<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Monday, May 08, 2006

Masakan Rumah Versus Jajan

Bila saya teringat Almarhumah Ibu, saya juga teringat masakan Beliau. Tidak saja masakannya, tapi juga bagaimana Beliau memperkenalkan saya dengan nikmatnya bekerja di dapur. Jika saja dulu Ibu membiarkan saya hanya sibuk belajar, saya mungkin tidak akan pernah kenal dengan periuk nasi (ya, periuk, karena dulu kami suka makan nasi liwet), cobek dan wajan. Selalu saja ada panggilan untuk minta bantuan mengambil bahan makanan, membeli bumbu di warung, atau mencuci perangkat memasak. Beliau selalu berpesan bahwa tidak ada pantangan bagi laki-laki untuk masuk dapur dan memasak karena kalau nanti punya keluarga, pasti sewaktu-waktu dibutuhkan. Jadilah saya ikut bereksperimentasi di dapur. Dampaknya terasa sampai sekarang: saya kurang suka jajan makanan.

Sejak SD sampai SMA, jika sedang di rumah dan rasa lapar menyerang, terkadang saya dan kakak tidak perlu menunggu lama untuk langsung membongkar lemari, mencari apa saja yang bisa dimasak. Bisa jadi di sela-sela belajar malam hari, kami berhenti hanya untuk membuat nasi goreng, mie goreng atau makanan gorengan. Dan Ibu tidak pernah lupa meninggalkan bahan-bahan makanan siap masak di lemari, baik itu pisang, singkong, ubi, terigu, gula merah, kacang hijau, ketan hitam, kelapa, bumbu, dll. Selalu ada yang bisa diolah, meski jumlahnya terkadang sedikit dan tidak cukup untuk membuat satu resep lengkap. Hasilnya? Masih bisa membuat kami lebih memilih makan di rumah dibandingkan jajan. Dan ini yang membuat saya hampir tidak punya tempat favorit untuk makan di luar. Kalaupun jajan, biasanya kami membeli lotek di tetangga, bakso malang Mas Combat (si penjual selalu pakai topi serdadu) atau bakso yamin Mang Wawan yang lewat di depan rumah.

Saat harus pindah kota untuk sekolah, saya terpaksa membeli makanan di warung. Saya suka sekali sarapan nasi, sayur tahu buncis dan tumis caisim. Tempe goreng juga tidak pernah ketinggalan. Kalau makan siang atau malam, menunya standar; perbedaannya cuma sering kehabisan jika tidak cepat-cepat beli makanan di warung yang rasa makanannya lebih enak. Selama kuliah yang sering teringat adalah masakan Ibu di rumah. Kalau pulang kampung, biasanya Ibu langsung menyiapkan sop sayuran dan sosis yang berwarna-warni, favorit saya. Tapi jajan makanan di luar tidak berlangsung lama karena saya pindah bergabung di kost yang memiliki juru masak. Meski makan di rumah, kami anak kost kadang-kadang membeli sop kambing/sapi dan sate langganan yang terletak di depan kampus Taman Kencana, terutama bila ada acara khusus.

Saat kembali bekerja setelah sekolah, saya kost di Rawamangun dan, tentu saja, makan di luar. Kali ini saya punya favorit yaitu warung nasi di komplek angkatan laut Rawamangun. Warungnya sempit tapi jenis makanannya begitu beragam dan sayurnya selalu berbeda antara pagi, siang dan malam. Makanan di warung ini mengingatkan akan makanan rumah; dan memang saat itu sudah tidak ada lagi masakan Ibu yang bisa dirindukan.

Di sekitar warung nasi ini, juga terdapat warung tenda yang menjual nasi goreng yang enak, meski selama tiga minggu pertama saya harus berurusan dengan dokter akibat nasi goreng ini. Satu yang kurang sreg dari warung ini yaitu banyaknya pembeli membuat penjual terkadang lupa siapa yang pesan lebih dahulu. Di seberang warung nasi goreng ini, ada warung pecel Madiun. Porsinya memang mungil, tapi rasanya enak. Pernah saat 2 minggu menjelang lebaran, semua warung yang saya sukai tutup. Saya pun terpaksa membeli makanan di warung tegal. Makanannya masih kalah dibandingkan warung favorit saya. Yang saya heran, mengapa banyak warung tegal yang bercat hijau? Apakah mungkin ini semacam franchise atau pembawa 'hoki'?

Empat bulan kemudian, saya pindah, mengontrak satu rumah dan memasak sendiri; terkadang dibantu bibi. Namun karena sebagian besar hari dihabiskan di jalan, koleksi warung-warung favorit juga bertambah. Tidak semua bisa disebutkan satu per satu. Beberapa di antaranya yaitu warung nasi goreng, ayam bakar, sop kambing dan nasi padang di Pondok Cabe. Tidak ada namanya. Di sana juga ada warung mie goreng Purworejo dan Aceh yang yummy. Berbagai warung di depan makam pahlawan Kalibata juga enak; tapi waktu pulang tahun lalu, sebagian besar sudah menghilang. Makanan di sekitar Mesjid Sunda Kelapa juga enak, terutama es doger, ikan bawal bakar, capcay dan bakso di kafe kecil di pojok, dan nasi rames yang hanya berisi nasi hangat-ikan teri kacang-dan tempe tepung.

Satu warung favorit lain, sayang sekali, sudah menghilang: warung nasi di bawah Matahari Dept. Store di Arion Plaza yang terbakar tengah tahun lalu. Biasanya di tempat itu saya makan siang jika lelah berkeliling Blok M. Selalu ke sana karena makanannya adalah makanan rumah. Menu favorit yaitu empal atau ayam bakar, tempe tepung dan sayur daun singkong. Setiap memesan, sang pelayan selalu bertanya: sambal boleh, Mas? Saya hanya mengangguk dan segera melahap semuanya...

Sekarang di NZ, saya hanya bisa mengenang semua tempat-tempat favorit ini. Jika suatu saat pulang, belum tentu semuanya ada. Sekarang saya hanya memperkaya diri dengan masakan rumah. Masak sendiri, membuat saya tidak banyak jajan, sekaligus melanjutkan tradisi yang dulu diamanatkan Ibu: hidup hemat; masak sendiri; kalau masak sendiri, makan bisa lebih puas. Alhamdulillah, 95 persen hasil masakan saya masih terasa enak, dan bahkan bisa dibagi-bagi. Lima persen-nya biasanya karena saya sedang tidak mood masak ;-)

Masakan si Doel


posted by Leo at 02:53

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004