<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, May 20, 2006

Kebangkitan Bangsa indomie

Sebagai pencinta mie instant, dan tanpa ada maksud untuk mengiklankan merek tertentu, saya terkadang berpikir bahwa saya terlahir dari bangsa indomie, atau awalnya supermi, lalu sekarang mie sedap. Teringat dulu, saya dan kakak begitu terpaku melihat Ira Maya Sopha yang bergaun Cinderella begitu nikmat menyantap semangkuk supermi di tv. Belum lagi jingle iklan supermi yang terdengar begitu dekat dengan kami, anak-anak jaman 80-an yang gemar mengkoleksi kaset dari hampir semua penyanyi cilik dan sanggar cerita. Sejak iklan itu muncul, Ibu selalu menyediakan sekardus supermi atau mie instant lainnya di rak dapur bagian bawah, bersanding dengan gentong berisi beras.

Sebagai bangsa Indomie, saya memiliki banyak kebanggan sudah begitu dekat dengan mie instant. Pertama: dimana-mana, kapan saja dan untuk siapa saja, mie instant tersedia; melebihi jangkauan minuman ringan yang bermoto sama. Saat pagi hari, saat sore hari, saat hari hujan, saat hari panas, saat belajar, saat bermain, saat senang, saat susah, saat ada anggota keluarga lengkap, saat ada tamu yang datang mendadak, saat ada rejeki, saat ada bencana, di gunung-hutan dan tepi pantai, mie instant tetap tersedia. Saat pertama kali pergi ke luar negeri, saya juga tidak lupa mengisi koper saya dengan beberapa bungkus indomie, untuk berjaga-jaga jika tidak bisa memasak atau menemukan makanan halal, selain untuk mengobati rasa kangen dengan 'selera tanah air'. Mie instant sudah membuat hidup bisa sedikit tersambung kembali.

Jika rasa lapar menyerang, mie instant seperti menyediakan solusi yang jitu: segera, mudah, murah, dan tentu saja meriah alias mampu menyaingi kemeriahan orkes keroncong di lambung. Untuk hal yang satu ini, saya juga boleh berbangga karena adanya mie instant membuat saya jauh dari sifat pemarah. Bandingkan dengan salah seorang teman yang sering marah-marah jika lapar, tapi gengsi makan mie instant, sehingga dia terpaksa terus menekuk muka dan mengomel selama berjam-jam memasak di dapur.

Kebanggaan yang ketiga yaitu hanya mie instant, di antara sedikit produk makanan Indonesia, yang sudah merambah supermarket di berbagai negara. Di Amerika, berbagai mie instant tanah air tersedia, terutama produk Indofood dan ABC. Sekarang mungkin sudah ditambah dengan mie sedap, yang juga tersedia di NZ. Bila dulu saya mengira mie instant itu tersedia karena ada populasi masyarakat Indonesia, sekarang saya tidak heran lagi bila melihat bule menggotong sekardus indomie goreng keluar dari salah satu Asian shop di Christchurch. Saya juga sudah terbiasa bila menerima email dari teman Indo yang akan datang dan bertanya: "Di sana bisa beli indomie, nggak?" atau "Di sana ada indomie, nggak?" Terus terang, saya terkadang iri melihat banyaknya produk makanan dari Thailand, Malaysia, India dan Singapore yang sudah mendunia. Bahkan merasa malu kalau membandingkan daun salam, karena daun salam dari Indonesia begitu keriput dan hitam, sedangkan daun salam produk Malaysia atau Thailand berwarna terang, datar dan tampak lebih bersih. Ini belum bicara kemasan. Hanya mie instant yang bisa bersaing dari mutu dan kemasan.

Saya juga bangga sudah menjadi bagian dari bangsa indomie karena teman-teman saya, mulai dari belajar di rumah, sampai kuliah jauh dari orang tua, dan sampai bekerja pun masih berhubungan dengan yang namanya mie instant. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus teman se-angkatan, serta kakak dan adik angkatan sudah menggantungkan hidup di berbagai perusahaan mie instant di seluruh penjuru tanah air. Beberapa di antaranya bahkan sudah merintis jalan menjadi konglomerat lokal dengan memproduksi mie instant lokal, atau merintis jaringan usaha mulai mie sampai bakso. Ini belum termasuk para pekerja, distributor dan pemilik warung-warung mie rebus yang berhasil mengirimkan anak-anaknya mengenyam pendidikan tinggi, yang kemudian kembali mengkonsumsi mie instant dan bekerja di perusahaan mie instant. Semua seperti membentuk siklus, rantai yang bergulung--meski sedikit keriting, sambung-menyambung menjadi satu, itulah indomie, itulah mie instant.

Namun terkadang, saya juga khawatir sudah menjadi bangsa indomie. Dari segi kesehatan, terlalu banyak mengkonsumsi MSG, seperti yang terkandung dalam bumbu mie instant, bisa mengikis dinding lambung. Dari segi kebiasaan, konsumsi yang berlebihan akan menimbulkan ketergantungan; sesuatu yang kurang baik, terutama bagi wanita karena bisa membuat kreativitas memasak jadi terbatas ;-).

Saya juga khawatir kalau mie instant sudah terkontaminasi dengan bumbu-bumbu politik. Atau sebaliknya yang terjadi? Politik yang sudah terkontaminasi dengan bumbu-bumbu mie instant, atau tepatnya terkontaminasi dengan segala sesuatu yang instant. Ada yang pernah bilang bahwa negara akan baik-baik saja jika tidak ada perut yang lapar. Tapi ini bukan berarti jika mie instant bisa menyediakan solusi yang praktis dan cepat untuk mengatasi rasa lapar, maka kebijakan yang instant juga bisa menyediakan solusi yang praktis dan cepat untuk mengatasi... rasa lapar.

Namun ada kekhawatiran yang jauh lebih berat. Sebagai bangsa indomie, mungkin orang-orangnya memiliki mental instant. Mental pun diatur oleh kromosom instant; atau mungkin juga akibat pergaulan dan lingkungan. Hal ini terasa jelas bila membaca koran dan mendapati banyak orang yang bersikap aji mumpung, berpikir pendek dan hanya mencari sensasi; berpikiran dan berharap sesuatu yang instant.

Saya secara pribadi juga sering menganggap bahwa reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu masih bersifat instant. Hanya bisa mengungkapkan koreksi, namun masih enggan berjalan bersama untuk merunut satu-per satu apa yang ingin dikoreksi. Banyak yang masih bersifat pasif dalam bertindak, namun aktif dalam berbicara; meluangkan lebih banyak waktu untuk berdebat dibandingkan bertindak. Banyak yang lebih suka melihat ke belakang, dibandingkan melihat ke depan; padahal sering melihat kebelakang belum tentu bisa bersikap hati-hati, karena lebih banyak hal tak terduga ada di depan. Banyak juga yang berharap bahwa orang lain bisa melakukan untuk mereka, dan menginginkan hasil yang segera, mudah, murah, dan meriah alias instant.

Saya sendiri, sebagai bangsa indomie, sadar bahwa saya memiliki sedikit sifat "instant" bawaan di salah satu gen saya. Juga sadar bahwa saya sudah terkontaminasi oleh pergaulan dan lingkungan. Tapi saya ingin kembali menjadi bangsa indomie yang seperti sebungkus indomie yang baru saya beli kemarin. Kemasannya berwarna cerah, mengkilap dan tertutup rapat. Tanggal kadaluarsanya jelas tertera, juga kandungan gizi dan prosedur penyiapannya. Semua tertata dengan baik. Bila bungkusnya baik, saya tentu ingin isinya juga baik, sesuai dengan apa yang tertera di bungkus. Setelah dimasak dan disantap, saya tentu ingin mendapatkan kesan yang tidak hanya berupa rasa kenyang, tapi juga keterikatan yang membuat saya ingin mencoba lagi di lain kesempatan.

Begitulah bangsa indomie yang saya inginkan untuk kembali. Bangsa yang tidak hanya bagus di kemasannya, atau bagus di isinya--karena bagus isi tidak akan pernah terlihat jika bungkusnya tidak menarik. Perlu ada suatu kesatuan yang utuh. Apa yang diamanatkan pada bungkus, bisa terlaksana lewat isi. Selain itu tanggal kadaluarsanya jelas, tidak mengawang-awang atau bermimpi di siang bolong, realistis. Jika sudah kadaluarsa, jangan dipakai, jangan dilihat lagi, saatnya dibuang karena barang kadaluarsa tidak baik untuk kesehatan bangsa di masa mendatang. Kalaupun isinya bisa memberi rasa nikmat dan kenyang sesaat setelah disantap, adalah manfaat/dampak jangka panjangnya yang lebih dibutuhkan sehingga lebih banyak mie yang bisa dikonsumsi. Dan bila bangsa ini sudah kehabisan indomie, masih banyak pilihan untuk menjadi bangsa mie instant lainnya. Misalnya bangsa supermi yang mungkin menunjukkan bangsa yang super/kompetitif serta, tentu saja, tetap kenyal dan fleksible (kerinting dan bisa lurus setelah dimasak) dalam menghadapi tantangan di masa datang.

Namun, untuk saat ini, saya hanya bisa berharap menjadi bagian dari bangsa indomie yang teruji luar dan dalam...

posted by Leo at 07:21

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004