiapkan sop sayuran dan sosis yang berwarna-warni, favorit saya. Tapi jajan makanan di luar tidak berlangsung lama karena saya pindah bergabung di kost yang memiliki juru masak. Meski makan di rumah, kami anak kost kadang-kadang membeli sop kambing/sapi dan sate langganan yang terletak di depan kampus Taman Kencana, terutama bila ada acara khusus.

Saat kembali bekerja setelah sekolah, saya kost di Rawamangun dan, tentu saja, makan di luar. Kali ini saya punya favorit yaitu warung nasi di komplek angkatan laut Rawamangun. Warungnya sempit tapi jenis makanannya begitu beragam dan sayurnya selalu berbeda antara pagi, siang dan malam. Makanan di warung ini mengingatkan akan makanan rumah; dan memang saat itu sudah tidak ada lagi masakan Ibu yang bisa dirindukan.

Di sekitar warung nasi ini, juga terdapat warung tenda yang menjual nasi goreng yang enak, meski selama tiga minggu pertama saya harus berurusan dengan dokter akibat nasi goreng ini. Satu yang kurang sreg dari warung ini yaitu banyaknya pembeli membuat penjual terkadang lupa siapa yang pesan lebih dahulu. Di seberang warung nasi goreng ini, ada warung pecel Madiun. Porsinya memang mungil, tapi rasanya enak. Pernah saat 2 minggu menjelang lebaran, semua warung yang saya sukai tutup. Saya pun terpaksa membeli makanan di warung tegal. Makanannya masih kalah dibandingkan warung favorit saya. Yang saya heran, mengapa banyak warung tegal yang bercat hijau? Apakah mungkin ini semacam franchise atau pembawa 'hoki'?

Empat bulan kemudian, saya pindah, mengontrak satu rumah dan memasak sendiri; terkadang dibantu bibi. Namun karena sebagian besar hari dihabiskan di jalan, koleksi warung-warung favorit juga bertambah. Tidak semua bisa disebutkan satu per satu. Beberapa di antaranya yaitu warung nasi goreng, ayam bakar, sop kambing dan nasi padang di Pondok Cabe. Tidak ada namanya. Di sana juga ada warung mie goreng Purworejo dan Aceh yang yummy. Berbagai warung di depan makam pahlawan Kalibata juga enak; tapi waktu pulang tahun lalu, sebagian besar sudah menghilang. Makanan di sekitar Mesjid Sunda Kelapa juga enak, terutama es doger, ikan bawal bakar, capcay dan bakso di kafe kecil di pojok, dan nasi rames yang hanya berisi nasi hangat-ikan teri kacang-dan tempe tepung.

Satu warung favorit lain, sayang sekali, sudah menghilang: warung nasi di bawah Matahari Dept. Store di Arion Plaza yang terbakar tengah tahun lalu. Biasanya di tempat itu saya makan siang jika lelah berkeliling Blok M. Selalu ke sana karena makanannya adalah makanan rumah. Menu favorit yaitu empal atau ayam bakar, tempe tepung dan sayur daun singkong. Setiap memesan, sang pelayan selalu bertanya: sambal boleh, Mas? Saya hanya mengangguk dan segera melahap semuanya...

Sekarang di NZ, saya hanya bisa mengenang semua tempat-tempat favorit ini. Jika suatu saat pulang, belum tentu semuanya ada. Sekarang saya hanya memperkaya diri dengan masakan rumah. Masak sendiri, membuat saya tidak banyak jajan, sekaligus melanjutkan tradisi yang dulu diamanatkan Ibu: hidup hemat; masak sendiri; kalau masak sendiri, makan bisa lebih puas. Alhamdulillah, 95 persen hasil masakan saya masih terasa enak, dan bahkan bisa dibagi-bagi. Lima persen-nya biasanya karena saya sedang tidak mood masak ;-)

Masakan si Doel


posted by Leo at 02:53

Monday, May 01, 2006

Salam, Peluk dan Cium

Ada banyak cara bisa dilakukan orang untuk menyapa atau menyambut orang lain. Berbeda bangsa, berbeda cara. Berbeda gender, berbeda cara. Berbeda waktu/situasi, berbeda cara. Melambai dan menyalami merupakan cara yang paling umum. Selain itu, memeluk/merangkul pundak juga masih lumrah. Untuk para wanita, menyapa dan menyambut dengan pelukan atau sekedar cium dan/atau tempel pipi juga biasa. Bentangan tangan yang disambung dengan pelukan erat juga biasanya menjadi ekspresi kegembiraan bertemu teman/orang yang sudah lama sekali tidak bertemu, atau sekedar sebagai ungkapan rindu. Memeluk yang disertai kata-kata hiburan, atau bersalaman dan menepuk pundak secara halus terkadang menjadi cara yang cocok untuk mengungkapkan simpati dan penghiburan untuk orang yang sedang kesusahan. Tapi terkadang, perbedaan latar belakang dan pengalaman membuat setiap sapaan dari berbagai orang menjadi suatu pengalaman unik.

Saya biasanya menyapa orang lain dengan kata-kata, anggukan kepala dan/atau berjabat tangan. Terkadang juga saya ikut tempel pipi kiri-kanan terutama bila bertemu atau hendak berpisah dengan kakak kandung, kakak angkat, serta kakak sepupu perempuan, bude dan bulek dari keluarga Bapak (tradisi di keluarga Bapak, tapi bukan tradisi di keluarga Ibu). Jika bertemu teman baik, saya juga kadang-kadang merangkul dan menepuk pundak. Tapi ini hanya berlaku kalau sang teman sama tingginya. Kalau dia lebih tinggi, ya berjabat tangan sudah cukup. Jika cara saya menyapa cukup standar, tidak demikian dengan cara orang lain menyapa saya.

Jika bertemu dengan teman-teman muslimah, mereka biasanya hanya menyapa saya dengan anggukan dan tangan bertangkup tanpa sentuhan, meski banyak juga di antara mereka yang menyambut uluran tangan saya dan menjabat dengan erat. Jika bertemu dengan teman-teman atau mitra dari Jepang, mereka akan membungkuk dulu lalu menjabat tangan saya. Jika bertemu dengan teman pria dari Amerika Latin, mereka biasanya menjabat tangan sambil merangkul pundak saya. Jika bertemu dengan orang India, jabatan tangan akan didahului dengan gelengan kepala sementara tangan bertangkup, lalu uluran jabat tangan, lalu tangan kembali bertangkup sambil geleng-geleng kepala (tanda gembira, menerima). Jika bertemu dengan orang Maori, selain berjabat tangan, orang-orang bisa saling menempelkan hidung dan dahi. Jika bertemu dengan teman pria dari timur tengah, saya yang menjulurkan tangan, biasanya langsung ditarik dan diajak berpeluk silang, 3 kali bergantian kanan-kiri-kanan. Namun yang paling umum, saya disapa dan disambut dengan jabat tangan, termasuk bila berada di Eropa, Amerika dan NZ.

Dari sekian banyak cara sapaan dan penyambutan, ada beberapa yang tidak bisa saya lupakan. Misalnya, dulu saya punya teman kuliah bernama Sarah, orang Amerika. Dia cantik dan terkenal ramah. Jika bertemu, selain bersalaman, biasanya tangannya ikut bergerak ke sana kemari dan sering mendarat di pundak, lengan atas atau dada orang yang diajak bicara. Kalau dia sedang gembira, setiap orang bisa mendapat pelukan. Pernah suatu saat, sepulang dari white-water rafting di Black River, para peserta berbincang-bincang sebentar di area parkir. Karena rafting berlangsung sukses dan seru, Sarah sebagai koordinator acara tampak begitu bersemangat. Saat berpisah, kami semua dipeluk satu per satu sebagai tanda perpisahan. Yang menjadi perhatian teman-teman lain adalah saat Sarah memeluk saya. Terus terang, saya tidak biasa mendapat pelukan wanita, apalagi yang bermata biru dan cantik jelita. Saat dia memeluk saya, entah mengapa kok terasa erat sekali sampai-sampai saya sulit bernafas. Teman-teman yang memperhatikan tertawa semua dan berkomentar kalau Sarah sudah memeluk saya terlalu erat sampai muka saya memerah. Kejadian ini akhirnya menjadi bahan gurauan teman-teman.

Lain Sarah, lain Gabriella. Gabriella berasal dari Mexico, bukan teman satu jurusan. Saya kenal dia karena dia sering menjadi volunteer untuk mengajak mahasiswa baru berkeliling kampus, memperkenalkan area kampus. Gabriella sangat tertarik dengan Indonesia dan selalu minta diajari bahasa Indonesia, meski hanya satu kata. Satu yang sering membuat saya malu bila bertemu dengan dia yaitu selain minta diajari satu kata baru, tangannya biasanya langsung mampir merangkul. Saya juga terkadang harus bersedia menerima pelukan dia, dimana saja, kapan saja, dan di hadapan siapa saja. Saya sudah berusaha menghindar dengan berdiri agak jauh tapi Gabriella ini cukup tinggi, besar dengan bentangan tangan yang lebar. Saya sering merasa malu dan menyesal sudah terlalu sering dipeluk Gabriella di hadapan orang banyak. Juga menyesal sekali karena sudah memberi tahu dia "I love you" versi Indonesia yang menjadikan pelukannya semakin erat dan disambung kata-kata "aku cinta kamu" yang diucapkan berulang-ulang... beruntung belum ada kecupan...

Bicara tentang kecupan, saya sekarang harus terbiasa menerima jabatan tangan yang langsung disambung pelukan dan kecupan dari teman pria bila bertemu. Tidak semua pria, tapi hanya dua teman pria dari Turki. Adalah sesuatu yang biasa bagi pria-pria di Turki untuk saling mengecup pipi, 2 kali, kanan-kiri, bila saling bertemu. Itu pertanda sambutan hangat. Semula saya merasa canggung, apalagi bila di tempat umum. Tapi yang sekarang membuat saya ingin tertawa adalah reaksi orang-orang NZ yang melihat.

Minggu lalu, saat menjemput satu teman Turki yang baru pulang dari Wellington, teman Turki yang lain langsung menyambutnya dengan pelukan dan kecupan. Saya kebetulan berdiri agak jauh dan melihat orang-orang NZ begitu terkesima melihat adegan penyambutan itu, sampai beberapa dari mereka berbisik-bisik dan tersenyum penuh arti. Kedua teman Turki malah tertawa mengetahui mereka jadi bahan bergosip orang yang melihat. Mereka berkata adalah sangat aneh bagi orang Turki bila berbicara dengan teman baik tapi tanpa sentuhan di pundak atau rangkulan, karena itu menandakan kedekatan. Saya yang semula agak takut dan canggung, akhirnya berusaha toleran.

Menulis tentang rangkulan ini ternyata bisa sampai terbawa mimpi. Semalam saya mimpi menggendong dan dipeluk dua bayi kembar, sehat, gemuk, cakep dan putih yang saya akui di mimpi sebagai adik saya. Menurut primbon, mimpi menggendong bayi mungkin membawa rejeki :P; tapi bagi saya, pelukan juga biasanya menjadi salam pertemuan dengan bayi dan anak-anak. Jadi rindu memikirkan keponakan yang selalu bertanya di telepon: "Oom, kok lama nggak ke sini... Kapan ke sini?" Jadi terpikirkan juga: apakah ini pertanda akan ada keponakan baru?

posted by Leo at 06:27

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004