<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8473658\x26blogName\x3djust+write!\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nozeano.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nozeano.blogspot.com/\x26vt\x3d2378614178765346968', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 just write!
a journey through middle earth
Saturday, October 01, 2005

Tangan yang di Atas

Satu pemandangan yang tidak asing bila bepergian dengan kereta jabotabek adalah banyaknya peminta-minta yang berjalan dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Tentu hal ini bukan merupakan kekhasan dari kereta jabotabek. Kemana pun saya pergi, saya akan bertemu dengan orang-orang yang meminta sedekah.

Saya perhatikan, tidak semua penumpang di kereta tergerak hatinya dengan permohonan peminta-minta, meskipun peminta-minta itu cacat, masih kecil dan kumal, sudah renta dan tertatih-tatih, terluka di bagian tubuh tertentu, membawa anak yang menangis, menyampaikan curahan hati tentang berbagai kesulitan yang akhir-akhir ini melanda, dan banyak lagi. Mungkin para penumpang itu tidak memiliki uang receh, karena toh peminta-minta itupun mungkin hanya mengharapkan uang receh. Mungkin juga para penumpang sudah terlalu biasa dengan peminta-minta itu, karena setiap hari bertemu. Mungkin juga tidak menjadi masalah; bila hanya ada puluhan penumpang dalam sehari--di antara ribuan penumpang kereta--yang punya uang receh dan mau sedikit beramal.

Sesaat saya berpikir bahwa adanya peminta-minta telah membuat empati terhadap sesama tetap terjaga. Tapi sekian menit kemudian, setelah melihat arus peminta-minta yang terus bermunculan, dalam hati saya mulai bertanya: sampai kapan peminta-minta itu tetap menengadahkan tangan untuk mengharapkan sedekah? Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa suatu saat mereka harus bisa menjadi tangan yang di atas? Atau memang sudah terlalu banyak orang yang tidak mampu dan tidak mendapatkan kesempatan yang layak untuk berusaha? Pada saat yang sama, saya juga melihat banyak orang tua-muda menjajakan berbagai barang, berpuisi, bermusik, sampai membersihkan lantai kereta dengan sapu; orang-orang yang berusaha, tidak meminta-minta.

Pernah dalam hidup saya, keluarga kami berada dalam posisi yang sering menerima dan mengharapkan bantuan dari saudara-saudara. Dan setelah kami bisa berdiri sendiri, kami merasakan betapa nikmatnya menjadi tangan yang di atas, merasakan suatu martabat yang pantas. Bisa membantu sesama itu sangat membahagiakan.

Jadi, melihat peminta-minta yang sama setiap hari tentu bisa membuat saya berpikir negatif bahwa mereka malas, free rider dalam kehidupan yang sebenarnya no free lunch. Tapi saya bukan cenayang yang bisa mengetahui isi hati dan niat setiap orang. Saya tidak tahu, mungkin mereka meminta karena dipaksa oleh himpitan hidup mereka yang berat. Bisa jadi peminta-minta itu juga sudah merasakan betapa bahagianya menjadi tangan yang di atas saat mereka membantu sesama yang kurang beruntung, di lingkungan gubuk atau rumah petak mereka di bantaran kali, atau di lingkungan perdesaan mereka yang subur dan asri.

Bila mereka terus meminta-minta, apakah itu berarti mereka terlalu nyaman dengan cara mencari nafkah yang paling mudah--meskipun mungkin tidak mudah? Saya tidak tahu, dan tidak mengerti. Yang saya mengerti bahwa manusia seharusnya selalu berprinsip bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin. Beramal hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin. Mungkin peminta-minta itu pun memiliki prinsip yang sama, bahwa hari ini bisa lebih baik dibandingkan kemarin. Rejeki hari ini harus lebih banyak dibandingkan kemarin. Satu prinsip yang memiliki satu akar, kemudian bercabang dan kembali dalam lingkaran yang sama. Ada tangan yang memberi, ada tangan yang menerima. Selama ada yang memberi, pasti selalu ada yang menerima.

Saya juga sebenarnya ingin tahu apa yang ada dalam pikiran dari para pemilik tangan yang mengulurkan sedekah. Apakah mereka memberi karena ingin menghabiskan uang receh yang sering terdengar bergemericik mengganggu dan mengganjal di saku. Apakah mereka memberi agar peminta-minta segera pergi dari hadapan mereka yang sedang menikmati santapan lezat. Atau apakah mereka memang sengaja menyiapkan uang receh, seperti salah seorang teman baik saya, agar tidak lupa memberi dimana pun mereka bertemu peminta-minta. Untuk yang terakhir ini, saya berpikir alangkah indahnya bila dalam bersedekah, sejak awal, kita tidak memiliki prasangka tentang mengapa begini-mengapa begitu. Bersedekah yang hanya didasari oleh niat untuk memberi, tidak lebih, tidak kurang.

Tapi kita tentu sering lupa dan alpa, sehingga lumrah pula bila kita memiliki prasangka. Apalagi jika yang memohon sedekah itu kurang menyakinkan. Tapi apa pula ukuran 'menyakinkan' itu? Lagi-lagi saya terpikir dengan prinsip pemasaran tentang pentingnya penampilan: "dari penampilan, orang akan tahu siapa anda". Sebenarnya hanya sedikit yang saya ingat tentang rupa peminta-minta yang saya temui, meski kalau diingat-ingat, ada beberapa kesamaan rupa. Tapi rasanya tidak elok untuk memperhatikan mereka dari ujung kaki sampai ujung rambut, sebelum yakin apakah mereka perlu bantuan apa tidak.

Satu yang saya tidak setuju adalah banyaknya anak-anak yang diawasi oleh orang-orang dewasa gagah dan sehat di perempatan jalan, saat anak-anak itu meminta-minta. Atau satu truk menurunkan dua puluhan peminta-minta di suatu sudut jembatan di daerah Cawang. Suatu femomena perjuangan dan pembelajaran jalan pintas yang kurang sehat. Tapi apa mau dikata, karena usaha jalan pintas toh tidak akan pernah surut dari dunia ini. Hanya berupa-rupa saja bentuknya, termasuk KKN dan banyaknya remaja yang ingin menjadi artis tanpa perlu sekolah yang betul (catatan: "sekolah yang tinggi" itu bukan sinonim dari "sekolah yang betul"). Selagi semua masih memungkinkan.

Lepas dari semua ketidakmengertian saya, bersedekah rasanya tetap menjadi suatu keharusan. Dan adanya peminta-minta sedikit banyak telah mengingatkan saya untuk bersedekah. Jika terlalu banyak berpikir mengapa begini mengapa begitu--seperti tulisan ini--bisa-bisa saya kurang ikhlas dalam bersedekah.

Saya amat setuju dengan tiga kutipan yang pernah saya baca, meski yang dua pertama sudah lupa sumbernya:
- Dunia ini harus seimbang; bila ada yang kaya, pasti ada yang miskin (dan)
- Jika kita rajin berzakat dan bersedekah, akan hanya ada sedikit orang miskin di dunia ini (tapi)
- If it's true that we are here to help others, then what exactly are the others here for? (Bernhard Shaw).

Jadi, sudah sepantasnya jika saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa tangan yang di atas selalu lebih baik dari tangan yang di bawah. Bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan kemarin, dan jangan lupa untuk selalu menjaga penampilan agar tetap menyakinkan, serta pantang menyerah dalam berusaha. Sip!

posted by Leo at 04:31

Profile
Leo*
Jakarta
All mixed-up: hardworking-daydreaming, tolerant-ignorant, hectic-dynamic, sophisticated-complicated, simple-subtle
Ding of the Weeknew!
Just Write!

Free shoutbox @ ShoutMix
Archives
Previous Posts
Fellow Bloggers
Blog Essentials
Links
Credits
Powered by Blogger.cOm  Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.cOm  Shoutbox by ShoutMix.cOm
Skin Design by Wisa © 2004